"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NAMIRA ATAU MAIRA
POV Pandu
"Mbok, di dalam kue ada cincin, Mbok ambil aja kalau mau, atau sedekahkan untuk orang sekitar," ujarku pada Mbok Darsih setelah kepergian Maira.
Kue ulang tahun yang kupesan khusus untuk Maira dari toko kue langganan, aku sudah merancangnya bahkan sebelum aku berangkat ke Singapura. Memberi kejutan untuk Maira yang terlihat begitu payah mengurus Namira setiap harinya. Kejutan ulang tahun yang bahkan belum pernah aku berikan selama kami menjalin hubungan sampai akhirnya memutuskan untuk menikah, karena memang kondisi ekonomi yang tidak terlalu mendukung sedangkan kebutuhan cukup tinggi kala itu. Ditambah Ayah yang sering keluar masuk rumah sakit hingga pengobatan Maira sempat membuat kami sedikit keteteran di bidang finansial.
Sedangkan saat karierku berada di atas dan penghasilan lumayan besar, Viona yang aku dahulukan karena dia mengandung. Selain itu dia berasal dari keluarga cukup mapan sehingga aku mengesampingkan Maira yang cukup bisa mandiri.
Tak lupa aku meminta untuk meletakkan sebuah
cincin berlian dari toko perhiasan ternama di dalamnya, sebagai wujud rasa cinta dan syukur karena telah memilikinya yang bahkan, saat aku belum mampu membeli walau hanya satu set perhiasan namun dia tetap menerima. Dia yang hanya aku nikahi sebuah cincin sebesar dua gram sebagai mas kawin kala itu, tapi nyatanya mampu bertahan dan tak pernah membahas materi di hadapanku.
"Kenapa mudah sekali, Pak? Melepaskan orang yang katanya bapak sangat cintai dan kagumi?"
Suara Mbok Darsih sontak membuat langkah yang kupercepat terhenti. Aku berbalik ke arah wanita yang sudah kuanggap ibu sendiri itu sejenak.
"Saya nggak nyangka,"
lanjutnya lalu kembali tergugu.
"Ada kalanya saya capek, mempertahankan mati-matian seseorang yang sama sekali tidak ingin bersama. Mbok, mempertahankan itu lebih sulit. Tapi, Maira juga saya dapatkan dengan sangat sulit. Bisa Mbok bayangkan sulitnya saya sekarang? Dan ini adalah yang terbaik untuk Maira, tinggal di rumah bersama orang yang memang dia kasihi. Maira akan lebih tentram di sana."
Aku berujar lalu bergegas pergi meninggalkan Mbok Darsih yang masih terisak.
"Namira jatuh, Mas. Sekarang ada di rumah sakit, kondisinya kritis. Maira harus bertanggung jawab. Jika sampai terjadi sesuatu pada Namira, aku akan memasukkannya ke dalam penjara." Ancaman sekaligus kabar dari Viona sontak membuat pikiran ini tak karuan kala itu.
Awalnya, aku tak percaya dan menganggap Viona mengada-ada. Namun, setelah aku membuktikan dengan mata kepala sendiri keadaan Namira, kemarahanku pada Maira pun menggebu. Terlebih, dokter anak yang pernah menangani Namira, yang katanya dokter terbaik di rumah sakit tersebut sedang tidak ada di tempat, sedang mengambil cuti untuk beberapa hari, sebab, ada keluarga yang meninggal. Rasa marah bercampur cemas pun seolah melebur menjadi satu.
Bagaimana aku tidak marah. Banyak hal yang sudah aku lakukan untuk Maira, bahkan aku memberikan kepercayaan penuh untuk merawat Namira melebihi ibu kandungnya. Agar dia lupa dengan kondisi dan kekurangannya. Namun, dia masih saja memikirkan Zahra. Bukan maksudku melarang untuk memikirkan Zahra, tapi, Namira masih membutuhkan perhatian penuh.
Amarahku sempat mereda tatkala kondisi Namira berangsur membaik. Tapi, Viona justru meradang dan memberiku pilihan cukup sulit. Melepas Maira atau Namira. Memasukkan Maira ke penjara atau memulangkan Maira dengan selamat. Pilihan yang sama-sama merugikan ia berikan saat pikiranku sedang kacau-kacaunya. Bahkan tak mampu berpikir secara logika atau merancang sebuah rencana. Otakku seolah menemui jalan buntu.
