Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Babak Baru: Perjalanan Menuju Realitas yang Pahit
Keesokan paginya, setelah sarapan yang terasa hambar di hotel, Riski dan Maya bersiap untuk berangkat menuju kota tempat tinggal Riski. Proses check-out berjalan dalam keheningan yang canggung.
Di dalam mobil, suasana terasa dingin. Kali ini, Riski yang mendominasi, sementara Maya tenggelam dalam kesunyiannya.
Sepanjang perjalanan yang akan memakan waktu berjam-jam itu, Riski menceritakan pekerjaannya, detail tentang anak-anaknya, juga seluk beluk keluarganya di kota tujuan. Ceritanya mengalir lancar, tapi terasa bagai angin lalu bagi Maya. Ia hanya menjadi pendengar pasif, mengangguk sesekali, karena ia bingung mau menanggapi bagaimana. Pikirannya masih dipenuhi keraguan dari malam sebelumnya, dan dia merasa terlalu rapuh untuk berinteraksi lebih jauh. Cadarnya kembali menjadi perisai yang melindunginya dari keharusan menunjukkan ekspresi yang jujur.
Karena perjalanan yang cukup jauh, mereka sering berhenti di beberapa rest area untuk beristirahat sejenak, meregangkan otot, atau makan siang. Namun, setiap kali berhenti, Riski pasti langsung mengeluarkan ponselnya.
Dan setiap kali itu terjadi, hati Maya terasa mencelos. Riski sibuk menelpon seseorang—Maya yakin itu Umma Fatimah atau anak-anaknya—dan mengabaikan Maya yang berdiri sendirian, termangu di tengah keramaian rest area.
Maya merasa sendiri, terasing. Hatinya terasa sakit melihat Riski asyik bertelepon, tawa Riski terdengar jelas saat berbicara dengan orang di seberang sana, kontras dengan sikap diamnya saat bersamanya. Perasaan itu aneh, padahal cinta sama sekali belum tumbuh di hati Maya. Mungkin karena ekspektasinya tentang rumah tangga yang manis, yang penuh interaksi hangat khas pengantin baru, berbanding terbalik dengan kenyataannya yang dingin. Ia merasa seperti bayangan, menemani raga Riski, tapi tidak dengan hatinya. Ekspektasi tentang kebahagiaan seakan terkikis oleh realitas pahit statusnya sebagai Perempuan Kedua yang sejak awal sudah harus berbagi, bahkan perhatian suaminya di hari pertama pernikahan mereka.
Maya menatap punggung Riski yang menjauh, sibuk dengan teleponnya di tepi rest area. Di balik cadarnya, bibirnya bergetar. Hatinya menjerit dalam kesunyian.
"Ya Allah, kuatkanlah aku."
Monolog pilu itu bergema di benaknya. Ia memejamkan mata, memohon kekuatan. "Apakah ini takdir yang kuminta? Aku mencari ridha-Mu, ya Rabb, tapi kenapa terasa sesakit ini? Sendiri, di hari pertama pernikahanku. Aku hanya bayangan, tak dianggap."
"Di mana janji kebahagiaan itu? Di mana interaksi manis yang kubayangkan? Semuanya semu. Aku sudah menelan pil kontrasepsi itu, menelan janji yang diingkari, dan sekarang aku menelan kesepian ini."
"Kuatkan aku menjalani takdir-Mu. Bantulah aku menjadi air bagi api itu, meskipun aku merasa hanya uap yang akan menguap sia-sia. Jangan biarkan aku goyah, jangan biarkan aku menyesali keputusanku. Hanya kepada-Mu aku bersandar, ya Allah, di tengah perasaan hampa ini."
Maya membuka matanya, menyeka air mata yang menetes di balik kain penutup wajahnya. Dia menegakkan tubuhnya, siap menghadapi realitas pahit yang menunggunya di kota tujuan nanti.
Sekali lagi Maya melihat Riski. Gestur tubuh suaminya itu menunjukkan kebahagiaan yang kentara; ia tertawa lepas, mengabaikan realitas wanita yang baru dinikahinya berdiri sendiri di samping mobil.
Maya meremas dadanya sendiri yang terasa nyeri. Hati kecilnya menjerit perih oleh pemandangan itu. Inisiatif untuk menelpon Wawa muncul, mencari setitik jangkar di tengah badai keraguan. Dia menghubungi Wawa.
Telepon diangkat, langsung disambut oleh suara Wawa yang riang, penuh ekspektasi kebahagiaan. "Assalamualaikum, Maya! Gimana kabarnya pengantin baru? Pasti lagi berbunga-bunga, kan?"
"Waalaikumsalam, Kak Wawa," jawab Maya, suaranya terdengar hambar dan datar, kontras dengan keceriaan Wawa. Ia menceritakan dirinya sudah dalam perjalanan ke kota Riski, dan sekarang sedang beristirahat sejenak di rest area.
Wawa yang peka, seorang wanita yang mengerti bahasa hati, menyadari nada bicara Maya yang lain, tidak seperti nada bicara pengantin baru yang seharusnya bahagia dan berbunga-bunga. Firasatnya langsung tidak enak.
"May, kamu kenapa? Ada apa? Suaramu kok begini?" desak Wawa, nadanya berubah serius.
Maya tidak ingin menceritakan keluh kesahnya, tidak ingin membuat Wawa khawatir. Tetapi Wawa memaksa, "Jujur sama saya, May. Saya bisa dengar ada yang nggak beres."
Akhirnya, dengan suara tertahan, Maya menceritakan soal Riski yang kerap kali menelpon setiap mereka berhenti sejenak, mengabaikan dirinya.
Mendengar hal tersebut, Wawa merasakan amarah yang membara.
"Astaghfirullah! Kenapa begitu, May? Kalo misalkan dia bicara sama Umma Fatimah, itu sudah salah! Harusnya Umma Fatimah tahu aturannya, mereka lebih paham agama dibanding kamu, masa mereka nggak tahu soal itu?"
Wawa melanjutkan dengan nada penuh kekecewaan, "Kalo menikahi gadis, jatahnya itu selama seminggu penuh exclusive! Jadi selama seminggu itu harusnya menjadi waktu kalian berdua. Nggak bisa kayak gini, May! Mereka sudah salah, nggak mungkin Umma Fatimah nggak tahu soal hukum dan etika dalam berpoligami!"
Maya, yang justru merasa bersalah karena telah mengeluh, berusaha menenangkan Wawa. "Nggak papa, Kak, mungkin mereka lagi bahas hal penting yang nggak bisa ditunda sampai 1 minggu ke depan. Aku baik-baik aja, Kak."
Wawa membalas dengan nada yang melunak tapi tegas, sarat akan beban tanggung jawab.
"Maya, tolong jangan sembunyiin apa pun dari saya, ya. Jujur, saya merasa ikut bertanggung jawab penuh, May, karena saya yang menjadi perantara kalian. Saya nggak mau kamu disakiti."
Mendengar setiap kata tulus dari Wawa, bendungan air mata Maya luruh sudah. Ia terisak pelan di balik telepon, menyadari betapa sendirinya ia merasa selama ini menghadapi ketidakadilan samar yang menusuk hati dalam pernikahan barunya. Ternyata, ia masih memiliki orang asing yang peduli padanya, dukungan yang bahkan melebihi keluarganya sendiri.
Perasaan terharu itu, bercampur dengan kobaran amarah Wawa yang meluap tadi, mengurungkan niat Maya untuk menceritakan soal pil yang diberikan Riski. Jika untuk urusan sepele perhatian suami saja Wawa semarah itu, bagaimana jika ia tahu soal pil penunda kehamilan?
Maya membayangkan kekacauan yang mungkin terjadi. Ia khawatir Wawa langsung mengambil tindakan drastis, menegur Umma Fatimah, yang kemudian mungkin akan menimbulkan masalah baru lagi di rumah tangga yang baru seumur jagung itu. Maya tidak ingin hal itu terjadi. Ia memilih diam seribu bahasa, menelan kembali lukanya, dan menyimpannya sendiri, membiarkan rahasia itu menjadi beban yang dipikulnya sendirian.
Maya menutup sambungan telepon. Tangannya yang memegang ponsel terasa dingin, sementara dadanya terasa panas oleh beban rahasia yang kini dipikulnya sendiri.
Ia menoleh ke arah Riski, yang akhirnya selesai dengan teleponnya dan berjalan kembali ke mobil dengan senyum puas di wajahnya. Senyum itu terasa bagai topeng, menyembunyikan realitas rumit di balik pernikahan mereka.
Maya kembali ke mobil, duduk di kursi penumpang di samping Riski. Suaminya itu menyalakan mesin mobil, siap melanjutkan perjalanan panjang mereka.
Di balik cadarnya, Maya memejamkan mata. Tidak ada interaksi manis, tidak ada genggaman tangan hangat seperti di perjalanan sebelumnya. Hanya keheningan yang memekakkan telinga.
"Ya Allah," bisiknya dalam hati, sebuah monolog sunyi yang penuh keputusasaan. "Apakah begini rasanya menjadi Perempuan Kedua? Sendiri, sepi, dan penuh keraguan?"
Mobil melaju kencang, meninggalkan rest area dan harapan semu tentang awal yang bahagia. Maya menatap lurus ke depan, ke arah cakrawala yang membentang luas. Ia tahu perjalanan fisiknya baru saja dimulai, tetapi perjalanan hatinya, perjuangan batinnya melawan takdir yang terasa begitu pahit, baru saja memasuki medan perang yang sesungguhnya.
Bersambung...