"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LIMA BELAS Honeymoon
HARI ini, setelah hujan deras yang cuaca sepertinya bersahabat, lembab namun tidak menyengat suhu panasnya.
Tadi pagi, Firhan telah meneleponku untuk prepare dan packing siangnya, karena pesawat yang akan ditumpangi ke kota honeymoon kami, akan berangkat sore nanti. Ya, hari ini kami berangkat, dan membuat aku jadi bersemangat. Entah mengapa, setelah informasi dari lelaki itu, aku langsung packing. Rasanya, membayangkan kota itu saja, sudah membuatku bersemangat dan sangat antusias. Benar, kota Makassar! Kota yang sangat begitu aku rindukan dengan sejuta kenangan di sana.
"Terlalu bersemangat, Nona cantik!" Gumaman suara riang itu yang terdengar di ruangan ini selain aku, membuat diri ini menoleh sembari tersenyum.
Siapa lagi, jika bukan si lelaki penuh kejutan itu!
"Fir, kamu sudah pulang?" seruku yang terlalu bersemangat lalu menghampirinya. Ia menaikkan bahu dengan raut wajah yang di lebih-lebihkan.
"Ini hari spesialku dengan Nyonya Fir, dan tidak ada yang bisa menghalangi itu!" Senyumku merekah mendengar dia yang menatap penuh kasih.
"Kamu sudah makan?" tanyanya yang berubah serius.
Aku mengangguk sembari masih dalam senyuman. "Jam satu tadi."
"Syukurlah, Sayang. Oh ya, aku punya sesuatu untukmu!" riangnya antusias, lalu merogoh dompetnya dan menarik sebuah kalung yang di selipkan di dompet cokelat itu. Aku memandang penuh tanya saat kalung itu berada di genggamanku dan hanya balas senyuman.
Kalung yang indah. Terbuat dari besi putih dengan lilitan intan biru berkilau di setiap kalung ini. Liontinnya berbentuk bintang bening dengan permata di setiap sisinya dan bertuliskan ‘N&F’. Dan sepertinya aku tidak asing dengan kalung ini.
Keningku berkerut penuh tanya. Dan saat tidak sengaja menekan tiap sisi, liontin itu seketika terbuka. Isinya sebuah foto, foto yang membuat aku takjub. Foto Firhan dan aku dengan pose saling berhadapan, tersenyum lebar dan saling menatap kedua tangan kami yang tengah bertaut-mengait satu sama lain di jari kelingking. Itu foto saat janji komitmen sahabat kita. Dan yang mengabadikan gambar ini adalah .... Daniel?
Oh astaga, aku ingat! Ini kalungku yang sudah lama hilang! Tapi—
Sebelum aku bertanya dan mengangkat wajah memandang Firhan, dia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.
"Daniel yang memberikan itu, Sayang. Dia kemari tiga hari yang lalu," sahutnya memandangku hati-hati sembari menyandarkan tubuh di ambang pintu dan menyusupkan tangan ke saku celana.
Kemari? Tiga hari yang lalu?
"Dia meminta izinku untuk bertemu denganmu. Seharusnya dia datang dua hari yang lalu, tapi sampai saat ini, dia belum datang." Akuinya menatapku.
"Kamu mengizinkannya?" pekikku dengan nada naik satu oktaf yang seketika membuatku geram dan kesal.
Aku mendengus dan memutar mata, lalu kembali packing dengan kesalnya dan merengut cemberut.
Bisa melihat dari sudut mata, dia mendesah frustasi sembari meremas rambutnya. "Sayang, please, dengarkan aku dulu?"
"Tidak mau!" erangku merengut dan ekspresinya berubah, antara geli menahan senyum dan cemas merayuku untuk tidak cemberut dan marah. Nada suaraku memang agak sedikit manja, dan itu yang membuatnya seperti itu dan berubah kikuk, tapi malah menular padaku, antara ingin senyum dan marah.
