Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.
Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
XV
Gia memutuskan keluar kamar, setelah cukup memberikan ruang untuk sepasang ayah dan anak dalam mencurahkan rindu. Bukan Gia tak mau menemani, dia terlalu muak untuk bersikap baik-baik saja, sedangkan kenyataannya memang tak ada yang baik-baik saja.
Gia tak melarang anak-anaknya menemui sang ayah, tetapi Gia juga tak akan membiarkan anak-anaknya terenggut dari sisinya. Merasakan perpisahan secara paksa dengan anak-anaknya dulu, membuat Gia merasa harus waspada setiap saat.
Dapat Gia lihat, anak gadisnya tengah tertidur dipangkuan sang ayah. Sesekali Jordan mengusap kepala anaknya dengan pandangan kosong. Gia beralih menatap pintu kamar putranya yang sedari tadi tertutup. Tampaknya remaja itu sedang mencari-cari tentang kehidupannya, anak itu pasti membutuhkan waktu untuk sendiri dan memikirkan perasaannya.
Gia membiarkan, tapi benar-benar membiarkan. Tadi sebelum benar-benar masuk kedalam kamar, Gia membuka sedikit pintu kamar anaknya yang tak terkunci. Dapat Gia lihat sang anak tengah menenggelamkan kepalanya pada bantal. Anak itu bahkan tak menyadari keberadaannya.
Gia menghembuskan napas kecil, merasa lelah.
" Kamu gak pulang? " Ucap Gia menyadarkan Jordan dari lamunannya. Jordan melirik sekilas mantan istrinya, lalu beralih ke arah jam yang kini mulai menunjukkan setengah 9 malam. Waktu berjalan begitu cepat. Perasaan baru ba'da isya tadi Jordan datang, kini waktu sudah berlalu begitu cepat.
Jordan menatap sang anak yang tengah tertidur itu, tak lupa mengecupi kening saat anak, sayang. Lihat betapa teduhnya lelap sang anak. Bagaimana dia bisa melupakan ini dengan perasaan biasa saja dulu?
" Biar aku bawa Shila kedalam kamarnya yah. " Pinta Jordan lirih.
Gia terdiam sesaat, berpikir mengiyakan atau tidak.
" Boleh, kamarnya disebelah sana. " Jawab Gia, sembari menunjukkan salah satu pintu kamar yang ditempati oleh sang putri.
Jordan menganggukkan kepalanya kecil. Mulai mengangkat putri tidurnya itu kedalam kamar. Tak lupa ia selimuti sang anak, agar tak membuat anak kecil itu tak kedinginan. Yah, meskipun Jordan yakin, kain tipis itu tak akan dapat menjadi selimut hangat untuk anak gadisnya itu. Tapi tak apa, sementara biar itu yang membuat anaknya nyaman. Besok Jordan akan kembali membelikan selimut hangat untuk anaknya, beserta kasurnya. Lihat kasurnya sangat tipis, bahkan Jordan baru pertama kali lihat ada kasur setipis itu, kasur itu tampak seperti karpet. Entahlah, Jordan tak paham.
Jordan mengamati kamar anaknya setiap inci. Kamar ini sangat kecil. Tapi entah kenapa Jordan merasa yakin kamar ini akan memberikan kenyamanan tersendiri untuk putri tidurnya itu.
Sebelum benar-benar keluar dari kamar sang anak, Jordan memberikan kecupan kecil pada kening sang anak. " Sweet dreams, my little princess. "
Jordan beranjak dari kamar anak, menemui mantan istrinya yang saat ini tengah terduduk disofa ruang tengahnya. Terdapat sofa untuk 1 orang yang wanita itu duduki. Jordan pun memilih mendudukan diri pada sofa panjang ruang itu.
" Kamu gak langsung pulang? " Tanya Gia langsung. " Bukan maksud mengusir, tapi gak enak dilihat tetangga apalagi saat ini status ku sebagai janda dan kamu suami orang. Tampak tak etis kalau kamu baru keluar dari rumah ini saat hari tengah malam. "
Jordan menghela napasnya pelan. " Ada yang mau aku omongin sama kamu. Ada yang harus aku jelasin. " Cicit Jordan melirih.
