Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.
Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.
Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Racun di Lidah Penasihat
Langit sore di atas ibu kota mulai berwarna kelabu. Di ruang rahasia di belakang singgasana, tempat hanya penasihat dan raja diperbolehkan masuk, suara langkah kaki bergema perlahan. Thalean berdiri tegak di hadapan Raja Eldrin yang tengah menatap peta besar kekuasaan mereka, tetapi matanya tampak resah.
“Raja,” suara Thalean terdengar lembut, nyaris menenangkan. “Hamba tahu ini waktu yang tak biasa untuk bicara, namun... ada hal penting yang tak bisa hamba abaikan.”
Raja Eldrin mengangguk samar tanpa menoleh. “Kau punya perhatian terlalu banyak akhir-akhir ini, Thalean.”
“Hanya untuk kerajaan,” jawab Thalean dengan senyum kecil. “Tapi kali ini... ini soal panglima Alvaren. Dan tabib itu, Ephyra.”
Eldrin menoleh perlahan. Matanya menyipit. “Kau mulai lagi?”
Thalean berjalan mendekat, lalu mengulurkan gulungan kecil berisi catatan kegiatan Seraphyne—catatan yang ia kumpulkan diam-diam dengan cara-cara yang tak akan pernah diketahui raja. Atau Alvaren.
“Ephyra menghilang dari istana dua malam yang lalu. Kembali dengan tubuh penuh luka, dan disambut oleh panglima Alvaren secara pribadi. Bukan Mareen. Bukan Rae. Tapi dia.”
“Aku sudah tahu itu,” gumam Eldrin.
“Tentu, raja tahu,” kata Thalean, mengangguk dengan penuh kepura-puraan. “Tapi... raja mungkin belum tahu bahwa Ephyra membawa batu api dalam tubuhnya. Batu kuno yang seharusnya tidak digunakan sembarangan. Dan siapa yang melindunginya, bahkan saat ia melanggar keseimbangan dunia? Alvaren.”
Wajah Eldrin mengeras.
Thalean melanjutkan perlahan, membungkus racun dalam balutan logika. “Raja tentu ingat ramalan tua, jika pemilik batu menggunakan kekuatannya melebihi batas yang ditentukan, maka dunia akan terguncang. Tapi yang lebih berbahaya bukan hanya kekuatannya, melainkan pengaruhnya pada orang-orang kuat seperti Alvaren.”
Raja menunduk, rahangnya mengeras. “Kau menuduh mereka bersekongkol?”
“Bukan sekadar bersekongkol, raja,” jawab Thalean tajam. “Mereka membawa takdir mereka sendiri. Takdir yang dulu telah menumbangkan kerajaan lain. Jangan biarkan sejarah terulang raja.”
Keheningan mencengkeram ruang rahasia itu.
Akhirnya, Eldrin bersuara dengan nada berat. “Pantau mereka. Jika satu langkah saja mengarah pada pengkhianatan... aku akan menjatuhkan keduanya.”
Thalean menunduk, menahan senyum licik di balik kerah bajunya. “Seperti titah raja.”
Dan saat ia melangkah mundur, matanya bersinar—seperti bayangan ular yang baru saja berhasil melilit mangsanya.
...****************...
Petang menjelang cepat, menyelimuti istana dalam keheningan yang mencekam. Lampu-lampu obor menyala redup di sepanjang lorong utama. Di sisi barat sayap istana, kamar sang putri, Athelya, dipenuhi aroma herbal dari ramuan penyembuh yang diberikan Seraphyne beberapa jam sebelumnya.
Namun, yang terjadi bukan kesembuhan—melainkan jeritan.
Tubuh Putri Athelya menggigil hebat, kulitnya memucat, dan matanya mulai memutar putih. Tabib istana panik, Mareen dan Rae dipanggil dengan tergesa, namun Seraphyne sudah lebih dulu berada di sana, bingung melihat apa yang terjadi. Ramuan yang ia berikan seharusnya hanya menurunkan panas ringan, tidak mungkin menyebabkan reaksi seperti ini.
“Ada yang salah,” bisik Mareen di telinga Seraphyne. “Ramuanmu... baunya berbeda.”
Sebelum Seraphyne sempat memeriksa ulang, pintu kamar dihantam terbuka. Raja Eldrin masuk dengan wajah merah padam oleh amarah, diiringi para penjaga istana dan Thalean yang berdiri tenang di belakangnya.
“Ephyra!” bentak Eldrin. “Kau meracuni putriku?!”
Seraphyne terkejut, segera menjatuhkan diri berlutut. “Raja, tidak! Aku tidak akan pernah meracuni Putri Athelya. Ramuannya telah diganti. Aku...”
