Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Licik
Ruangan kantor itu begitu sunyi. Hanya terdengar suara detik jam dinding yang seolah berdetak lebih lambat dari biasanya. Dinding-dindingnya putih bersih, rapi, terlalu rapi, seperti menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap dari sekadar cat tembok. Aroma kopi dingin dan parfum maskulin samar-samar tercium, tapi yang paling terasa adalah hawa dingin menusuk yang seolah datang dari tatapan Ishak Hendrawan.
Pria itu membalik badan, menatapnya tajam. Jantung Evelyn seolah berhenti. Langkah pria berusia empat puluh tahun itu berjalan pelan menghampiri Evelyn yang berdiri mematung. Jemarinya meremas kuat tali tas selempang yang menyilang di pundaknya.
"Besar juga nyalimu. Putri Rahadja," suara pria itu pelan tapi menekan.
Lidah Evelyn terasa kelu, perlahan kepalanya jatuh tertunduk. Seolah batu besar menindih pundaknya.
"Maaf, saya tidak tahu jika hotel ini punya Anda," lirihnya penuh sesal.
Ishak tersenyum remeh pada wanita yang berdiri dihadapannya. Pria dengan jas biru itu berjalan menjauh, lalu duduk dibalik meja kerjanya dengan angkuh. Ingin rasanya Evelyn segera berlari keluar dari ruangan ini, namun kakinya seolah ragu untuk melangkah, tidak mau diajak kompromi. Hati Evelyn masih mengenggam kuat sedikit harap, tentang pekerjaan yang dijanjikan. Biarlah dia tidak punya muka, asal dia dan Cala bisa melanjutkan hidup.
"Kenapa masih berdiri, duduk. Bukan kah kau kemari untuk pekerjaan."
Perlahan wanita berkemeja putih mengangkat wajahnya, mengangguk dengan senyum kaku yang terpaksa ia hadirkan.
"Iya Pak," sahutnya berusaha tenang.
Langkah beratnya mengayun ragu, mendekat. Tangan Evelyn terulur menarik kursi yang ada di depan meja kerja sang Direktur utama, lalu duduk dengan perlahan. Ishak menumpukan kedua sikunya di meja, lalu menumpukan dagu di antara jemari yang bertaut.
"Saya sudah melihat CV yang kamu kirimkan. Cukup menarik, tapi tidak cukup baik untuk bisa menjadi bagian dari hotel ini."
Evelyn masih menunduk, tapi senyum getir tersungging di bibirnya. Seharusnya dia tahu, tidak ada kesempatan untuk dia di sini. Evelyn terlalu berharap.
"So ..." Ishak menarik diri sedikit menjauh dari meja, lalu membuka laci mejanya.
Evelyn menunduk tapi matanya tak bisa menyembunyikan guncangan. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, namun tubuhnya nyaris tak bergerak, seakan jika ia salah sedikit bernapas, udara pun akan menghakiminya.
“ Evelyn,” suara Ishak terdengar tenang, tapi tajam, seperti pisau berbalut sutra.
“Saya minta kamu pergi dari kehidupan Hail. Dari kota ini. Dari keluarga kami.”
Evelyn menarik napas pelan. Ia mencoba bicara, tapi Ishak tak memberinya waktu.
“Sudah cukup saya memberikan kamu ketenangan, selama ini saya tidak mengusik hidup kamu. Tapi kamu dengan liciknya memakai anak itu untuk menjebak Hail. Apa kau pikir ak tidak tahu rencana busukmu mendekati Hail dan mengincar warisan keluarga Hendrawan. Permainan Anda terlalu halus, tapi saya tidak sebodoh itu," Ishak menyeringai dingin.
Beberapa hari yang lalu tanpa sengaja Ishak melihat Hail bersama seorang anak kecil di bangku depan minimarket. Dan Ishak pun memerintahkan seseorang untuk menyelidiki anak kecil itu, dan hasilnya cukup mengejutkan.
Evelyn tersentak. Ada dorongan untuk membantah, membela diri, meneriakkan bahwa ia tidak seperti itu. Tapi suara itu tertahan di tenggorokannya. Hatinya sakit mendengar tuduhan yang Ishak lontarkan, tapi dia bena-benar tidak sanggup bicara. Karena kemudian Ishak berkata—dengan nada dingin yang menusuk tulang.
“Kau pikir kami lupa? Dosa ayahmu… Menghianati kepercayaan kami, menggelapkan dana perusahaan, membuat ratusan karyawan kehilangan pekerjaan. Semua itu bukan sekadar kesalahan bisnis, Evelyn. Itu penghianatan. Dan kau—kau datang seolah tak berdosa, seolah nama keluargamu bukan noda. Kau salah ... bau busukmu akan selalu tercium, darah penghianat!"
Langit-langit ruangan terasa menekan Evelyn, seperti akan runtuh dan menimpanya. Dadanya sesak. Ia menelan ludah, mencoba tegar. Tapi suara Ishak terus menghantamnya.
“Jangan pura-pura polos, Evelyn. Kau tahu siapa dirimu. Dan tempatmu… bukan di sini.”
Akhirnya, Evelyn bersuara. Pelan, namun jelas. “Saya tahu apa yang Papa saya lakukan. Saya tidak menyangkalnya. Tapi saya bukan dia…"
Suaranya nyaris tenggelam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menolak menangis. Karena menangis hanya akan membuatnya terlihat lemah. Namun di dalam, jiwanya retak sedikit demi sedikit.
Ishak bangkit dari kursinya. Langkahnya pelan saat mendekat, namun setiap langkah terasa seperti palu godam di dada Evelyn.
“Saya tidak peduli seberapa keras kau berusaha menebus masa lalu. Dosamu sudah ditentukan sejak kau lahir. Kau bukan bagian dari kami. Dan tak akan pernah jadi. Jauhi Hail, atau kau akan tahu akibatnya."
Evelyn akhirnya hanya diam. Tak ada lagi kata-kata. Karena ia tahu… sekeras apapun ia melawan, masa lalu ayahnya telah menjadi tembok yang terlalu tinggi untuk dipanjat. Dan kali ini, ia harus menanggung semua dosanya—meski bukan miliknya.
Brak!
Pintu di dorong dengan keras, membuat keduanya menoleh. Seorang pria bertubuh tegap dengan rambut blondenya, masuk. Langkahnya tegas, menatap Ishak dengan berapi-api.
"Dia tidak akan kemana-mana!" tegas Hail.
jangan sampai ada cakra ke dua lagi yaa pakk...
kamu pasti bisa membuktikan kalau papa nya evelyn gak bersalah. dia hanya di fitnah seseorang.
aduduh untung bgt ya ada ob lewat bawa mie goreng jadi hail gak lama² deh di luar nya
eh kebetulan yg disengaja nih, ada OB bawa makanan. jadi alasan hail tepat
sudah saatnya hail berjuang untuk mencari kebenaran untuk ayahnya Eve