dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 9. BENANG TAKDIR
~~jangan lupa tinggalkan komentar dan dukungannya
Di ruangan penuh dengan karya lukisan elena, alejandro duduk patuh tanpa protes saat tangan lembut gadis itu membasuh lukanya dengan antiseptik.
Pria itu duduk diam sepanjang proses, hanya sesekali menahan napas kala alkohol menyentuh luka, namun tidak sekalipun mengeluh. Elena tidak bisa menahan diri untuk tidak mencuri pandang. Luka itu membuat Alejandro terlihat seperti manusia biasa dan entah bagaimana, rasanya lebih dekat.
"Aneh," gumam Elena pelan.
Alejandro mengangkat alis. "Apa yang aneh?"
Elena buru-buru memalingkan wajah. "Kau terlihat... kurang menyeramkan saat terluka." Ia langsung menunduk.
Alejandro terdiam sejenak sebelum sudut bibirnya terangkat tipis. "Jadi, aku biasanya menyeramkan di matamu?"
"Aku tidak bilang begitu," jawab Elena cepat, lalu berdiri dan berdehem, menyembunyikan kegugupan."
Elena menggigit bibirnya sendiri menahan ngilu melihat luka yang tampak ternganga itu sebelum benar-benar membalutnya dengan perban.
"Tidak sakit?" Tanya gadis itu pelan.
"Tidak." Balas pria itu singkat dengan suara beratnya.
Alejandro spontan berdehem saat netra coklat nya tak sengaja memperhatikan wajah gadis itu yang kembali dekat dengannya.
"Sudah selesai." Elena menutup kembali kotak P3K dan meletakkan benda kotak tersebut di bawah meja.
"Terima kasih," ucap pria itu singkat lalu berdiri dan pergi.
Elena menghela napasnya panjang melihat punggung pria itu semakin menjauh.
Gadis itu melangkah menjauh menuju ke sebuah tempat.
Kakinya membawanya pada satu tempat yang selalu menjadi pelariannya dari kenyataan. sebuah ruang tersembunyi di balik taman, bangunan kecil yang dulu adalah gudang tua, kini dipenuhi coretan dan kenangan.
Begitu membuka pintu nya,
Ruangan itu masih gelap sebelum gadis itu menyalakan saklar lampu.
aroma kayu tua dan debu menyeruak, namun Elena justru merasa tenang. Dinding ruangan itu penuh coretan kata-kata, kutipan, dan sketsa. Namun yang paling mencolok adalah puluhan foto yang tergantung pada tali-tali kecil yang direntangkan di dinding.
Salah satunya adalah foto dua gadis berseragam SMA, tertawa lepas sambil memakan es krim di tepi jalan. Yang satu berambut cokelat terang dengan senyum lebar yang khas Kirana. Gadis itu dulu sahabat terbaik Elena. Tempat bercerita, tertawa, dan menangis. Kirana selalu penuh semangat, selalu tahu cara mengusir kesedihan Elena dengan candaan receh dan pelukan hangat.
"Aku rindu kamu, Kirana..." bisik Elena sambil menyentuh foto itu dengan jemarinya. "Kamu pasti sudah punya hidupmu sendiri sekarang, ya? Sudah menikah, atau mungkin sedang sibuk di kota besar... Aku harap kamu bahagia, di mana pun kamu berada."
Elena refleks menarik sudut bibirnya melengkung keatas saat mengingat bagaimana cerewet nya sahabat satu-satunya yang dia miliki, namun takdir memisahkan kedekatan mereka saat elena dibawa paksa pergi oleh tuan wigantara, ayahnya. kala itu.
Ia tak pernah tahu, tak pernah diberitahu bahwa Kirana telah pergi. Gadis itu tewas karena ulah Arthur, kakak tirinya sendiri.
Alejandro menyalakan api rokok nya dan menyesap nikotin favorit nya lalu menghembuskan asap rokok nya keatas, ia mendongak menatap langit malam yang tampak pekat, sepertinya akan turun hujan.
Hati pria tampan itu sungguh gelisah, semua fakta mencengangkan seakan menghantam tepat di benaknya bak seribu anak panah yang beracun.
Namun tiba-tiba netra coklat itu tak sengaja melihat sebuah bangunan kecil di taman itu.
Alejandro tidak tahu apa yang membuatnya melangkah menuju tempat itu. Mungkin karena rasa gelisah yang tak kunjung reda, atau mungkin karena rasa penasaran semata. Tapi saat melihat pintu kecil di balik semak mawar terbuka, langkahnya terhenti.
Ia menyusuri lorong pendek menuju ruangan tua yang tampak seperti tempat rahasia. Saat membuka pintunya perlahan, cahaya temaram dari lampu gantung menyinari dinding-dinding penuh coretan dan foto-foto masa lalu.
Dan di sanalah Elena berdiri, punggungnya menghadap Alejandro, tubuhnya diam memandangi sebuah foto yang tergantung paling tengah. Alejandro tak ingin mengganggu, tapi matanya tertarik pada foto itu.
Itu wajah yang sangat dikenalnya.
Kirana.
Darah Alejandro berdesir kencang. Tubuhnya membeku. Ia menatap foto itu. foto Kirana yang tertawa bersama seorang gadis lain. Elena. Kedua gadis itu tampak dekat, sangat dekat. Ada kehangatan dalam cara mereka saling merangkul.
“Dia sahabatku waktu SMA,” suara Elena tiba-tiba terdengar lirih. Ia tahu Alejandro ada di belakangnya.
“Namanya Kirana. Gadis paling cerewet yang pernah kutemui. Tapi dia juga satu-satunya yang selalu membuatku merasa tidak sendirian.”
Alejandro tidak bisa menjawab. Tenggorokannya tercekat.
“Aku sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengannya. Entah di mana dia sekarang,” lanjut Elena dengan senyum sendu. “Tapi aku percaya, suatu saat aku akan bertemu lagi dengannya. Aku ingin tahu, apakah dia masih suka mengeluh soal rambutku yang katanya selalu berantakan…”
Alejandro mengalihkan pandang, menahan sesak yang menguar dari dadanya. Kirana… Elena tidak tahu. Tidak tahu bahwa sahabat yang begitu dirindukannya itu telah tiada. Tidak tahu bahwa orang yang berdiri di sampingnya kini… adalah lelaki yang mencintai Kirana dengan seluruh nyawanya.
"Aku tidak menyangka…" gumam Alejandro pelan.
Elena menoleh. "Maksudmu?"
Alejandro menggeleng cepat. "Tidak, bukan apa-apa."
Ia melangkah keluar lebih dulu, sebelum emosinya tumpah tanpa bisa ditahan. Dalam dadanya, perihnya kehilangan kembali mengoyak lebih tajam dari sebelumnya.
Kini semuanya berubah. Elena bukan hanya putri dari orang yang harus ia awasi. Ia adalah bagian dari Kirana. Sebuah bagian yang kini Alejandro tahu… tak bisa ia sakiti.
Kini ia tahu bahwa gadis yang kini mulai membuatnya merasa hidup kembali, ternyata adalah sahabat dari wanita yang paling ia cintai...yang tak sempat ia selamatkan.
Dua hati yang saling bersinggungan, membawa rahasia masing-masing. Tanpa mereka tahu, waktu perlahan menggiring mereka menuju kenyataan pahit yang suatu hari akan terungkap dengan luka yang lebih dalam.
Bahkan jika itu berarti mengorbankan rencana balas dendamnya.
Keesokan harinya...
Elena sudah bersiap dan menyelinap masuk kedalam mobil ketika ia sempat mendengar percakapan alejandro di telepon.
Gadis itu ingin tahu kemana bodyguard nya itu pergi. Elena berharap kalau lelaki dingin itu mengunjungi kediaman ayahnya.
Saat keadaan aman, elena langsung masuk kedalam bagasi mobil tersebut dan menutup mulut nya agar tidak menimbulkan suara apapun.
Jantung gadis itu mendadak berdetak kencang saat merasakan pintu mobil di tutup kencang.
Elena bisa merasakan mobil itu tengah bergerak kencang. Bahkan sangat kencang seakan berada di arena balapan hingga membuat tubuh mungil nya seakan terombang-ambing di dalam sana.
Sementara itu alejandro yang fokus menyetir, sebelah tangan nya tergerak menyentuh layar monitor di mobil dan menyambungkan nya ke cctv rumah.
Refleks pria itu mengerem laju kendaraan roda empat itu secara mendadak saat melihat putaran rekaman cctv sebelum dia pergi.
Pria itu menggelengkan kepalanya pelan dan keluar dari mobil, berjalan mendekati bagasi mobil.
Elena menahan napasnya ketika tutup belakang bagasi mobil itu terangkat.
"Turun," Suara berat dan terdengar sangat dingin itu terdengar agak menakutkan.
Elena membuka mata dan mengangguk lalu perlahan bangkit keluar dari bagasi mobil itu.
Alejandro membuka pintu mobil menunggu gadis itu masuk kedalam tanpa berbicara.
BRAK! Gadis itu tersentak kaget karena pria itu menutup pintu mobil dengan kencang.
Alejandro menatap kearah elena dan memasangkan seat belt nya.