"Jangan dekat-dekat!" sergahku mengancam dengan mengandung nada suara manja pada Firhan yang membuat senyumnya menguap dan tidak bisa menahan, saat dia mencoba duduk di sampingku dan mendekat.
Tanpa mengindahkan ancamanku, dia lalu menarikku dalam peluknya, memeluk dengan erat dengan raut wajah penuh senyuman. "Punya kesalahan, bukan berarti memusuhi atau membencinya, Sayang. Akan lebih baik jika kita mendengarkan penjelasan dulu, baru mem-vonis. Karena, terkadang kita bisa terkecoh dengan keadaan dan tampilan yang kita lihat sendiri dari pada kenyataan sesungguhnya. Maaf, ya, memberinya izin tanpa bicara dulu denganmu, maaf membuatmu kesal. Tapi mungkin sudah saatnya kita mendengarkan penjelasan dia, setidaknya tidak egois dan mengintimidasi. Itu lebih adil untuknya," gumam Firhan yang nyaris berbisik sembari masih dalam pelukan.
Aku mendesah mengalah dan mengangguk yang diikuti kecupan hangat di pucuk kepala.
"Jadi, sejak kapan fotoku di dekat hatimu?" sela Firhan masih mendekap, namun tubuhnya mundur dan berjarak padaku untuk memandang wajah ini.
Senyuman malu-malu kini bersemayam di pipi dan bibirku. "Di dekat hati?" elakku yang pura-pura tidak mengerti maksudnya.
Firhan terkekeh, lalu mengusap rambutnya dengan tangan kanan. "Iya, dong. Kalung, kan, dekat dengan hati, dan kamu selalu memakainya! Jadi—"
"Fir, kita harus packing!" selaku cepat-cepat yang bangkit berdiri menjauh darinya dan menyembunyikan senyum malu-maluku.
Sepertinya dia sadar, kenapa aku sengaja menjauh. Suamiku itu terkekeh dan membuat diri ini semakin tersipu saat aku berusaha mengalihkan. Jelas sekali aku berusaha mengalihkan. Firhan memandang sejenak, sembari menggenggam wajah ini yang menatap dia balik dalam senyuman.
"Oke, bersiap-siaplah, Nona cantik. Sebentar lagi aku akan menculikmu!" sahut Firhan menggoda dalam gurauannya yang membuat aku tergelak dan menatapnya ketika ia melangkah mundur perlahan-lahan sambil pandangan tidak lepas dariku yang semakin lama hilang dari pandangan. Aku tersenyum dan kembali melanjutkan packing.
...* * *...
Jam telah menunjukkan pukul dua seperempat. Kami telah bersiap-siap berangkat. Saat aku menghampiri Firhan yang telah menunggu sedari tadi di ruang tengah, dia memandangku dengan senyuman manis yang khas yang membuat aku tersenyum tersipu memandangnya.
"Pakaian yang indah dengan pemakai yang indah pula. Sangat cantik, Nyonya Firhan, aku suka." gumam Firhan berkomentar dengan sorotan dan senyum mengagumi.
"Terkadang kamu membuat aku minder dan bertanya-tanya," tambahnya yang membuat pipiku semakin memanas dan tersipu.
Dia mengusap dagunya dengan penuh kekaguman, seraya pandangan tidak lepas dariku sehingga aku menghampirinya.
Sore ini Firhan memakai kemeja polos biru soft fresh dengan celana jins khaki yang dipadukan sepatu hitam favorite-nya. Rambut spike-nya sengaja di gel namun dibiarkan agak sedikit berantakan hingga terkesan keren dan macho, seperti model majalah keren yang selalu membuat siapa saja yang melihatnya seketika terpukau. Sedangkan aku, memakai gaun Cardi Velvana dark, dengan paduan celana hitam khaki dan sepatu kets hitam, serta hijab pasmina shiffon yang telah kumodel.
Raut wajah Firhan semakin tersenyum dan meraih wajah ini, saat telah berada di hadapan dia dan menggenggamnya.
