NovelToon NovelToon
Pesona Kakak Posesif

Pesona Kakak Posesif

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:504
Nilai: 5
Nama Author: Dwi Asti A

Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Belum Bisa Melupakan

Di kamarnya yang bernuansa putih bunga lili, Hanin membaringkan tubuhnya, meringkuk seperti anak kecil. Jemari tangannya yang lentik menyentuh bibirnya. Matanya terpejam. Namun, kepalanya dipenuhi bayangan ketika Satya menciumnya.

Hanin tidak bisa melupakannya, lebih tepatnya tidak ingin melupakannya. Semakin mengingatkannya, dia menemukan bahwa perasaannya menyukai itu. Saat ini dia hanya ingin menyimpan momen itu dalam ingatannya, tanpa memikirkan apakah dia kakaknya atau bukan. Yang terpenting dia adalah Satya.

Senyum tersungging di bibirnya. Dengan memejamkan matanya dia berharap kejadian itu kembali terulang di dalam mimpinya.

•••

Pagi harinya, jam 6 pagi Hanin sudah duduk di ruang makan sendirian. Sarapan pagi masih disiapkan Mbok Indung. Segelas susu hangat dan roti selai sudah disiapkan, meskipun belum sekalipun Hanin menyentuhnya. Ia terlalu sibuk dengan ponselnya, mencari arti sebuah ciuman dari seorang laki-laki.

Sesekali Hanin tersenyum sendiri. Dia tak menyadari seseorang tengah memperhatikannya dari belakang punggungnya, mengamati apa yang membuat Hanin terlihat begitu senang.

Satya mengernyitkan keningnya, membaca apa yang membuat Hanin begitu serius sampai tak menyadari kehadirannya.

“Satya, kau dipanggil papa di ruang kerja!” panggilan Miranda.

“Iya, Mah!” sahut Satya, seketika menutup mulutnya lalu pergi.

Hanin menoleh, mengangkat wajahnya mendengar suara Satya begitu dekat di belakangnya.

“Kakak!” Hanin terkejut, kata-katanya tak berlanjut karena Satya berlalu dengan begitu cepat dari hadapannya. Dia bertanya-tanya sejak kapan Satya berada di belakangnya? Jangan-jangan ...., Hanin menutup mulutnya sendiri. Mungkinkah Satya sudah melihat semuanya?

Saat mereka berkumpul di ruang makan, Elvan sedikit menyinggung soal ujian sekolah yang tinggal satu bulan lagi.

“Apa kau sudah memiliki gambaran akan kuliah di mana, Satya?” tanya Elvan.

“Sudah, Pah,” jawab Satya cepat.

“Oh, ya? Di mana?”

“Nanti saja, Pah, setelah kelulusan aku baru akan memberitahu Papa dan Mama.”

“Kenapa tidak sekarang saja? Supaya Hani pun memiliki gambaran apakah dia bisa ikut kuliah bersamamu atau tidak.”

“Maksud, Papa?” tanya Hanin merasa Elvan tengah meragukan kemampuannya.

“Karena kau ...,”

“Aku yakin Hani bisa kuliah satu universitas bersamaku,” sergah Satya, memangkas ucapan Elvan yang belum selesai. Dia terlihat begitu yakin dengan ucapannya padahal jelas semua tahu kalau Hanin Dan Satya berbeda jauh dalam prestasi. Satya selalu meraih peringkat pertama di kelas, dan juga dalam satu sekolah. Berbeda dengan Hanin yang terkadang masuk sepuluh besar pun jarang.

“Hani tahu maksud ucapan Papa, Hani tidak pintar dan nilainya mungkin tidak terlalu bagus. Hani tidak apa-apa tidak satu kampus dengan Kak Satya,” kata Hanin meskipun wajahnya cemberut.

“Tenang saja, ada Kak Satya,” ucap Satya sembari menyentuh punggung tangan Hanin untuk menenangkannya sesaat.

“Kak Satya tidak perlu bicara bohong hanya untuk menenangkan hati Hani, jelas-jelas Hani ini memang tidak cukup pintar.”

