Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pecat Saja Dia
Amira mendatangi Mia untuk melabraknya. Meskipun begitu, Amira datang tidak membuat kegaduhan, tidak sampai seperti emak-emak melabrak pelakor suaminya. Dia langsung bertanya tanpa basa-basi dan penuh penekanan.
"Maksud kamu apa mempengaruhi orang lain buat bikin kesalahan aku?"
"Kenapa ya? aku nggak ngerti maksud kamu." Mia berlagak tidak tahu apa-apa.
"Saya datang ke sini buat kerja, bukan buat dilawan. Tapi kalau kamu gak ada mau berubah jadi lebih baik, oke, saya ladeni kamu. Saya pernah kehilangan anak. Kamu pikir saya takut sama orang kayak kamu? Saya udah ngalamin yang lebih buruk daripada ini."
"Ih kenapa sih?"
"Kesalahan kamu kali ini bukan main-main. Buang-buang ASI yang sebenarnya dibutuhkan seorang bayi. Kamu hampir mencelekai Tuan Kecil hanya demi ambisimu yang benci dan ingin aku keluar dari rumah ini. Kamu benci sama aku tuh karena apa sih? Aku ada salah apa memangnya? Coba sebutkan, apa aku ada berbuat yang bikin kamu dirugikan?"
Mia diam. Dia yang biasanya nyolot, kali ini cuma bisa mendelik menahan sesuatu yang....dibilang marah tapi bukan. Beberapa staf lain melihat kejadian itu. Memang kejadian tersebut tidak sampai menggelegar seperti suara orang yang bertengkar, tetapi melihat amira berbicara dengan mimik muka yang tegas sekali, mereka jadi tertarik atensinya buat menonton sekilas. Tapi mereka juga tetap melakukan pekerjaannya.
Dan semenjak itu, Amira mulai dipandang dengan cara berbeda.
"Katakan Mia, apa yang membuatmu begitu gigih ingin membuatku susah?" Tanya Amira sekali lagi karena Mia hanya dia saja.
Tenggorokan Mia tercekat. Dia tidak menyangka Amira bisa segarang ini. Dalam hatinya, Mia sadar bahwa Amira memang tak pernah berbuat salah padanya. Rasa iri lah yang diam-diam tumbuh, membuatnya gelap mata. Amira seperti istimewa. Seperti berbeda dari pekerja lainnya. Tapi kenapa yang lain tidak ada yang sependapat dengannya tentang hal itu?
Amira masih menatap Mia, menunggu jawaban.
"Mia?"
Tapi Mia justru masih terdiam. Otaknya mendadak ngeblank. Tidak ada satu pun alasan kuat yang bisa dia pegang. Tidak ada kesalahan jelas yang pernah Amira perbuat padanya. Tidak yang benar-benar pantas dijadikan alasan untuk kebencian sebesar ini.
Dan itu membuat Mia panik dalam diam.
Lidahnya kelu. Sorot mata Amira yang begitu tenang itu justru makin menekan. Mia merasa seperti sedang dikuliti. Kebenciannya jadi terasa konyol. Tidak rasional.
Dalam hati Mia bertanya-tanya, Kenapa aku sampai segini bencinya sama dia ya? Dia pun mulai membuka suara.
"Kamu nggak ada salah apa-apa sama aku." Hanya itu yang mampu Mia katakan. Dia sudah punya surat peringatan, kalau dia salah langkah sedikit saja, bisa-bisa dia sendiri yang tersingkir dari tempat ini.
Lagipula rencana mengerjai Amira yang dipikirkan se-apik mungkin kenapa masih saja ketahuan sih? Pikir Mia. Seharusnya itu blind spot dari kejanggalan. Bagaimana Amira bisa tahu soal rencana itu?
Padahal menurut perhitungannya, itu sudah rapi. Sulit dilacak, dan dari luar terlihat seperti kesalahan Amira sendiri karena kurang fokus.
Kecuali… Fitri membuka mulut.
Bodoh sekali kalau dia benar-benar mengaku. Gumam Mia dalam hati.
"Aneh sekali jawabanmu."
"Pokoknya kamu nggak ada salah sama aku, Amira. Tapi tetap aku nggak suka aja lihat kamu."
...****...
