Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangis Pedih Anak Kecil
Mediasi di kantor polisi berakhir dengan kegagalan total. Haryati dan Fathia, yang menolak berdamai dan justru kembali baku hantam, akhirnya diamankan dan ditahan di sel terpisah oleh petugas kepolisian. Tindakan ini diambil agar keduanya mau diajak bekerja sama dan tidak lagi membuat onar.
"Kalian tidak akan keluar dari sini sebelum bersedia menyelesaikan masalah ini baik-baik!" tegas seorang polisi kepada keduanya.
Haryati hanya mendengus kesal, sementara Fathia tertawa sinis dari balik jeruji, seolah mengejek Haryati yang kini juga ikut ditahan bersamanya. Naura dan Subeni menatap prihatin, sementara Marcella masih saja menangis tak terkendali dalam gendongan Subeni, tangisnya yang melengking menambah suasana kacau di kantor polisi.
Tak lama kemudian, Kusri dan Neni, orang tua Fathia, tiba di kantor polisi. Kusri adalah adik kandung Haryati, namun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan raut iba terhadap sang kakak yang kini ditahan. Justru sebaliknya, ada sedikit ketidaksukaan di matanya.
"Ada apa ini, Pak Polisi? Kenapa anak saya ditahan?" tanya Kusri dengan nada menuntut, menghiraukan keberadaan Haryati.
Neni segera menghampiri Fathia. "Anakku! Kamu tidak apa-apa?"
Fathia tersenyum lebar melihat kedua orang tuanya datang. Ia menatap Haryati dengan tatapan mengejek. "Mereka menahanku, Bu. Aku tidak bersalah!" serunya, seolah mencari pembelaan.
Kusri kemudian beralih menatap Haryati dengan dingin. "Kakak ini memang selalu saja membuat masalah. Tidak cukup diusir dari desa, sekarang sampai di sini pun harus buat keributan."
Haryati geram mendengar ucapan adiknya sendiri. "Kau tidak tahu apa-apa, Kusri! Anakmu itu yang iblis! Dia yang menghancurkan hidup anakku!"
"Cukup!" bentak polisi yang bertugas. "Kita akan bicara satu per satu. Bapak dan Ibu bisa berbicara dengan petugas di ruangan mediasi."
Naura tak habis pikir dengan Fathia. Kebencian Fathia padanya seolah tak ada batasnya, bahkan sampai membuat orang tuanya sendiri harus ikut campur dan berakhir di kantor polisi. Ia menatap Fathia, mencari jawaban di mata sepupunya itu, namun yang ia temukan hanyalah kegembiraan atas penderitaannya dan raut puas yang tak tahu malu.
"Kenapa dia begitu membenciku, Yah?" bisik Naura pada Subeni, air matanya kembali menetes.
Subeni hanya bisa menggelengkan kepala, mengusap punggung putrinya. Ia juga tidak mengerti mengapa keluarga mereka harus menghadapi cobaan seberat ini. Tangis Marcella yang tak kunjung reda semakin memekakkan telinga, menciptakan simfoni kekacauan yang merasuki setiap sudut kantor polisi. Di tengah semua itu, Fathia masih bisa tertawa bahagia, seolah kemalangannya adalah kemenangan bagi dirinya, dan kehancuran keluarga Naura adalah tujuannya.
****
Di ruang perawatan yang tenang, Hendro duduk tegak di sofa, menatap Reksa dengan tatapan yang jauh berbeda. Tidak ada lagi sorot mata marah atau tatapan kosong yang dulu selalu menyelimuti dirinya. Ada kejernihan dan bahkan sedikit rasa penyesalan yang terpancar dari matanya. Ini adalah buah dari berbulan-bulan terapi intensif dan obat-obatan yang konsisten.
Reksa duduk di hadapan putranya, hatinya berdebar. Ini adalah kali pertama Hendro benar-benar bisa diajak berkomunikasi secara mendalam sejak dirawat.
"Ayah," panggil Hendro lirih, suaranya terdengar serak. "Aku... aku minta maaf."
Reksa menahan napas, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Hendro, putranya yang selama ini keras kepala, akhirnya mengucapkan kata maaf.
"Aku tahu, apa yang sudah kulakukan itu salah, Ayah. Sangat salah," lanjut Hendro, menunduk. "Aku... aku sudah sangat terobsesi pada Debby. Obsesi itu membuatku buta, Ayah. Aku sampai tega melakukan hal-hal yang tidak seharusnya."
Mata Reksa berkaca-kaca. Perjuangan panjangnya kini menemukan titik terang. Putranya akhirnya sadar.
"Aku juga sangat menyesal, Ayah, karena Ibu..." Hendro mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi kesedihan. "Ibu meninggal karena aku, kan? Aku tidak pernah ada di sisinya saat dia sakit. Aku terlalu sibuk dengan kebodohanku."