Keadaan perusahaan yang tidak begitu mendukung seolah menambah daftar masalah yang harus aku hadapi. Aku semakin tidak bisa berpikir jernih. Marah, bingung, sekaligus gamang terus merajai diri. Lalu amarahku kembali tersulut saat ia justru tak mau menurut. Maira, dia masih menginginkan Zahra, sedangkan aku hanya mau Namira. Dan akhirnya, kata perpisahan lolos begitu saja dari mulut ini.
"Besok akan ada Babby sitter membantumu. Belajarlah menjadi ibu yang baik,"
pesanku pada Viona begitu aku masuk ke dalam rumah.
"Tapi, Mas, kan ada ibu dan mama, kenapa pakai babby sitter segala? Mereka, kan, bisa membantuku," tolaknya manja.
"Jangan banyak protes. Aku lebih percaya babby sitter yang berpengalaman dibandingkan kamu. Ibu akan pulang ke rumah dan Mama tidak akan bisa diam di rumah. Kau Paham!"
Ibu terperangah, Mama dan Viona terlihat saling pandang sebelum aku meninggalkan tempat menuju kamar.
"Mas."
"Jangan mengikutiku, aku sedang tidak mau diganggu!"
ujarku memberi peringatan pada Viona yang langkahnya terdengar mengikutiku. Ia pun akhirnya berhenti melangkah.
Aku terus melangkah meski gontai. Membuka pintu kamar yang baru beberapa menit lalu menjadi saksi
Jatuhnya talak dari mulut seorang Pandu. Kini separuh jiwaku hilang hanya dalam waktu sekejap.
Kututup pintu setengah membanting. Tubuhku luruh ke lantai tatkala mengingat ucapan demi ucapan yang terlontar dari mulut sialan ini untuk Maira. Tak bisa aku pungkiri, cintaku begitu besar hingga aku merasakan sakit dan patah hati sedalam ini.
Maira. Wajah sendunya, raut kecewanya, marah, dan luka yang tersirat begitu nyata di mata indah itu seolah terus berkeliaran di dalam benakku. Aku pun sama, sakit. Ini adalah keputusan yang tak mudah, Maira begitu sangat berarti, tapi Namira juga tak kalah berarti. Aku mendambanya bertahun-tahun, aku menginginkan kehadirannya bertahun-tahun. Dan hal yang tak kalah penting yang membuatku harus mengeluarkan keputusan sialan ini adalah jika ancaman Viona benar-benar dia lakukan maka sudah dipastikan Maira masuk ke dalam penjara.
Bukan tanpa sebab aku berpikir demikian. Bukti yang Viona tunjukkan padaku berupa foto Maira yang bahkan aku tidak pernah menduga sebelumnya, cukup membuatku tercengang sekaligus curiga adanya manipulatif dari Viona yang sudah dirancang sedemikian rupa. Aku dituntut untuk berpikir cepat. Hingga akhirnya keputusan besar harus keluar untuk kebaikan semua. Maira selamat, Namira bersamaku. Tapi aku? Entah, bisa bertahan atau akan mati secara perlahan menahan perihnya hidup tanpa Maira.
Aku memindai seluruh sudut ruangan. Netraku menangkap banyak benda berserakan yang tidak aku sadari sebelumnya. Aku bangkit dari lantai berbahan marmer. Kulihat banyak kertas bekas makanan mengisi penuh tempat sampah. Tak seperti biasa yang selalu dalam keadaan bersih. Tempat sampah di kamar ini memang kecil, tapi selalu dalam keadaan bersih tak pernah sampai melebihi kapasitas seperti yang kulihat saat ini.
Netraku beralih pada nakas dekat tempat tidur. Di atas nakas tersebut, aku mendapati bungkusan makanan yang sudah terbuka, tapi terlihat masih utuh, belum tersentuh, jika pun tersentuh mungkin baru beberapa suapan.
Sebuah obat toko berwarna hijau pun tergeletak di sebelahnya beserta air mineral yang masih penuh.
Tanganku mengepal kuat. Nyatanya, tanpa masuk penjara pun mereka sudah memperlakukannya bagai tahanan! Jika memang benar demikian maka aku tak akan tinggal diam.
Bergegas aku menuju jendela yang memang terbuka lebar saat ini, lalu ada yang kembali menyita perhatian. Sebuah tali berbahan selendang bayi yang dijulurkan sampai bawah membuatku semakin marah. Aku meraihnya kasar.
Kuambil gawai dari dalam saku celana, berniat menghubungi Pak Totok. "Ah, sialan!" gerutuku. Aku lupa jika tak ada ponsel lagi di tanganku karena ponsel hilang saat perjalanan pulang dari Singapura. Begitu paniknya aku mendengar kabar dari Viona, hingga ponsel tertinggal di hotel atau terjatuh di bandara pun aku tidak bisa mengingatnya. Yang pasti ponsel itu sudah tidak bisa dihubungi. Mungkin sudah raip diambil orang.
"Hei, Pak Totok! Sini!" Sekelibat kulihat Pak Totok berjalan di area kolam renang. Cepat aku memanggilnya.
"Siap, Pak," teriaknya mendengar seruanku.
Dengan dada yang terus bergemuruh aku memegang erat tali yang kutemukan seraya merutuki diri sendiri karena tak bisa berpikir jernih dan membalikkan keadaan.
Aku menunggu Pak Totok dengan tak sabar. Bertanya pada Viona atau ibu tentang apa yang mengganjal di kepala sama saja membuang waktu karena sudah pasti mereka akan berkelit.
Tok!
Tok!
Tok!
Pintu diketuk tiga kali. "Masuk!" perintahku.
"Bapak manggil saya?"
"Tok, ini apa? Kenapa seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi selama saya nggak ada?"
Pak Totok terdiam seraya menatap ke arah kain yang kutunjukkan. Lidahnya seolah kelu.
"Totok!" teriakku.
"Anu, Pak ...." Ia terlihat gelagapan.
"Tok?! Saya tanya kamu, kamu jawab sebelum kesabaran saya habis dan saya...."
"Iya, Pak, iya. Kemarin, setelah Neng Namira jatuh, Ibunya Pak Pandu mengunci Nyonya di dalam. Tiga hari."
"Maksudnya?!"
"Tiga hari kami nggak bisa kasih apa-apa. Jadi Mbok Darsih memberi Nyonya makanan dengan cara seperti itu," jelasnya seraya menunjuk ke arah selendang yang kupegang.
Seketika, hawa panas menyusup ke seluruh tubuhku. Ini tidak bisa aku diamkan.
Kulempar kasar selendang yang ada di tangan secara asal. Lalu bergegas aku mencari Ibu.
Langkah ini langsung tertuju ke kamar Viona, sebab, sudah barang tentu mereka berkumpul di sana.
Dadaku terus berdentam, sudah berkali-kali aku mengatakan untuk tidak berbuat semena-mena terhadap Maira. Tapi, kata-kataku tampaknya tak di hiraukan oleh mereka.
"Gimana kalau Pandu berubah pikiran dan batal menceraikan Maira seperti apa maumu? Pandu, kan tergila-gila sama istri pertamanya."
"Mudah saja, Mas Pandu harus memilih antara Namira atau Maira. Aku dan Mas Pandu hanya menikah secara siri. Maka sudah barang tentu Namira menjadi hak ibunya. Kalaupun Mas Pandu dengan uangnya
memperkarakan, toh Namira di bawah umur, sudah barang tentu hak asuh akan jatuh ke tanganku."
Setibanya aku di depan pintu, langkah terpaksa aku hentikan karena kudengar perdebatan terjadi di dalam sana, antara Mama dan Viona. Aku mendesah tak percaya.
Seketika tanganku mengepal kuat. Jadi, Viona tidak main-main dengan ancamannya! Lalu bagaimana aku akan menghardiknya secara terang-terangan?
Aku mengurungkan niat menemui mereka dan kembali ke tempat semula dengan diikuti Pak Totok yang masih setia menemani.
"Tok, awasi mereka terus. Katakan pada saya kalau ada yang mencurigakan. Jangan sampai lengah!"