Di sisi lain,
Seorang pria paruh baya berdiri di hadapan Arga dengan kepala tertunduk dan wajah pias. Ia tampak seperti anak sekolah yang ketahuan berbuat salah. Sementara itu, Arga duduk tenang di kursinya, kaki disilangkan, memancarkan aura 'bos' yang sangat kuat. Namun, ketenangan itu lenyap seketika. Ia berdiri perlahan, menyilangkan tangan di dada, lalu melangkah mendekati bawahannya tersebut.
"Sudah bertahun-tahun bekerja, seperti anak baru saja. Apakah kau tidak belajar dari apa yang sudah dilewati? Hasil kerjamu saat ini seperti kerjaan anak bau kencur. Ingat, Ini perusahaan, bukan taman kanak-kanak!" Arga kecewa karena kerjaan bawahannya kurang maksimal. Suaranya sampai memenuhi ruangan.
"Maaf, Tuan. Saya akan perbaiki lagi."
Sebagai pemilik imperium bisnis yang mencakup hampir seluruh lini kehidupan, Arga menuntut kesempurnaan. Apa yang dia katakan harus terjadi tanpa kompromi. Kalau dia bilang A, maka A-lah yang harus jadi. Tidak peduli kondisi atau rintangan yang dihadapi.
Kadang-kadang dari posisi tingginya ini, Arga sering kali di intai bahaya. Banyak yang ingin menggulir kejayaannya dengan cara kotor. Tapi Arga bukan pria yang gampang ditaklukkan. Ia orangnya fleksibel. Kalau lawan main bersih, dia balas bersih. Kalau kotor, dia pun tidak segan bermain di lumpur.
Ketangguhan Arga bukan semata karena karakternya yang tak gentar. Dibalik itu semua, ada fondasi kuat yang menopang langkahnya. Selain faktor pemikirannya yang cermat dan tepat, dia juga memiliki orang-orang setia yang kuat. Di rumah ada Pak Genta, dan di perusahaan ada asisten Buana. Dua orang ini sangat setia kepada Tuannya. Ditambah strategi presisi dan sistem mereka yang apik sekali, membuat Arga bermandikan uang dan selalu diatas angin.
Tidak ada kata nanti, yang ada hanya sekarang. Lamban seperti ini, bisa keburu mati tertembak duluan."
Buana hanya berdiri, memperhatikan, lalu menghela napas panjang. Dalam hati, ia mengutuk kebodohan bawahannya, berani-beraninya menyajikan laporan mentah seperti itu. Tidak heran jika Arga sekarang mencak-mencak. Dan seperti biasa, saat ada yang salah, tugas tambahan pun jatuh ke tangan Buana selaku asistennya Arga. Kali ini, ia harus mengumpulkan seluruh direksi dari anak-anak perusahaan Arga. Besok. Tanpa toleransi. Di kerajaan bisnis ini, satu kesalahan kecil saja bisa merembet kemana-mana.
Saat masih berkutat dengan ponselnya, Buana menerima notifikasi laporan dari Pak Genta, orang kepercayaan Arga di rumah. Ia membuka pesan itu, membaca cepat, lalu tersenyum kecil. Ada rekaman menarik yang membuatnya segera berdiri dan melangkah ke Arga. Pria berusia 30-an itu tahu, ini akan menjadi penutup yang tepat untuk hari yang kacau.
Arga pun menatap layar HP yang disodorkan Buana. Begitu rekaman diputar, wajahnya yang semula dipenuhi letupan perlahan-lahan mengendur. Garis-garis amarah yang tadi mengeras di wajahnya, kini mulai tergantikan oleh senyum tipis yang muncul tanpa sadar.
Sementara Arga larut dalam rekaman itu, Buana melirik lelaki yang tadi sempat dimarahi habis-habisan. Dengan isyarat tenang tapi tegas, ia memintanya untuk segera keluar. Lelaki itu tidak banyak bicara, hanya mengangguk cepat sambil mengucap terima kasih lirih, lalu menghilang dari ruangan secepat mungkin.
"Pecat saja mereka." Titah Arga singkat dan padat. Buana yang sudah paham dengan Arga, sudah tahu arti dari 'mereka' nama-nama siapa saja yang harus dipecat.
"Baik, Tuan."
Ada tiga nama yang bakal dikeluarkan. Mia, dan juga dua orang lainnya, tapi bukan Fitri dan pembuang susu.
.
.
.
Bersambung.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus