NovelToon NovelToon
Dunia Dzaka

Dunia Dzaka

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Keluarga / Trauma masa lalu
Popularitas:945
Nilai: 5
Nama Author: Bulan_Eonnie

Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.

Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.

Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.

Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DD 15 Manusia Kuat?

Dzaka perlahan membuka matanya. Denyutan di kepalanya masih terasa menyakitkan dan tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Saat pandangannya mulai jelas, Dzaka terdiam melihat siapa saja yang sedang menungguinya.

“Ka! Lo udah bangun?” Cowok itu mendekati Dzaka dengan sorot mata lega.

“Bang Dzaka gak kenapa-kenapa, kan?” tanya seorang gadis yang membuat Dzaka menggeleng pelan. Dzaka berusaha mendudukkan dirinya, karena pagi ini Dzaka harusnya mengikuti ulangan harian.

Saat mencoba melangkah, Dzaka terjatuh karena tubuhnya yang lemah. Untung saja seseorang dengan sigap menopang tubuh Dzaka, sehingga tak terbentur brankar lain.

“Lo baru sadar jangan ngeyel, Ka. Istirahat aja dulu,” ujar cowok itu khawatir melihat kondisi Dzaka.

Dengan pelan Dzaka melepaskan pegangan cowok itu di tubuhnya dan berusaha bangkit kembali. Dzaka hanya takut ‘orang itu’ tahu kalau Dzaka melewatkan ulangan harian kali ini. Rasanya Dzaka tidak sanggup jika harus dikekang lebih jauh lagi.

“Gue ada ulangan! Gue harus ke sekolah sekarang!” Dzaka memaksakan kakinya melangkah dengan pelan. Bahkan Dzaka menjadikan tepian brankar sebagai penopangnya.

“Gak, Ka! Lo mau cari mati bawa motor dalam kondisi kayak gini?!” Cowok itu menahan tubuh Dzaka, meski langsung ditepis Dzaka. Tatapan tajam mereka beradu, tapi Dzaka memilih melanjutkan langkahnya.

“Gue bilang berhenti, ya berhenti, bego!” Suara teriakan itu bahkan tak diindahkan Dzaka. Meski pelan, Dzaka berjalan dengan berpegangan pada dinding menuju pos satpam. Namun, tiba-tiba bahunya dicekal kuat dari belakang.

Dzaka berbalik dan menatap tajam sosok itu. “Jangan ikut campur, Rion! Lo gak akan pernah tau posisi gue!” tegas Dzaka dengan suaranya yang sedikit bergetar.

Cowok itu yang tak lain adalah Arion Danendra Emir—sepupu Dzaka—langsung melepas cekalannya. “Lo masih punya waktu, Ka! Gue emang gak tau penderitaan lo, tapi gue peduli sama lo!”

Dzaka terdiam mendengar ucapan Rion. Dzaka bahkan tak pernah berharap sepupunya maupun keluarga lain memedulikannya. Ah, Dzaka lupa bahwa ia tak memiliki keluarga. Toh Dzaka hanya beruntung ditampung oleh 'orang itu'.

“Gue antar lo ke sekolah!” putus Rion yang tak dapat ditolak Dzaka. Sebelum menjauh, Dzaka berpamitan dan menyerahkan uang saku pada Ziya yang menatapnya sendu.

...----------------...

“Kalau gitu gue sama Xavi cabut dulu. Lo hubungin temen kelas lo deh buat naik ke lantai 3.” Dzaka hanya mengangguk dan membiarkan Rion dan Xavier berlalu dari hadapannya.

Dzaka menoleh ke lantai tiga—tempat kelasnya berada. Rasanya Dzaka tidak tega meminta bantuan seseorang untuk memapahnya naik ke lantai tiga. Akhirnya Dzaka memaksakan dirinya sendiri dengan tertatih.

Baru sampai di lantai dua saja napas Dzaka sudah ngos-ngosan. Meski begitu, mengingat waktu ulangan yang semakin dekat membuat Dzaka mendapat sedikit tambahan semangat.

Dzaka merasa pandangannya memburam di pertengahan tangga menuju lantai tiga. Daripada terjatuh, Dzaka memilih menyandarkan tubuhnya sebentar. Dzaka berusaha mengatur pernapasannya agar tak lagi ngos-ngosan.

Dengan tekad di dalam dirinya yang tak pernah padam Dzaka kembali melangkah. Beruntung proses belajar mengajar sedang berlangsung, sehingga kehadiran Dzaka dengan kondisi seperti ini tak jadi tontonan.

“Permisi, Pak!” Tubuh Dzaka muncul di balik pintu membuat semua orang di dalam kelas menoleh.

“Kamu yakin ikut ulangan?” tanya guru itu melihat kondisi Dzaka yang tak baik. Dzaka hanya membalas dengan anggukan pelan. Setelah diizinkan masuk, Dzaka langsung melangkah menuju bangkunya di samping Tanvir.

Dzaka memerhatikan soal ulangan dan menghela napas sejenak. Setelah berdoa, Dzaka memulai mengerjakan ulangan kimianya.

Dzaka merasakan hawa panas dari napasnya sendiri. Meski sulit berkonsentrasi, Dzaka mengusahakan semampunya. Dzaka takut jika harus gagal setelah semalaman dirinya memaksakan diri begadang. Meski itu Dzaka lakukan setelah menyelesaikan tugas pemetaan bangunan yang akan menjadi lokasi penyergapan sindikat narkoba.

Yang lebih ditakutkan Dzaka adalah amarah ‘orang itu’. Dzaka takut sedikit kebebasan yang dimilikinya akan direnggut habis setelah ini. Pertarungan Dzaka bukan sekadar nilai, tapi usaha kerasnya selama ini adalah demi dirinya sendiri.

Bel istirahat membuat semua murid menghela napas lega. Dzaka langsung merebahkan kepalanya di atas meja setelah menyerahkan lembar jawabannya. Kini Dzaka baru bisa merasakan sakit di kepala dan tubuhnya.

“Ka? Mau gue anterin ke UKS?” tanya Tanvir yang baru saja kembali dari meja guru. Dzaka membuka matanya dan menatap Tanvir seraya menggeleng pelan. Saat ini Dzaka hanya ingin mengistirahatkan jiwa dan raganya. Dzaka sangat lelah.

Dzaka terbangun saat merasakan sesuatu yang hangat menyentuh pipinya. Tanvir duduk di sampingnya seraya menyerahkan wedang jahe. “Minum dulu, Ka! Tadi Bi Edah bilang lo gak enak badan.”

Dengan malas Dzaka menegakkan kepalanya. Saat telapak tangannya menyentuh gelas wedang jahe itu, Dzaka merasakan sensasi hangat yang menjalari tangannya. Perlahan Dzaka menyesap wedang jahe itu, hingga rasa hangat juga menjalari tubuhnya.

“Maaf, Ka,” lirih Tanvir membuat Dzaka menoleh keheranan. Tanvir yang ikut menoleh seperti tahu apa yang ada di pikiran Dzaka. “Maaf, karena harusnya gue sadar lebih awal. Lo lagi gak baik-baik aja.”

“Gak ada yang perlu dimaafin, Vir. Gue malah seneng bisa bantu lo.” Dzaka menepuk pelan bahu Tanvir untuk menenangkan gelisah di hati sahabatnya itu. “Lagipula ini salah gue yang begadang semalaman. Gue tiba-tiba dapat pesan untuk bikin pemetaan bangunan tempat penyergapan nanti malam. Pas mau tidur gue baru inget kalau kita ada ulangan kimia.”

“Lo terlalu maksain diri, Ka. Tanpa belajar keras sekali pun, lo bakal bisa ngerjain soal ini. Lo udah belajar lebih keras dengan les setiap harinya.” Tanvir memerhatikan Dzaka yang terus menyesap wedang jahenya.

“Gak ada jaminan, Vir. Gue harus berusaha lebih keras dari siapa pun bukan buat ‘orang itu’, tapi untuk diri gue sendiri.” Dzaka berucap seraya menerawang pada gelas yang sudah kosong.

Tanvir menyodorkan bungkusan roti coklat keju ke hadapan Dzaka. “Setidaknya jangan sampai sakit dan nyakitin diri sendiri. Lo langsung ke rumah Raffa jam 5 pagi dan nganterin Ziya ke sekolahnya. Lo bahkan gak bisa merhatiin diri lo sendiri, Ka.”

“Gue bahagia kalau kalian bahagia dan gue sakit bahkan jauh lebih terluka saat kalian terluka.” Genangan itu hampir saja jatuh jika Dzaka tidak mengusapnya lebih cepat. Dzaka hanya tak boleh membiarkan dirinya rapuh di depan orang-orang yang harus ia lindungi.

Tanvir hanya mampu menghela napas berat. Dzaka tetaplah Dzaka. Sosok yang tak akan bisa ditiru oleh orang lain. Sosok yang selalu berusaha lebih keras dari orang lain, meski nyatanya Dzaka lebih dari mampu untuk melakukannya.

“Gimana kondisi Raffa?” tanya Tanvir mencoba menghalau kesedihan yang menimbulkan kesuraman dalam pembicaraan mereka.

“Dia di rumah sakit. Demamnya tinggi banget, gue khawatir kalau dia gak dapat penanganan yang tepat. Dan juga ....” Dzaka menghela napas sejenak membuat Tanvir menunggu dalam rasa penasaran. “Dia ngigau manggil mamanya.”

Tanvir terdiam mendengar ucapan Dzaka. Sudah lama Tanvir tak mendengar Raffa menyebut kata mama, bahkan menyinggungnya saja tidak pernah. Raffa bahkan sudah menjadikan Buna Khaira sebagai satu-satunya sosok ibu di hidupnya.

“Dia kesepian, Vir. Padahal gue ngerasa adanya kita bakal bikin dia gak kesepian lagi,” ujar Dzaka lirih dengan senyum sendu mengingat ucapan Raffa tadi.

Tanvir tersenyum kecut. “Bahkan di saat kita bersama, kita gak benar-benar berbagi segalanya. Kita hanya berbagi apa yang patut dibagi dan menyembunyikan semua yang rasanya akan membebani.”

Dzaka dan Tanvir terkejut saat bunyi notifikasi di ponsel mereka terdengar bersamaan. Mereka langsung mengeluarkan ponsel dari kantong celana dan memeriksa WhatsApp.

GENG RIVER

Pak Ahmad

Jangan lupa mempersiapkan diri

Malam ini penyergapan akan dilakukan

Pemetaan bangunan sudah selesai

Tanvir, Dzaka dan Raffa akan ikut serta

10.45 wib

Nurul Kahfi

Siap Bang!

Dimitri.E

Oke

Galvin Irsyad

Aman Bang!

Dzaka dan Tanvir bertatapan. Mereka teringat dengan kondisi Raffa yang sedang dirawat. Jika mereka berdua ikut, bagaimana dengan Raffa?

1
Jena
Bener-bener bikin ketagihan.
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih kakak❤️ Nantikan terus updatenya ya kak😊
total 1 replies
bea ofialda
Buat yang suka petualangan, wajib banget nih baca cerita ini!
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih kakak sudah mampir❤️
total 1 replies
Mamimi Samejima
Teruslah menulis, ceritanya bikin penasaran thor!
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih sudah mampir kakak❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!