“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Risa duduk di sisi tempat tidur, di ruang perawatan VVIP yang sunyi namun hangat.
Bau antiseptik samar tercium di udara, menyatu dengan suara pelan alat monitor yang mencatat detak jantung Aditya.
Wajah suaminya masih tertutup perban sebagian, dan kakinya digantung untuk menjaga posisi setelah operasi.
Di luar, Mama dan Papa Aditya menunggu bersama Stefanus, memberi ruang agar Risa bisa sendiri menemani Aditya.
Mereka tahu, tak ada yang bisa menggantikan kehadiran Risa di saat seperti ini.
Risa menatap layar ponselnya. Sebuah notifikasi dari platform tulisannya muncul puluhan komentar baru dari para pembaca yang setia mengikuti kisah novel yang ia tulis, kisah tentang kehilangan, cinta, dan harapan.
Ia membuka keyboard virtual, jari-jarinya mulai mengetik:
Terima kasih untuk semua cinta dan doa kalian. Tanpa kalian, aku mungkin sudah berhenti menulis. Tapi hari ini… aku masih di sini. Menunggu, mencintai, dan berharap. Dan aku ingin kalian tahu, bahwa keajaiban itu nyata.”
Ia menekan tombol unggah, lalu menatap kembali Aditya yang masih belum membuka mata.
“Mas... aku di sini. Nggak akan ke mana-mana,” bisiknya pelan, dengan senyum yang sendu namun penuh harapan.
Jam menunjukkan pukul dua pagi. Lampu kecil di sudut ruangan memancarkan cahaya temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding ruang perawatan VVIP.
Suasana tenang, hanya terdengar suara detak mesin medis yang terus bekerja memantau kondisi pasien.
Aditya perlahan membuka matanya.
Pandangan pertamanya buram, namun sosok itu begitu jelas di hadapannya, seorang wanita tertidur di tepi ranjang, kepalanya menyandar di lengan, napasnya teratur, dan wajahnya menunjukkan kelelahan luar biasa.
Aditya ingin berbicara, tapi tenggorokannya kering. Ia hanya bisa menatap, diam-diam menyeka air mata yang tiba-tiba menggenang di sudut matanya.
Kenangan samar mulai kembali… suara pesawat, dentuman, lalu gelap. Dan sekarang, ia terbangun, melihat perempuan yang ia pikir takkan bisa ia lihat lagi.
Tangannya yang masih lemah berusaha bergerak, meraih jari Risa perlahan.
Sentuhan itu cukup membuat Risa menggeliat pelan, lalu matanya terbuka dengan cepat. Ia menatap Aditya dan melihat tatapan itu.
“Mas…,” ucap Risa nyaris tak percaya, suaranya bergetar.
“Mas Aditya?”
Aditya mengangguk pelan. Bibirnya bergerak lemah, membentuk kata:
“Risa…”
Tangis Risa pecah seketika. Ia menggenggam tangan Aditya erat, tubuhnya gemetar oleh keharuan dan rasa syukur yang tak terbendung.
“Aku di sini, Mas… aku di sini…”
Dokter segera datang begitu Risa memanggilnya dengan panik namun penuh harap.
Ia bersama dua perawat masuk ke ruang perawatan, mengecek monitor, pupil mata Aditya, denyut nadi, serta kondisi fisiknya secara menyeluruh.
“Ini keajaiban,” ucap dokter sambil tersenyum. “Tuan Aditya, Anda sadar penuh dan stabil. Tapi kami perlu memberi tahu beberapa hal.”
Risa menggenggam tangan Aditya, tatapannya gelisah.
Dokter menatap Aditya dengan lembut. “Kondisi wajah Anda mengalami trauma parah. Struktur tulang pipi dan rahang kanan mengalami kerusakan besar. Kami akan membutuhkan waktu sekitar satu tahun sebelum dapat melakukan rekonstruksi penuh.”
Aditya terdiam sejenak, lalu menatap dokter, matanya menyiratkan kecemasan. “Apakah aku akan lumpuh?”
Dokter menggeleng pelan. “Tidak, Tuan Aditya. Kaki Anda patah dan saat ini sudah kami stabilkan dengan gips, tapi tidak ada kerusakan permanen pada saraf. Anda akan menjalani fisioterapi intens, dan kemungkinan besar bisa berjalan normal lagi setelah pemulihan.”
Risa mengusap pelan tangan suaminya. “Kamu akan baik-baik saja, Mas. Aku di sini… selalu.”
Aditya menatapnya dalam diam, wajahnya yang setengah rusak tak mengurangi ketulusan di matanya.
Ia tahu, hidupnya mungkin takkan sama, tapi perempuan itu… tetap memilih tinggal.
Mama, Papa, dan Stefanus perlahan masuk ke ruang perawatan, suara langkah mereka terdengar lembut.
Mama langsung menutup mulutnya, menahan tangis saat melihat wajah putranya yang penuh luka, namun matanya terbuka dan menyadari keberadaan mereka.
“Anakku…” suara Mama bergetar, mendekati ranjang dan menggenggam tangan Aditya dari sisi berlawanan dengan Risa.
Papa berdiri di belakangnya, mengangguk pelan, matanya basah.
Stefanus berdiri di kaki ranjang, tubuh tegapnya tampak sedikit gemetar menahan emosi.
“Dit,” katanya lirih, “kau tahu… istrimu ini tidak pernah menyerah.”
Aditya menoleh pelan ke arah Stefanus.