Gia memalingkan wajahnya dari sang mantan suami, muak. " Apapun itu, simpan saja perkataan mu untuk mu sendiri. Ini sudah malam, aku benar-benar tak ingin ambil resiko. Kasian anak-anak bakalan dengerin omongan yang enggak-enggak dari tetangga. "
Jordan mendongak menatap mantan istrinya lamat-lamat. Membuat hening untuk beberapa saat. Mengapa terlalu rumit?
Jordan tak tahu harus bertindak apa. Kala janji-janji untuk melindungi dan memberi kehangatan hanya terbalas dengan kepedihan dan keterabaian. Sedangkan di dalam rumahnya masih terdapat sang istri yang setia menanti kehadirannya. Untuk menepati janji-janjinya pun rasanya tak mungkin lagi. Jordan bingung menggambarkan seperti apa lagi penyesalan dilubuk hatinya.
Menghela napas kecil, Jordan mulai beranjak dari tempatnya. " Aku pulang sekarang. Assalamualaikum. "
Gia mendongak menatap mantan suaminya itu. " Tunggu. " Membuat Jordan masih mempertahankan tubuhnya pada tempat yang ia pijaki. Gia termenung sejenak, menerawang jauh.
Menunduk, Gia mengutarakan isi hatinya. " Boleh aku bertemu dengan Kara dan Ara? " Suara itu terdengar sangat memohon.
Gia kini tak menangis, hanya menunggu reaksi mantan suaminya. Gia hanya ingin mencoba sekali saja memohon bertemu dengan sang anak, selebihnya tentang iya atau tidak, Gia serahkan pada tuhan maha esa. Gia hanya dapat berharap sekali saja tuhan memperbolehkan seorang ibu yang telah lama tak bersua dengan anaknya untuk segera bertemu melepas rindu yang memberatkan langkah itu.
Jordan terdiam menatap wanita yang berusaha tampak tegar itu. Lihat, bahkan wanita yang tampak terpuruk dulu itu kini moleh didewasakan oleh keadaan yang tak berpihak. Bukankah sudah terlalu banyak yang wanita itu terima saat ini? Inikah hasil dari janjinya itu? Janji manisnya hanyalah sebuah angan yang malah menjadi pisau teramat tajam untuk penerimanya.
" Boleh. " Jawab Jordan. Pria itu menahan napasnya, kala suaranya terdengar gemetar saat diucapkan.
Lihat wanita yang sempat ia cintai dulu itu, kini tampak lebih kuat dari sebelumnya. Entah Jordan harus bersyukur atau tidak. Nyatanya cara untuk mendewasakan wanita itu tak main-main kejamnya. Jordan tak mampu rasanya hanya untuk sekedar memikirkan keadaan wanita itu kini.
" Maaf.. " Lirih Jordan, teramat lirih yang bahkan Jordan yakini tak akan pernah sampai pada wanita yang telah melahirkan anak-anaknya itu.
Jordan meninggalkan rumah itu dengan sebelumnya memberikan salam pada sang mantan istri. Didalam mobil Jordan terdiam cukup lama. Air matanya menetes. Ah, cengeng sekali cowok itu. Bagaimana jika Kara melihatnya menangis, pasti anaknya itu akan mengejeknya habis-habisan.
Baiklah, Jordan akui dirinya gagal sekarang. Jordan benar-benar kalah sekarang. Nafsu yang tak terkendalinya dulu membawa kerumitan yang sangat menjerat saat ini. Jordan tak mampu, benar-benar tak mampu.
Jordan salah, sangat salah. Seharusnya sekarang dia masih fokus menebus lukanya pada wanita itu, wanita yang sedemikian rupa ia hancurkan itu. Tetapi kini bukannya menebus, Jordan membawa wanita lain pada kisah yang tak pernah usai itu. Membuat rasa bersalah semakin menguar dari lubuk hati terdalam. Bahkan untuk berkutik pun Jordan tak mampu.
Jordan membenturkan kepalanya pada stir mobilnya kuat-kuat.
Bodoh-bodoh-bodoh. Jordan sangat bodoh. Harusnya sedari awal Jordan tak usah menikah saja, memilih untuk menjomblo sampai ingatannya kembali pulih. Seharusnya pria itu tak usah menuruti permintaan orang tuanya yang tak pernah berpihak padanya itu.
" Arghhh.. " menggeram rendah, Jordan menatap jalan dengan mata benar-benar memerah.
Tuhan, kali ini dia harus bagaimana?