“Cukup!” suara raja menggema, menggetarkan dinding ruangan. “Penjarakan dia. Lempar dia ke penjara bawah tanah. Aku tak ingin melihat wajahnya lagi.”
Sebelum Mareen sempat bicara, para penjaga telah menarik Seraphyne pergi. Matanya menatap Rae dan Mareen, berharap mereka percaya padanya. Tapi malam itu, kegelapan penjara menjadi temannya.
Bau lembab dan anyir menyelimuti ruang sempit itu. Dinding batu meresap dingin hingga tulang. Seraphyne duduk diam dalam gelap, tubuhnya lunglai namun pikirannya tetap menyala—berputar pada siapa yang mengubah ramuan itu. Jawabannya jelas, Thalean.
Langkah kaki berat terdengar mendekat. Api dari lentera kecil menyinari wajah Raja Eldrin yang muncul di balik jeruji. Tanpa penjaga. Tanpa suara.
“Bangun,” suaranya lirih tapi tegas.
Seraphyne menegakkan tubuhnya perlahan. “Raja…”
“Jangan panggil aku begitu. Aku datang bukan sebagai rajamu.” Tatapan Eldrin tajam menusuk. “Aku ingin jawaban. Jangan berbohong. Kau... pemilik batu api, bukan?”
Seraphyne membeku.
Eldrin melanjutkan, “Thalean menunjukkan padaku naskah kuno, tentang pemilik batu yang dapat menyembuhkan dan membakar sekaligus. Yang kuat tapi tidak stabil. Dan itu adalah kau.”
Seraphyne menggigit bibirnya. Hening sejenak menggantung di antara mereka. Kemudian ia mengangkat wajahnya. "Jadi, akhirnya Thalean memberi tahu raja."
Seraphyne melepas penutup matanya, hal yang membuat Eldrin membenarkan ucapan Thalean.
"Ya," bisiknya. "Aku adalah Seraphyne, pemilik batu api."
Wajah Eldrin mengeras. Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, Seraphyne melanjutkan, matanya bersinar di tengah kegelapan.
“Tapi aku tidak akan menggunakan batu ini untuk kejahatan. Aku telah membayar harga yang mahal untuk setiap kehidupan yang kuselamatkan. Aku tidak pernah menyentuh Putri Athelya dengan niat buruk.”
"Lalu, kenapa putriku bisa seperti itu?"
Seraphyne terkekeh kecil. "Kau masih sama seperti dulu, Eldrin. Mudah sekali terpengaruh dan terperangkap dalam jebakan Thalean."
Wajah Eldrin merah padam. "Lancang sekali kau!"
Ia mengambil pedang di sampingnya dan langsung mengacungkan pedang itu ke leher Seraphyne. "Apa kau ingin mati?!"
Seraphyne tak takut, matanya tidak menunjukkan ketakutan atau permohonan untuk hidup. Karena dia tahu jika Eldrin tidak seberani itu untuk membunuhnya.
"Orang yang harus raja takuti dan musnahkan adalah Thalean. Apa raja tidak tahu apa yang Thalean simpan dalam nadinya?" Seraphyne bergerak maju, tapi Eldrin memundurkan langkahnya.
"Batu ketujuh, batu kehendak." bisiknya dengan senyum sinis. Hawa di penjara bawah tanah berubah semakin mencekam.
Eldrin meneguk salivanya. "Apa maksudmu? Thalean tidak mungkin memilikinya!"
"Silahkan cari tahu sendiri. Aku sudah mengatakannya, bukan? Nilailah dengan mata kepala raja sendiri."
"Lalu sekarang raja ingin apa? Tetap membiarkanku disini atau mengeluarkanku untuk menyelamatkan nyawa putri Athelya? Ramuan itu diganti, jika tidak cepat di obati maka raja harus menyiapkan pemakaman untuk putri Athelya."
"Raja sendiri tahu, hanya aku yang bisa menyembuhkan putri Athelya. Karena aku memiliki ini.." Seraphyne mengeluarkan batu api dari dalam tubuhnya, batu itu menyala terang membuat Eldrin menurunkan pedangnya.
Diam panjang menyelimuti mereka. Lalu Raja Eldrin mendekatkan wajahnya ke jeruji, suaranya gemetar menahan emosi.
“Jika kau berbohong padaku, Seraphyne… maka bukan hanya dirimu yang akan terbakar.”
"Tunggu disini, aku akan menyuruh pengawal mengeluarkanmu dari sini."
Kemudian ia pergi, meninggalkan Seraphyne kembali dalam dingin dan kegelapan—bersama kebenaran yang mulai dipelintir menjadi senjata oleh mereka yang haus akan kekuasaan.