“Justru karena itu mulai sekarang kamu harus belajar bersama kak Satya, oke?”

Hanin tidak menjawab iya atau tidak. Dia tahu selama ini dirinya sudah belajar dengan Satya, hasilnya memang nilainya menjadi lebih baik, tapi tetap saja dia tidak sebanding dengan kakaknya. Namun, tentang kuliah bersama dia merasa itu tidak mungkin. Satya sudah pasti memilih universitas yang terkenal, paling bagus dan terbaik. Karena dia percayai diri dengan nilainya. Sementara dirinya mungkin akan masuk universitas di mana saja asalkan diterima.

“Dan satu hal lagi,” kata Miranda menyela pembicaraan. “Nanti saat kelulusan kalian, ada sesuatu yang ingin papa dan mama sampaikan pada kalian berdua,” lanjutnya.

“Soal apa, Mah?” tanya Satya.

“Soal kalian berdua.”

“Tapi itu masih rahasia.” imbuh Elvan.

“Kejutan maksud, Mama?” tanya Hanin meyakinkan.

“Ya seperti itulah.”

Hanin dan Satya saling berpandangan beberapa saat.

“Kenapa harus menunggu kelulusan, Mah?” tanya Satya.

“Karena saat itu Hani sudah genap delapan belas tahun. Sekaligus merayakan ulang tahunnya.”

“Merayakan kelulusan, hari ulang tahun, dan kejutan. Sepertinya benar-benar hari yang spesial,” ujar Satya.

Hanin tak menghabiskan sarapannya, tapi dia menghabiskan satu gelas susu. Setelah itu dia beranjak. “Hani sudah selesai, Kak, kita berangkat,” kata Hanin.

Satya yang masih belum selesai makan, terpaksa tak menghabiskannya. Meraih tasnya, kemudian berpamitan dengan Miranda dan Elvan setelah itu bergegas menyusul Hanin.

“Apa Papa yakin sudah siap memberitahu mereka?” tanya Miranda. Ada kecemasan di wajahnya.

“Sebenarnya sekarang atau nanti pada akhirnya mereka harus tahu juga, Mah. Tidak mungkin selamanya kita akan menyembunyikan hal penting itu dari mereka.”

“Apa mereka akan menerimanya?”

“Melihat mereka selama ini tumbuh besar dalam keadaan yang baik, papa rasa semuanya akan berjalan dengan lancar.” Elvan terlihat lebih optimis.

••

Di sepanjang perjalanan, Satya merasakan Hanin tak banyak bicara pagi itu, membuat Satya merasa Hanin masih marah tentang kejadian ciuman itu, tapi Satya tidak ingin membahasnya, dia sudah menjelaskan semuanya mengapa dia melakukan itu padanya.

Ketika tiba di sekolah, di area parkir, mereka bertemu dengan Awan yang juga baru tiba di sana. Seperti biasa Awan datang menghampiri mereka untuk Hanin.

“Pagi, Hanin,” sapa Awan.

“Pagi, Kak,” sahut Hanin.

“Hari ini kamu terlihat murung, ada masalah apa?” tanya Awan.

“Bukan urusanmu,” sela Satya. “Dia bukan saudaramu juga bukan pacarmu, jadi jangan sok perhatian,” lanjut Satya sembari menarik tangan Hanin membawanya pergi.

“Hai, aku cuma bertanya, memang salah ya!” Awan kemudian mengejar mereka, berjalan di belakang keduanya. Sayangnya mereka beda kelas sehingga berpisah di persimpangan koridor.

Hanin masih diam membiarkan Satya menggandeng tangannya menyusuri koridor. Sikap dan kehadiran mereka selalu mencuri perhatian siswa siswi lainnya.

Setiap kali melihat Satya, Hanin selalu teringat dengan kejadian itu, dan setiap kali merasakan perhatian Satya yang over protektif itu dia semakin yakin Satya memiliki kepedulian yang lebih dari sekedar seorang kakak. Sayangnya Hanin belum berani menyimpulkan artinya. Dia masih takut karena sesuatu itu tidak seharusnya ada dalam pikirannya.