"Sungguh benar, ya, Tuhan tidak pernah salah memerintahkan umatnya untuk berhijab, karena permata ini sungguh luar biasa indahnya, apalagi ketika tertutupi kain suci ini!"
Aku tersenyum. "Dari tadi kamu memuji terus, ada maunya, ya?"
Firhan terkekeh, lalu menggeleng perlahan. "Aku hanya terpesona melihat Istriku dalam lindungan Allah. Sungguh, Tuhan maha baik!" gumamnya yang masih memandang kagum sembari tangan satunya menyentuh hijab yang tengah membalut kepalaku, lalu mengerling di akhir kalimat dengan senyuman manis melebar. Lagi-lagi, senyuman itu menular dan berefek bahagia di syarafku.
"Aamiin."
Dia tersenyum, lalu tangan ini meraih kancing atas kemejanya yang terlepas dan mengancing kembali.
"Trim’s, Sayang." Ringan Firhan riang dan antusias, lalu mengecup pipi ini.
"Terima kasih kembali."
"Jadi, penampilanku bagaimana? Ada yang kurang atau perlu diganti, Sayang?" tanya Firhan sembari merentangkan kedua tangannya memperlihatkan penampilannya. Raut wajahnya serius. Aku mengangguk tersenyum sembari mengacungkan ibu jari. Dia memang selalu begitu sejak kami mulai keluar dari zona kikuk selepas menikah. Tak jarang, ia bahkan lebih mempercayai kedua mata dan pendapatku dari pada sebuah cermin panjang di kamar ini untuk penampilannya.
"Selalu memukau! Aku?"
Dia menatap dengan sorot mata menyipit, lalu ibu jarinya mengusap tepi bibirku. Rupanya lip glossy yang kupakai belepotan di tepi bibir. "Begitu pun Nona cantikku ini." Gumamnya menilai lalu menarikku dalam dekapannya yang membuatku tersenyum, begitu pun Firhan sembari memeluk erat.
"Kalian mau pergi tanpa pamit?" Suara berat yang mengandung kerinduan itu membuat aku dan Firhan menoleh.
"Ayah?" bisikku yang masih dalam rengkuhan suamiku ini.
Sekilas aku melihat, wajah Firhan terkejut dan tak percaya apa yang dilihatnya saat ini. Mata yang memandang tak mengerjap itu kini berbinar. Sosok tegap yang mulai mengurus itu telah berdiri memandang penuh kerinduan ke arah kami, tanpa mengerjap dan dengan mata berbinar, yang di belakangnya tak jauh darinya juga berdiri seorang wanita paruh baya sembari memeluk lengan gadis manis yang juga menatap kearah kami.
"Kau sangat marah sampai-sampai pergi pun kau tidak pamit pada Ayah, Nak?" suara itu bergetar seraya melangkah menghampiri kami dan membuat lelaki yang di sebelahku ini tak tahan menyembunyikan airmata kerinduannya yang telah menetes di pipi putihnya dalam getaran tangisnya yang ia tahan.
"Bagaimana bisa kau bukan puteraku? Bagaimana bisa kau kuasingkan sedangkan hariku selalu bahagia karenamu, Nak! Kau sangat marah dan tersinggung hingga tidak merasakan bahwa Ayah sangat merindukanmu, Ayah menantikanmu pulang setiap saat! Mengapa kau tidak bisa melihat dan merasakan itu? Aku Ayahmu, Nak, Ayahmu," sahut Ayah dengan airmata menetes yang seketika Firhan berhambur di pelukannya, saat Ayah telah berada di hadapan kami. Dia lalu merentangkan tangannya yang satu saat memandangku penuh kasih dan hangat menyambut, yang seketika memelukku dan Firhan, memeluk kami berdua begitu erat. Aku memejamkan mata menikmatinya.
Tuhan, sungguh hari ini kejutan yang membuat aku sangat bahagia! Rasanya, aku memiliki Ayah lagi. Sosok Ayah yang begitu aku rindukan selama ini!
