Sebuah masa lalu terkadang tidak ingin berhenti mengejar, membuat kehidupan seseorang berhenti sejenak dan tenggelam dalam sebuah luka.
Lituhayu terjebak dalam masa lalu itu. Masa lalu yang dibawa oleh Dewangga Aryasatya, hingga membuat gadis itu tenggelam dalam sebuah luka yang cukup dalam.
Waktu terus bergulir, tapi masa lalu itu tidak pernah hilang, bayangnya terus saja mengiringi setiap langkah hidupnya.
Tapi, hanya waktu juga bisa menyadarkan seseorang jika semua sudah berakhir dan harus ada bagian baru yang harus di tulis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Putri761, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warung Alana
"Mama, Alana pulang!" ucap saat memasuki rumah kecilnya. Rumah yang sangat kecil tapi sangat indah dan tertata rapi. Rumah Alana hanya ada satu kamar tidur dan ruangan televisi yang digabung dengan ruang tamu dan dapur.
Dia sebelah rumah ada bangunan warung permanen yang di tata cukup apik dan terkonsep.
" Ma, bunganya sudah diambil?" tanya Alana sambil berjalan menuju dapur. Selain mempunyai warung kopi, Alana juga menanam bunga yang mana bunga-bunga itu biasanya diambil seseorang untuk di jual di kota.
"Sudah, uangnya ada di rak TV." jawab Mama Airin sambil berjalan menghampiri Alana yang baru saja pulang dari pasar.
"Oh ya sudah! Uang itu nanti buat terapi Mama!" jawab Alana sambil mengeluarkan barang belanjaan. Dia memang selalu menabung untuk kesehatan mamanya.
" Maaf kan, Mama! Mama hanya menjadi bebanmu, Sayang." Mama Airin kini berdiri di dekat Alana.
Tangannya mengusap punggung Alana hingga putri cantiknya itu menoleh.
" Mama bilang apa? Apa yang Alana lakukan tidak seberapa." jawab Alana sambil tersenyum tulus.
" Seharusnya kamu bisa menggapai cita-citamu, tanpa memikirkan sulitnya bertahan hidup. Seharusnya kamu, bisa menikmati masa mudamu seperti teman-temanmu yang lain." Mata Airin berkaca-kaca.
Setiap melihat putrinya, hatinya terasa ngilu. Dia merasa jadi orang tua yang jahat karena membuat putrinya harus kesusahan seperti saat ini.
"Mama, jangan seperti itu! Jangan terus terkungkung dalam kata 'seharusnya'. Itu akan menyulitkan kita untuk menjalani kehidupan terbaik yang sudah diberikan Allah." Kalimat Alana malah membuat air mata Airin jatuh. Tapi orang tua mana yang tega melihat anaknya menghadapi kesulitan seorang diri, seperti itulah perasaan Airin.
" Alana bahagia, setidaknya Alana masih memiliki Mama." lanjut Alana membuat Airin memeluknya erat dirinya.
" Mari kita jalani kehidupan ini dengan bahagia, Ma! Agar kita tidak mengkufuri nikmat Allah." lirih Alana. Itulah yang saat ini dilakukan Alana.
" Putri Mama sangat dewasa. Mama bangga dengan kamu, sayang." ucap Airin dengan tulus.
Airin pun membantu Alana membersihkan sayur dan buah yang baru saja Alana bawa dari pasar. Sedangkan Alana menata beberapa barang persiapan untuk warungnya.
"Jika saja perjodohan itu sempat terjadi. Hidupmu pasti tidak akan sesulit ini. Sebenarnya teman Papa mengajak Papa untuk menjodohkan putranya dengan kamu.Tapi baru saja mengawali pembicaraan itu, Papa sudah sakit dan meninggalkan kita semua." cerita Airin pada Alana.
" Mulai deh, Mama. Aku bilang jangan mengandai-andai, Ma!" protes Alana kemudian membawa satu keranjang barang dagangannya ke warung depan. Gadis itu hanya ingin berfikir seperti simple mungkin.
Dan Alan pun kembali merapikan kembali beberapa peralatan yang sudah dia bersihkan.
" Ya, jika saja kita tidak pindah. Om Bayu pasti akan menemui kita untuk melanjutkan pembicaraan itu. Putranya tampan Lo, Al! Meskipun sudah Dewasa sekali tapi putra Om Bayu itu tampan dan gagah. Satu lagi, kaya banget, kamu tidak harus bekerja keras seperti ini." Airin meneruskan obrolannya. Disaat seperti ini, Alana hanya mendengus kesal.
Gadis itu menghentikan gerakannya dan menatap mamanya penuh dengan intimidasi.Mamanya mulai berfikir materialistik padahal dulu saat papanya masih ada, Mama Airin adalah istri yang tidak pernah menuntut dan membahas materi.
"Mama dan Papa bermaksud menjual Alana dengan keluarga kaya itu?" sungut Alana merasa kesal.
" Bukan begitu, Al." sanggah Airin merasa tidak enak dengan putrinya. Dia hanya menginginkan Alana berkecukupan.
" Ya sudah, Mama. Alana sudah bahagia dengan kehidupan kita. Alhamdulillah kita masih punya sedikit lahan untuk ditanami bunga, warung kopi Alana juga bisa dibilang laris. Itu semua harus kita syukuri, Ma."
" Lagian Alana sudah betah tinggal disini. Setiap hari serasa liburan dan warga di sini juga sudah baik dengan kita." jelas Alana.
Di sebrang jalan dari tempat tinggal mereka memang ada sebuah air terjun yang bagus. Maka dari itu Alana menggunakan situasi yang ikonik itu membuka warung di depan rumah.
Warung mereka tidaklah besar hanya satu ruang untuk membuat kopi dan memasak sesuatu seperti mie. Dan para pembeli bisa duduk di depan, di meja yang sudah dilengkapi dengan beberapa kursi.
Alana kini menjadi tulang punggung keluarga. Hal yang paling berat adalah saat seseorang selalu mendapatkan privilege tapi perlakuan istimewa diambil oleh keadaan dan dia harus menghadapi banyaknya kesulitan hidup, itulah yang membuat berat hidup yang dijalani Alana.
" Assalamualaikum..." suara Seorang wanita seumuran Alana membuat Alana dan Airin menoleh. Narti seorang janda beranak satu yang suaminya sudah meninggal, wanita itu bekerja di warung Alana.
" Waalaikum salam, Mbak. Emang ini jam berapa , Mbak Narti sudah datang." tanya Alana kemudian melirik jam yang menggantung di dinding rumahnya.
"Sudah jam sepuluh, Mbak. Saatnya buka warung, kan!" jawab Narti kemudian berjalan masuk ke dalam warung memeriksa dan bersiap untuk membuka warung.
" Katanya, akan dibangun tempat wisata dan penginapan di puncak, Mbak." ucap Narti yang sudah mendengar kabar dari pak lurah setempat.
Mereka memang sering mengobrol sambil bekerja
"Katanya pemilik villa mewah itu yang membangun daerah sini. Cuma belum ada keputusan dari pemerintah daerah. Karena takut jika akan merusak cagar alamnya." Ternyata Narti tahu banyak tahu tentang kabar tersebut.
" Prospek bagus untuk warung kita dong, Mbak!" jawab Alana mulai antusias menanggapi obrolan Narti. Jika ada banyak mengunjungi di daerah ini, otomatis akan memberikan peluang bagus untuk warung Alana.
"Ya, bisa jadi Mbak. Posisi warung Mbak Alana di pinggir jalan, Mana depannya ada curugnya juga. Tapi kalau dibeli sama pengusaha itu bagaimana?" tiba-tiba Narti kepikiran hal itu karena sebagian tanah warga sudah ada yang dibeli oleh pengusaha kaya raya itu.
" Nggaklah, Mbak. Nggak akan aku jual." Narti merasa lega. Itu artinya dia bisa terus bekerja dengan Alana.
Obrolan mereka pun terhenti, Alana mulai mengantar mamanya untuk beristirahat di kamar. Alana memang tidak ingin mamanya lelah dan bertambah sakit jika terlalu banyak membantu mereka di dapur.
"Nanti kalau Alana sudah ada tabungan, kita periksa lagi kondisi pinggang Mama di kota." ucap Alana.
Alana sudah memikirkan itu semua, dia ingin segera memeriksakan penyakit mamanya di kota, dimana peralatan yang dimiliki lebih canggih daripada di daerah pedalaman.
Alana kembali menghampiri Narti di warung. Dia pun menyiapkan beberapa kue titipan tetangga yang akan di jual oleh mereka.
"Mbak Alana, sudah punya pacar?" tanya Narti. Tidak ada Mama Airin janda beranak satu itu lebih leluasa mengobrol .
" Belum." jawab Alana singkat.
"Mas Juna putra Pak Lurah sering menanyakan Mbak Alana. Sepertinya dia naksir sama, Mbak." cerita Lastri.
Selain memang cantik dan pintar, Alana memang terlihat beda dari gadis kampung lainnya. Tampilannya sederhana, tapi aura gadis kota tidak pernah pudar dari diri Alana.
" Bertanya belum tentu naksir, Mbak." jawab Alana.
" Kadang yang sudah pacaran saja belum tentu di taksir atau dicintai." lanjut Alana sambil bergumam. Dia kembali teringat hubungannya dengan Dewa di masa lalu.
Ah, hubungan itu memang meninggalkan luka yang dalam bagi Alana.
Warungnya Alana kecil tapi bagus ya