cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 - Lagu Cinta
Cahaya lembut dari layar monitor menyinari wajah Vio yang kini telah berubah menjadi Violetta—sosok yang selalu ditunggu para pendengarnya setiap malam.
“Selamat malam… semua,” ucapnya pelan, suara lembutnya mengalir tenang seperti aliran sungai di musim semi. “Maaf sedikit terlambat malam ini. Kuharap kalian semua baik-baik saja.”
Kolom komentar mulai bergerak cepat, menyambut sapaan lembut itu dengan antusiasme penuh:
“Violetta, akhirnya live lagi!”
“Hari ini kelihatannya lelah ya, tapi suaramu tetap menenangkan.”
“Kami menunggu lagu pembukanya malam ini!”
Vio tersenyum kecil sambil membaca satu per satu komentar itu. Ia lalu mengangguk pelan dan bersandar lebih santai ke sandaran kursinya.
“Malam ini... aku tidak punya banyak cerita,” ucapnya dengan jujur, menatap grafik suara di layar. “Tapi kupikir… kadang hanya diam dan mendengarkan musik juga bisa jadi pelukan yang hangat.”
Lalu, muncul notifikasi donasi kecil yang membuatnya terhenti sejenak.
💫 [Zeo] mengirimkan donasi: 10.000 💎 “Request lagu malam ini, bisakah kamu nyanyikan lagu yang baru kamu buat untukku?”
Sejenak, Violetta terdiam. Sorot matanya melunak, dan senyuman kecil menghiasi wajahnya.
“Zeo… Terima kasih untuk donasinya… dan juga untuk cintamu pada lagu ini.” Ia menarik napas pelan. “Lagu ini cukup personal, jadi... senang rasanya tahu ada yang menyimpannya begitu dalam.”
Ia meraih gitar yang tadi ia pandangi sebelum siaran dimulai. Suara senar bergema lembut saat ia menyetel nadanya.
“Petals Of A Secret” ucap Vio
Lampu latar diredupkan, dan hanya cahaya hangat dari layar serta suara bisik malam yang menemani. Lalu, petikan pertama mengalun, seiring bait lirih yang menyelinap di antara keheningan:
Sotto kakushita kotoba no oku de
Kokoro wa naiteta kimi mo shirazu ni...
Suara Violetta begitu tenang dan dalam, seolah menyimpan serpih emosi yang tak pernah ia ucapkan. Penonton terdiam. Tak satu pun komentar muncul beberapa detik setelah bait pertama selesai, seolah semua sedang menahan napas, tenggelam dalam nuansa lagu itu.
Suara gitar mengalun pelan, membawa serta setiap kata yang keluar dari bibir Violetta.
I loved you in silence, kimi dake wo
Every whisper a petal lost to the wind
Will you remember, when it’s all gone?
Ai wa mada koko ni aru no?
Nada terakhir menghilang perlahan, seolah ikut terhembus bersama hembusan angin malam yang diam-diam masuk dari jendela imajinasi para pendengarnya.
Hening sesaat. Komentar mulai muncul kembali perlahan namun deras. Banyak dari mereka menulis hanya satu kata: “Beautiful.” Atau emotikon kelopak bunga yang melayang. Beberapa menulis bahwa mereka menangis, dan lainnya hanya bisa mengetik, “Terima kasih.”
Violetta menutup mata sejenak, membiarkan detik itu mengalir. Lalu ia bicara pelan, seperti membisikkan sesuatu ke dalam malam.
“Lagu ini... adalah tentang perasaan yang tidak sempat diungkapkan. Tentang cinta yang tumbuh diam-diam dan tetap tinggal meskipun tak pernah dipanggil dengan nama.”
Ia tersenyum tipis. “Aku menulisnya dalam satu malam. Entah kenapa... saat itu, aku merasa kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar kumiliki.”
Sorot matanya melirik notifikasi kecil yang menunjukkan Zeo masih berada di antara penonton. Ia tak menyebut namanya lagi, tapi senyumnya menunjukkan kalau ia tahu.
“Terima kasih sudah mendengarkan. Semoga malam kalian tenang, dan semoga setiap rahasia di hati bisa menemukan tempatnya sendiri, suatu hari nanti.”
Dengan itu, ia menutup siaran. Layar perlahan meredup, meninggalkan kesan seolah suara Violetta masih menggema di dalam hati siapa pun yang mendengarnya.
Ketika siaran ditutup dan layar gelap sepenuhnya, Vio masih duduk diam di kursinya. Suara lembut Violetta masih terasa menggantung di udara kamar. Tangannya baru saja akan mematikan lampu ring light ketika—
Tok tok.
“Kak Vio… kamu lagi sibuk?” suara Tissa terdengar dari balik pintu, pelan namun jelas.
Refleks, Vio terkejut. Matanya membulat sebentar sebelum cepat-cepat berdiri. “S-sebentar!”
Ia langsung mematikan semua perangkat lampu, mikrofon, audio interface lalu menggulung kabel dengan cekatan. Laptop dilipat, alat-alat dimasukkan ke dalam kotak hitam khusus, dan semuanya segera ia masukkan ke dalam lemari kayu yang terkunci di pojok ruangan. Gerakannya terlatih, hampir seperti ritual yang ia lakukan setiap malam.
Begitu selesai, ia berdiri dan menarik napas pendek, lalu membuka pintu.
Tissa berdiri di sana, sudah mengenakan piyama biru muda dengan rambut yang dikuncir asal-asalan ke samping. Wajahnya masih segar meski matanya sudah mulai berat.
“Ayo masuk,” ucap Vio sambil menyisihkan pintu.
Tissa masuk pelan, lalu duduk di pinggir tempat tidur Vio. “Maaf ganggu... aku cuma pengen ngobrol sebentar. Boleh?”
Vio duduk di sebelahnya, tersenyum ringan. “Tentu boleh. Ada apa?”
Tissa duduk sambil mengayun-ayunkan kakinya pelan, tatapannya mengarah ke lantai. Tangannya menggenggam sesuatu di belakang punggungnya, dan senyumnya tampak sedikit canggung.
Vio memperhatikannya sejenak, merasa ada yang tidak biasa. “Jadi… kamu ke sini karena pengen ngobrol? Tentang apa?”
Tissa tersenyum kaku, lalu mulai bicara dengan suara ringan tapi tidak jelas arahnya. “Hmm… hari ini aneh banget ya. Cuacanya mendung tapi panas… terus, tadi waktu pelajaran sejarah, guru kita cerita soal zaman kolonial dan aku jadi mikir... kayaknya kalo kita hidup di zaman itu—”
“Tissa.” Vio menyipitkan mata, nadanya tenang tapi penuh curiga.
“Hm?” jawab Tissa, masih mencoba tersenyum sambil setengah membelokkan pembicaraan. “Kamu suka sejarah, kan? Aku cuma—”
Vio memiringkan kepala sedikit, lalu mencondongkan badan. “Kamu nyembunyiin apa di belakangmu?”
Tissa langsung menegakkan tubuhnya. “Hah? Nggak, ini... nggak penting, kok... cuma... buku aja…”
“Buku PR, kan?” sahut Vio cepat, matanya menatap lurus ke arah yang Tissa coba tutupi.
Melihat kebohongannya terbongkar, Tissa akhirnya menyerah. Ia menghela napas, lalu mengangkat buku tulis dan sebuah lembar soal dari balik punggungnya. “Iyaaa… maaf. Aku nggak ngerti tugas Matematika yang ini. Tadi pengen langsung minta tolong, tapi malu…”
Vio tertawa kecil, geleng-geleng kepala. “Jadi dari tadi muter-muter cuma buat minta tolong ngerjain PR?”
Tissa cemberut manja. “Aku cuma nggak mau kamu nganggep aku nyusahin terus…”
“Aku nggak akan pernah nganggep kamu nyusahin, Tissa,” ucap Vio pelan tapi pasti. Ia mengambil buku PR itu dan mulai membuka lembarannya. “Ayo, duduk yang benar. Kita kerjain bareng.”
Tissa langsung duduk tegak di samping Vio, wajahnya berbinar senang. “Kakak terbaik deh kamu…”
Vio hanya menghela napas pelan sambil tersenyum kecil.