Setelah pelukan terlepas, Ayah mengecup kening Firhan, lalu aku. Memang benar, kasih ibu dan ayah itu sepanjang masa. Sebesar apa pun amarah dalam dirinya, di balik itu ada sungai penuh kasih dan kedamaian di sana yang tersembunyi.
"Maaf, telah membuat Ayah kecewa dan sakit selama ini." sahut Firhan memandang Ayah dengan raut wajah bersalah.
"Tidak, Puteraku! Terkadang, hal yang dilihat tidak sesuai dengan kenyataan! Seharusnya sebagai Ayah, memang harus lebih memahami dari pada orang lain! Ayah terlalu egois dan tidak mendengar penjelasanmu, Nak. Ayah meminta maaf yang sebesar-besarnya?" jelas ayah yang sekilas memandangku. Dan membuat suamiku itu tersenyum dalam gelengan perlahan.
"Seorang ayah tetaplah yang terhebat, tidak peduli sebesar apa ia melakukan kesalahan apa pun! Tidak seharusnya ayah meminta maaf. Seharusnya kami berdua. Aku minta maaf Ayah, maaf untuk segala hal. Terima kasih, Ayah. Aku sangat merindukan kalian,"
Lagi-lagi Firhan memeluk ayahnya dengan erat.
Aku, ibu dan Isti tersenyum berbinar meneteskan airmata haru melihat kebahagiaan ini.
...* * *
...
Perjalanannya masih panjang. Aku masih meringkuk dalam balutan jaket Firhan sembari setengah mendekapku yang tangan satunya menyetir. Rasanya melelahkan setelah melakukan perjalanan jauh lagi untuk kali pertamanya setelah sekian lama, benar-benar jet-leg, terlebih hanya beberapa jam saja.
Benar-benar payah!
Samar-samar yang teringat dalam masih rasa kantuk—memutar berulang kali dipikiran, kami bertemu ayah, ibu, dan Isti di rumah. Ya, akhirnya semuanya berakhir dan menyatu kembali dengan indah. Mereka hanya mengantar kami sampai depan rumah saja, dan berjanji akan menyusul kami dan liburan di sana setelah memberikan kami berdua waktu honeymoon tentunya.
Perjalanan terbang hanya beberapa waktu saja. Cuacanya cukup bersahabat dan kami sampai di kota Makassar tanpa kendala apa pun. Semuanya berjalan dengan baik. Firhan masih menyetir, menyusuri kota yang di sebut-sebut dengan kota Daeng ini karena terkenal dengan suku dan budaya Makassarnya. Dan aku, lagi badmood untuk bertanya padanya—ujung-ujungnya pasti masih menyembunyikan juga. Jadi, aku memilih menikmati tidurku saja sepanjang perjalanan. Yang aku tahu, mobil merah saat ini melaju dengan kecepatan normal. Langit malam kota cukup cerah dan masih disesaki kendaraan yang berlalu-lalang dalam pandangan samar-samar yang masih mengantuk.
"Fir, aku sangat lapar." Suara samar-samar terdengar dari mulutku ini, membuat lelaki di sebelahku terkekeh geli.
"Dalam tidurnya saja dia mengatakan seperti itu, mengigau."
"Aku tidak mengigau tahu," elakku lalu menguap dan masih dalam mata terpejam sambil masih memeluk setengah tubuhnya yang mendekapku sambil menyetir.
"Baiklah, Nona sayang. Mau makan apa?"
"Umm .… apa, ya?"
Dia terkekeh lagi. Lalu, "Istriku rupanya sangat jet-leg, ya?"
Aku menggeliat dalam rengkuhannya. "Apa saja." Singkatku ringan yang lagi-lagi menguap.
Sungguh, rasanya sangat nyaman berada dalam pelukan lelaki ini. Terakhir yang aku rasakan sebelum aku benar-benar terlelap karena mataku masih berat adalah, dia mengecup kepalaku.
...* * * *...