“Setelah berita jatuhnya pesawat, semua orang kehilangan harapan. Tapi Risa? Dia yakin kamu masih hidup. Dia terus menulis, terus berharap, dan saat kabar samar tentang korban yang tak dikenal muncul, dia langsung minta bantuanku pergi ke Inggris.”
Stefanus menatap Risa sejenak, lalu kembali menatap Aditya.
“Dia melewati hutan, jalan terjal, desa terpencil. Dia mengenalimu bahkan saat wajahmu nyaris tak bisa dikenali. Dia yakin. Dan ternyata… dia benar.”
Mama terisak, Papa menepuk bahu Stefanus dengan haru.
Aditya memejamkan mata sesaat, air mata menetes di sudutnya. Ia menggenggam tangan Risa lebih erat.
“Maafkan aku…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Risa hanya menggeleng sambil tersenyum kecil, menahan tangis.
“Yang penting kamu kembali, Mas.”
Setelah beberapa saat berbincang penuh haru, Mama berdiri dan merapikan tasnya.
“Nak, Mama dan Papa pamit dulu ya. Kami istirahat di hotel, besok pagi Mama ke sini lagi.”
Papa mengangguk, “Istirahat yang cukup, Dit. Besok akan ada banyak yang harus kamu hadapi.”
Stefanus ikut berdiri, menepuk pelan bahu Aditya.
“Aku juga pamit, Dit. Jaga diri baik-baik. Istirahat, ya.”
Aditya mengangguk pelan, “Terima kasih, semuanya…”
Satu per satu mereka meninggalkan ruang perawatan.
Saat ruangan kembali tenang, hanya Risa dan Aditya yang tertinggal.
Risa duduk di samping ranjang, masih menggenggam tangan suaminya.
“Besok psikiater dari rumah sakit akan datang,” ucap Risa lembut.
“Mereka ingin memastikan kamu tidak menyimpan trauma berat… karena kecelakaannya.”
Aditya menatap langit-langit kamar. “Aku masih merasa seperti mimpi. Aku hidup, Ris…”
Risa menunduk, menyentuhkan dahinya ke punggung tangan Aditya.
“Dan aku akan ada di sini untuk menemani kamu melewati semuanya.”
Keesokan paginya, matahari pagi menembus jendela rumah sakit, menciptakan semburat cahaya hangat di lorong-lorong yang biasanya dingin.
Risa duduk di bangku luar ruangan perawatan, menggenggam cangkir kopi hangat di tangannya. Wajahnya tampak lelah namun tenang.
Ia tahu hari ini penting untuk pemulihan Aditya, karena psikiater akhirnya datang untuk sesi pertama.
Di dalam kamar, Aditya duduk di kursi roda, berhadapan dengan seorang wanita paruh baya berseragam putih psikiater rumah sakit.
“Selamat pagi, Tuan Aditya,” sapa psikiater itu lembut.
“Saya Dr. Helena. Kita akan berbincang sebentar, tidak perlu merasa terbebani. Saya hanya ingin tahu bagaimana perasaan Anda setelah kejadian itu.”
Aditya menarik napas panjang. “Saya… bingung. Semua seperti kabur. Tapi saya ingat rasa sakitnya. Dan… gelap.”
Dr. Helena mencatat sambil menatap penuh empati.
“Apakah Anda mengalami mimpi buruk atau kilas balik tentang kejadian itu?”
Aditya mengangguk. “Setiap saya memejamkan mata, suara mesin dan jeritan itu… kembali. Saya merasa bersalah karena saya satu-satunya yang hidup.”
Dr. Helena mendekat sedikit. “Perasaan itu wajar, dan bukan salah Anda. Bertahan hidup bukanlah sebuah dosa, Tuan Aditya. Itu sebuah kesempatan.”
Sementara itu, Risa menatap ke langit. Dalam hatinya, ia hanya berharap Aditya mampu pulih, tak hanya secara fisik… tapi juga batin.
Tak lama setelah sesi bersama psikiater selesai, pintu kamar Aditya diketuk.
Seorang perawat masuk dan memberi tahu bahwa perwakilan dari pihak maskapai penerbangan ingin berbicara dengan Aditya.
Risa yang baru saja masuk ke dalam kamar langsung berubah raut wajahnya.
“Untuk apa mereka datang sekarang?” gumamnya tajam.
Beberapa menit kemudian, dua orang bersetelan rapi dari maskapai masuk, membawa dokumen dan sikap formal yang mencolok.
“Selamat siang, kami dari pihak maskapai—”
“Keluar,” potong Risa dengan suara tinggi.
Mereka terdiam, kaget.
“Suami saya baru saja sadar dari koma. Kalian bahkan mengumumkannya sebagai salah satu korban meninggal dunia tanpa memastikan lebih dulu! Sekarang kalian datang bawa kertas dan ingin bicara seolah tidak ada yang terjadi?” Mata Risa mulai berkaca-kaca.
Salah satu dari mereka mencoba menjelaskan, “Kami hanya ingin menyampaikan simpati dan menjelaskan prosedur kompensasi, serta—”
“Dia belum siap! Kalian tidak tahu trauma yang dia alami. Kalian tidak peduli saat kami butuh kepastian, dan sekarang datang saat semuanya masih belum stabil?”
Risa berdiri di depan mereka dengan tegas. “Silakan keluar. Ini bukan waktunya. Kami akan menghubungi kalian saat Aditya siap.”
Dengan berat hati dan wajah tertunduk, kedua utusan maskapai itu meninggalkan kamar.
Aditya hanya bisa menatap Risa yang ada di balik pintu, matanya berkaca-kaca. Meski lemah, ia menggenggam tangan istrinya.
“Terima kasih, Ris…”
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending