Istri Rasa Selingkuhan

Trista berdiri membeku beberapa detik, napasnya terengah, antara lega dan panik. Andra, sementara itu, malah menyandarkan tubuh ke pintu sambil bersiul kecil. “Hm. Itu… intens.”

Trista menatapnya tajam. “Kau gila, ya?”

“Apa?” Andra mengangkat alis. “Dia cuma nanya. Aku jawab. Selesai.”

“Dia bukan ‘orang yang cuma nanya’, Dra!” Trista memukul lengannya. “Itu Regan. Regan. Kau tahu apa artinya?”

Andra meringis pura-pura kesakitan. “Wow, istriku galak.”

“Jangan bercanda!” Trista berjalan mondar-mandir, gelisah. “Dia sudah curiga. Aku lihat dari matanya. Cara dia menatapmu… astaga, kalau dia tahu—”

Andra melangkah mendekat, menangkap pinggang Trista sebelum wanita itu makin panik. “Tenang dulu.” Suaranya rendah, hangat. “Kau terlalu tegang.”

“Ya karena aku tahu dia berbahaya, Andra!” Trista menepis tangannya, tapi tidak terlalu kuat. “Kau itu santai banget, seolah-olah kita cuma kabur dari guru piket, bukan bos mafia.”

“Aku nggak bilang aku nggak ngerti,” Andra berkata sambil mendekat lagi. “Tapi aku nggak mau habiskan hari pertama bulan madu kita dengan kau muter-muter kayak gasing.”

Trista mendesah frustrasi. “Justru karena ini bulan madu kitalah harusnya kita sembunyi lebih rapat, bukannya—”

“Bukannya apa?” Andra memotong sambil menyentuh dagunya. “Bukannya kau jadi manis banget kalau panik gini?”

Trista memukul dadanya. “Bukan itu!”

Tapi pipinya memanas.

“Kau tahu,” lanjut Andra sambil memiringkan kepala, “kau tambah cantik kalau lagi ngomel."

Trista membeku. Bukan karena kata-katanya berlebihan, tapi karena cara Andra mengatakannya, lembut, yakin, tanpa ragu sedikit pun.

“Dan lagi…” Andra menambahkan dengan nada menggoda, “kau istri sah ku. Mau dia mantan, pacar, bos mafia, atau alien, aku nggak takut. That’s the point of being your husband.”

“Kontrak!” koreksi Trista cepat. “Kontrak, Andra. Ingat? Kita ini—”

Andra mencubit halus ujung hidungnya. “Ya, ya. Kontrak. Tapi itu tak berlaku lagi, dan—”

“ANDRA!” Trista menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan. Matanya membulat. “Diam! Kalau Regan dengar—”

“Tris,” Andra mendekat, wajah mereka hanya beberapa sentimeter. “Regan udah pergi jauh. Dan aku yakin dia cuma curiga, belum yakin.”

“Itu justru masalahnya…” bisik Trista. “Kalau dia sudah sampai sini, berarti dia serius.”

Andra mengangkat bahunya. “Kalau dia serius, kita juga harus serius… menjalani bulan madu.”

Trista memelototinya. Tapi Andra justru mengulurkan tangan, menyentuh pergelangan tangannya pelan. “Hei. Lihat aku.”

Trista menahan napas.

“Aku nggak akan biarkan siapa pun menyakitimu. Termasuk mantan pacarmu yang temperamental itu.”

“Dia bukan temperamental…” Trista membantah, walau ragu. “Dia… ya begitu. Tegas. Dingin. Tapi dia jarang marah tanpa alasan.”

Andra memutar mata. “Tegas dan dingin itu kamuflase dari ‘aku singgung sedikit meledak’.”

“Kau nggak tahu dia.”

“Dan kau nggak tahu aku,” balas Andra sambil memainkan ujung rambutnya. “Aku santai bukan karena bodoh, Trista. Aku santai karena aku yakin dia nggak bisa apa-apa selama kau ada di sisiku.”

Napas Trista tercekat. “Itu justru bikin dia lebih berbahaya…”

Andra mendekat, jari telunjuknya menyusuri tulang rahang Trista. “Kau kelihatan makin manis kalau khawatir soal aku.”

“Serius, Andra…” Tapi suaranya pelan, goyah.

Andra tersenyum kecil, tipis, tapi memabukkan. “Aku serius. Aku akan jaga sikap. Aku akan jaga jarak kalau kau mau. Tapi…” Ia mencondongkan tubuh. “Aku nggak bisa jaga jarak sama istriku sendiri.”

“Kontrak…” ulang Trista, lemah.

“Ya. Kontrak. Dan kontraknya kan masih berlaku.”

Ia mencium sudut bibir Trista singkat, sekadar sentuhan, namun cukup membuat lutut Trista melemas.

“Kau… bener-bener…” Trista memukul dadanya pelan.

“Tapi kau suka, kan?” Andra menyeringai, memiringkan kepala.

Trista menghela napas panjang, mencoba memulihkan logikanya. “Kita harus hati-hati. Serius. Kalau dia sampai tahu hubungan kita udah sejauh ini—”

“Apa?” Andra mendekat lagi. “Ciuman? Tidur dalam satu kasur? Atau… yang kemarin-kemarin malam?”

Trista buru-buru menutup mulut Andra dengan tangan. “Ssst! Jangan keras-keras!”

Andra menahan tawa. “Oke, oke. Aku bakal lebih—”

Ia sengaja membungkuk, bibirnya hampir menyentuh telinga Trista.

“—pelan.”

Trista menutup wajah dengan kedua tangan. “Astaga, aku harus berurusan sama kalian berdua ya? Satu berbahaya, satu terlalu santai!”

Andra memeluknya dari belakang. “Ya, tapi yang santai ini paling sayang kamu.”

Trista merasakan dadanya berdegup tak karuan. Ia ingin marah, tapi tubuhnya justru bersandar.

“Andra…”

“Hm?”

“Tolong… jangan buat semuanya makin rumit.”

Andra mengecup puncak kepalanya. “Aku justru mau buat semuanya sederhana. Kau pilih aku. Aku pilih kau. Udah.”

Trista memejamkan mata. Di luar, angin pantai berhembus tenang. Di dalam, hati Trista justru badai. Dan Andra hanya tersenyum, seolah dunia tidak sedang menunggu meledak.

..._____...

Guys, mampir ke novel baruku ya. Tetap di noveltoon, tapi aku pakai nama pena baru. Namanya Defiarsya, judulnya Aku Ingin Jodohku Cinta Pertamaku. Cari aja di pencarian pasti ketemu. Makasih buat yang berkenan mampir 😘