Mendengar penyesalan tulus dari mulut Hendro, Reksa tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia berdiri dan memeluk erat putranya. "Tidak, Nak. Ibu pergi karena memang sudah takdirnya. Tapi, Ibu pasti senang melihat kamu sudah sadar seperti ini."
Reksa merasakan kelegaan yang luar biasa. Beban berat yang selama ini ia pikul sedikit demi sedikit terangkat. Meskipun Nirmala telah tiada, Reksa bersyukur putranya bisa kembali sadar dari kegilaan yang merenggut segalanya.
"Aku berjanji, Ayah. Aku akan berubah," ucap Hendro, suaranya bergetar menahan tangis. "Aku akan berusaha keras untuk sembuh. Aku tidak ingin menjadi beban lagi."
"Ayah tahu, Nak. Ayah percaya padamu," kata Reksa, mengusap punggung Hendro. "Kita akan hadapi ini bersama. Ayah akan selalu ada untukmu."
Pembicaraan itu berlangsung lama. Hendro mulai menceritakan sedikit demi sedikit apa yang ia rasakan selama ini, betapa obsesinya telah menguasai dirinya, dan bagaimana ia kini menyadari semua kesalahan yang telah ia perbuat. Reksa mendengarkan dengan sabar, hatinya dipenuhi harapan. Ini adalah awal yang baru bagi Hendro, sebuah kesempatan kedua untuk memperbaiki diri dan menebus kesalahannya. Reksa bersyukur tak terkira, karena di tengah duka atas kepergian Nirmala, ia mendapatkan kembali putranya yang dulu telah hilang dalam kegilaan.
****
Pintu sel kantor polisi akhirnya terbuka, membebaskan Haryati. Ia melangkah keluar dengan langkah gontai, wajahnya masih menyiratkan amarah yang belum padam. Naura dan Subeni segera menyambutnya, lega karena Haryati akhirnya bebas. Marcella, setelah berjam-jam menangis histeris, kini tertidur pulas dalam gendongan Subeni, menyisakan jejak air mata di pipinya.
"Ibu tidak apa-apa?" tanya Naura cemas, memeluk ibunya.
Haryati menghela napas. "Tidak apa-apa, Nak. Hanya saja... aku masih kesal dengan perempuan itu!" Matanya melirik ke arah Fathia yang masih duduk santai di kursi tunggu, sengaja belum pulang.
Fathia, dengan wajah pongah dan senyum mengejek, menatap keluarga Naura. Ia menikmati setiap detik penderitaan mereka. Begitu melihat Haryati keluar, ia langsung melancarkan ejekannya.
"Wah, sudah bebas ya? Selamat datang kembali di dunia orang-orang miskin," sindir Fathia, suaranya sengaja dibuat lantang agar terdengar jelas.
Haryati mengepalkan tangannya, amarahnya kembali memuncak. "Fathia! Kamu tidak ada habisnya, ya?!"
"Tentu saja tidak," jawab Fathia dengan sombong. Ia berdiri, mendekati keluarga Naura dengan langkah angkuh. "Kalian kira kalian bisa lari dari aku? Tidak akan! Aku akan selalu ada untuk membuat hidup kalian menderita, Naura. Ingat itu!"
Ia menatap Naura dengan tatapan penuh kebencian, seolah ingin melahapnya hidup-hidup. "Kamu akan selalu hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Dan itu semua... karena aku!"
Fathia kemudian tertawa membahana, tawanya yang nyaring dan keji memenuhi ruangan kantor polisi, memekakkan telinga. Tawa itu seolah merayakan kemenangan atas kehancuran keluarga Naura.
Haryati geram bukan main. Ia ingin sekali menerjang Fathia lagi, namun Subeni menahannya. "Sudah, Bu. Jangan layani dia," bisik Subeni, mencoba menenangkan istrinya.
Naura hanya bisa menunduk, air mata kembali membasahi pipinya. Ia tidak bisa lagi berkata-kata. Hatinya terlalu sakit mendengar ejekan dan ancaman Fathia yang begitu kejam. Ia tak habis pikir, mengapa Fathia begitu membencinya hingga tak ada habisnya menyiksa mereka.
Setelah ejekan Fathia berakhir, keluarga Naura pun harus kembali berhadapan dengan kenyataan pahit. Mereka tak punya tempat tujuan lagi. Rumah kontrakan mereka sudah jadi abu. Uang mereka sudah menipis. Mereka kini adalah tunawisma, tanpa arah, tanpa harapan.
"Kita mau ke mana sekarang, Yah?" tanya Naura lirih, menatap Subeni.
Subeni hanya bisa menggelengkan kepala. Wajahnya menunjukkan keputusasaan yang mendalam. Mereka tidak tahu harus mencari perlindungan ke mana. Malam akan segera tiba, dan mereka tidak memiliki tempat untuk bernaung. Tangis Marcella yang tadi sempat reda, kini kembali terdengar pelan dalam tidurnya, seolah ikut merasakan penderitaan yang tak berkesudahan menimpa keluarganya. Dendam Fathia telah membawa keluarga Naura ke ambang kehancuran total.