Mereka sudah berada di dalam kelas, duduk dalam satu meja. Hanin melihat Satya tengah sibuk berbincang dengan Dirga membahas tes mereka di Jakarta. Hanin tak begitu menyimak apa yang mereka bicarakan, dia lebih fokus memperhatikan wajah Satya yang tampan saat sedang berbicara. Bibirnya, senyumnya, dan gerak-geriknya tak luput dari perhatian Hanin pagi itu.

“Hanin kau lihat apa?” Rio datang dan menjentikkan jari di depan Hanin, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. “Oh, sedang memperhatikan pangeranmu, sampai seperti itu,” goda Rio yang mengambil tempat duduk di hadapan Hanin di samping Dirga.

Mendengar ucapan Rio, wajah Hanin langsung merona, malu. Apa lagi ketika dilihatnya Satya menoleh ke arahnya mendengar perkataan Rio. Tak mengatakan apa pun, tapi gara-gara Rio, Satya jadi tahu apa yang sedang Hanin lakukan. Setelah itu Satya kembali berbicara dengan Dirga. Hanin pura-pura menyibukkan diri dengan membaca buku.

Di jam istirahat pertama semua siswa sudah meninggalkan ruangan, tinggal Hanin dan Satya. Hanin Masih sibuk mencatat di buku, sementara Satya kini tengah merapikan bukunya.

“Kita ke kantin, Hani,” ajak Satya.

“Sebentar lagi, Kak,” jawab Hanin, dengan pandangan masih fokus pada catatannya.

Kini Satya yang sibuk memperhatikan Hanin, menyangga kepalanya sembari menatap ke arah Hanin. Hanin menyadari dirinya sedang diawasi, dan apa yang dirasakannya saat ini adalah tubuh yang panas dingin.

“Tadi kau sedang melihat kakak kenapa? Apa ada yang salah dengan kakak?” tanya Satya.

“Itu hanya kata-kata Rio saja, Kak, tidak usah didengarkan. Hani bisa melihat siapa saja saat itu, ada kakak dan juga Dirga.

“Oke kakak coba percaya denganmu, tapi kakak tidak yakin kalau Dirga lebih menarik perhatianmu ketimbang kakak.”

Hanin tersenyum masam. “Kakak terlalu percaya diri,” balas Hanin. “Sudah, Kak, sebaiknya kita pergi ke kantin.” Hanin beranjak, Satya mencekal tangannya.

“Kau masih marah dengan kakak? Sampai kapan, Hani?” tanya Satya.

“Siapa yang marah, Kak,” jawab Hanin.

“Tapi di sepanjang jalan kau diam saja. Jika masih marah soal kejadian itu, kau bisa memukul kakak sekarang, mumpung tak ada orang di sini.”

Perkataan Satya membuat Hanin tertegun memikirkannya. ‘Aku hanya ingin tahu arti dari ciumanmu, Kak,' batin Hanin.

“Kita ke kantin saja, habis itu traktir Hani makan sepuasnya.” Kata Hani, kemudian membawa langkahnya meninggalkan ruangan.

Satya bergegas mengejar Hanin, tapi langkah mereka terhenti di depan pintu, Satya bahkan nyaris membentur Hanin karena berhenti tiba-tiba.

Terlihat Rio berdiri di depan pintu, wajahnya tegang dan terlihat kebingungan.

“Ada berita buruk, Satya,” kata Rio.

Satya maju Santu langkah, menggeser Hanin untuk minggir.

“Berita apa?” tanya Satya.

“Di Mading, I ..., itu di Mading ...,” jawab Rio terbata-bata tak jelas. Zaki yang berdiri di belakang Rio pun tertunduk seakan sengaja menghindari pertanyaan Satya.

1
D Asti
Semoga suka, baca kelanjutannya akan semakin seru loh
María Paula
Gak nyangka endingnya bakal begini keren!! 👍
Majin Boo
Sudut pandang baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!