Tak lama, mobil itu kembali melaju membelah jalanan yang ramai.
Meski kesal, ekor mata pria itu bisa melihat kening gadis cantik itu tampak sedikit memar.
"Dasar bodoh," gumamnya pelan namun terdengar jelas di telinga gadis itu sehingga membuat nya langsung menoleh.
"Aku tidak bodoh, aku hanya ingin bertemu dengan ayahku," jawab gadis itu apa adanya.
Pria itu berdecih lalu tertawa singkat.
"Tapi aku tidak menuju ke sana, elena."
"Aku harus pergi ke suatu tempat dan tempat itu sangat menyeramkan. Tidak cocok untukmu," Tambah nya lagi.
Hening tak ada respons dari gadis itu.
Untuk sesaat, alejandro hampir kehilangan fokusnya saat mendapati gadis itu tengah fokus menatap dunia luar dengan senyum merekah.
Jemarinya terulur seakan sedang menyentuh apapun yang tampak di luar kaca mobil itu.
"Seberapa lama dia dikurung, dia bahkan terlihat sangat bahagia dengan hal remeh."
"Seharusnya Kau tidak perlu mengharapkan lagi perhatian ayahmu, elena. Dia sudah membuang mu meskipun memberimu hunian mewah, pria serakah itu hanya peduli dengan kekuasaan nya."
"Tetap lah di mobil," titah pria itu dengan raut wajah datarnya.
"Aku mau ikut," Elena langsung Keluar dari mobil tanpa menghiraukan tatapan tajam pria yang ada di samping nya.
"Dasar gadis keras kepala," ucap nya langsung keluar dari mobil dan berjalan mendahului gadis itu menuju ke sebuah gedung besar yang sebenarnya adalah markas organisasi black panther.
Seorang pria yang masih terlihat sangat tampan dan penuh ketegasan di wajahnya, terlihat sedang fokus memperhatikan susunan senjata api koleksi nya dari berbagai jenis yang tersusun rapi di lemari kaca yang ukuran lebar nya hampir 10 meter.
Sementara itu, para anak buahnya yang lain, berbaris rapi tanpa suara. Mereka semua refleks menoleh saat mendengar suara ketukan langkah kaki.
Sean ikut menoleh dan tersenyum tipis membalas pria itu yang menunduk hormat pada nya.
Sean melirik singkat kearah elena yang berada dibelakang alejandro. Gadis itu memegang ujung jas pria itu karena takut melihat banyaknya orang-orang berbadan besar dan wajah sangar tengah memperhatikannya.
"Jaga mata kalian, jangan melihat sesuatu yang tidak seharusnya kalian lihat. Keluarlah!" Titah Sean yang peka terhadap ketidaknyamanan gadis itu.
Semua anak buahnya langsung menunduk hormat dan pergi keluar dari markas tersebut.
"Ada apa?" Tanya Sean menatap alejandro yang seakan enggan mengatakan sesuatu.
"Maaf, Tuan. Ada hal penting yang ingin ku bicarakan." Alejandro melirik kearah elena yang menunduk sambil memegangi ujung jas nya.
"Al, tempat macam apa ini, kenapa orang-orang nya terlihat sangat menyeramkan kecuali orang itu," bisik elena sambil melirik kearah Sean.
"Salahmu sendiri, kau yang memaksa ikut," jawab pria itu ikut berbisik.
Sementara itu Sean menyunggingkan senyumnya melihat interaksi mantan anak buahnya itu dengan seorang gadis.
Sean tahu bahwa gadis itu adalah putri rahasia dari tuan presiden adalrich wigantara.
"Kita bisa bicarakan nanti, kau pergilah bawa dia ketempat yang membuatnya nyaman, Al." Sean mengeluarkan sebuah amplop tebal berisi uang dan memberikannya pada alejandro.
"Tidak perlu repot-repot tuan," Pria itu menolaknya dengan sopan.
"Kau tidak lupa kan, dikamusku tidak ada kata protes atau penolakan?" Sean mendelik kearah alejandro namun malah elena yang takut.
Mau tak mau, pria itu menerima amplop tebal tersebut dengan berat hati. Dari dulu mantan bos nya itu memang terkenal royal.
"Pakai ini," Elena membeku saat pria tinggi itu memakaikan topi padanya.
"Dan, ini," Alejandro menyodorkan jaketnya pada elena yang masih diam menatap jaket tersebut.
"Pakai sendiri, jangan manja." Pria itu malah melempar jaketnya membuat elena refleks menangkap nya.
"Siapa juga yang minta dipakai kan, percaya diri sekali!" Dia menatap kesal karena pria yang berjalan mendahuluinya masuk kedalam sebuah restoran.