NovelToon NovelToon
Under The Same Sky

Under The Same Sky

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Playboy / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Model / Mantan / Orang Disabilitas
Popularitas:667
Nilai: 5
Nama Author: CHRESTEA

Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.

Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Who is he?

Orion tidak bisa tidur semalaman.

Bukan karena sakit di kakinya, tapi karena pikirannya terus terjebak pada kalimat yang keluar dari mulut Luna malam sebelumnya.

“Mungkin kita bisa saling mengobati.”

Kata-kata itu menghantam seperti percikan kecil yang anehnya tidak bisa padam. Dia mencoba membuang pikiran itu dengan menyalakan televisi, tapi hasilnya sama saja.

Saat Damian masuk pagi itu, Orion langsung menatapnya tajam.

“Pagi.." sapa Damian penuh kehangatan.

"Kamu datang pagi.” ucap Orion datar.

Damian tersenyum kecil. “Tentu saja, Aku bersemangat hari ini.”

“Gadis itu?”

“Luna? Dia lagi siap-siap. Mungkin sedikit terlambat karena baru membuat sarapan."

Orion mengalihkan pandangan ke jendela. “Ooh.."

Damian menahan senyum. “Apa dia seru?”

Orion mendengus. “Dia tidak berisik."

"Jadi cocok untukmu?"

"Terserah kamu mau anggap apa.”

Beberapa jam kemudian, Luna datang dengan kotak makan ditangan. Pagi itu, matahari mulai masuk lewat jendela, memantulkan cahaya ke lantai kamar Orion.

“Hai,pagi.”

Orion menatapnya sekilas. “Kamu datang juga.”

“Tentu saja. Sorry, aku terlambat.”

Dia meletakkan kotak bekal di meja kecil. “Aku bawain makanan. Katanya kamu juga susah makan."

Orion mengangkat alis. “Aku benci makanan disini, tidak enak."

“Kebetulan, coba makananku. Aku masak sendiri looh. Mungkin aja nanti kamu cepat sembuh."

Orion tidak bisa menahan senyum kecilnya. Damian yang berdiri mengintip di kaca pintu sampai berhenti sejenak. Sudah lama sekali ia tidak melihat Orion tersenyum.

“Kalau aku gak sembuh?" suara Orion pelan, hampir seperti gumaman,

Luna menatapnya dalam, lalu tersenyum kecil.

“Aku masak lagi, sampai kamu sembuh."

"Kamu masih akan disini?"

"Tentu saja, lagi pula aku gak punya tempat tujuan lain. Sementara tempat ini yang paling nyaman dan aman."

Orion tidak menatapnya, tapi sesuatu di matanya berubah tidak lagi beku. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak keberatan saat Luna duduk di kursi sebelahnya, hanya diam menatap langit dari balik kaca.

"Boleh aku buka jendelanya?" tanya Luna pada Orion.

"Ya." jawabnya datar.

Luna membuka jendela kamar Orion, udara sejuk sisa hujan pagi tadi langsung masuk kedalam kamar. Cuaca ini sangat mendukung dengan masakan yang Luna masak.

Luna kembali mendekat kearah kasur Orion. Pria itu masih terduduk disana tanpa pergerakan. Luna berinisitif membuka kotak makan yang dibawanya.

Aroma sup ayam dan nasi hangat memenuhi ruangan kecil itu. Orion masih memandangnya dengan malas. Luna menatapnya, menunggu reaksi yang tidak juga keluar.

“Coba dulu,” katanya lembut. “Aku masak pakai hati, lho.”

Orion menatapnya datar. “Kalimat itu biasanya penjual makanan pakai buat nawarin pelanggan.”

“Anggap aja aku penjual yang beruntung, dapet pelanggan sombong kayak kamu,” balas Luna, santai.

Orion menghela napas pelan, lalu akhirnya menyendok sedikit. Satu suapan. Dua. Diam. Lalu tiga.

Luna menatapnya penuh harap. “Gimana?”

Orion tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan makan, pelan tapi habis.

“Jadi kamu suka?”

“Lumayan,” jawabnya singkat, tanpa menatap.

“Lumayan artinya suka, kan?”

“Artinya aku nggak mau kelaparan.”

Luna tertawa kecil. “Terserah kamu deh.”

Damian yang lewat di depan pintu menahan senyum, lalu pura-pura sibuk menulis catatan pasien lain. Dia tahu, hari ini bukan hari biasa.

Satu jam kemudian..

Ruang terapi.

Luna duduk di kursi, sementara dua fisioterapis sedang menyiapkan peralatan di sekeliling Orion.

“Siap, Mr. Delvano?” tanya terapis, nada suaranya hati-hati.

Orion hanya mendengus. “Aku nggak pernah siap untuk hal ini.”

Terapis menunduk pelan, lalu mulai menyingkap celana panjang Orion sampai batas lutut. Luka operasi yang sudah menutup terlihat jelas, dengan bekas sayatan memanjang dari paha ke betis. Masih ada warna kemerahan di sekitarnya.

Luna tanpa sadar menahan napas. Bukan karena jijik, tapi karena merasa sedih. Namun, Orion melihat tatapan itu dan langsung tegang.

“Jangan lihat,” katanya tajam. “Aku nggak suka dilihat kayak gitu.”

Luna menunduk cepat, tapi suaranya tenang. “Aku nggak lihat lukanya.”

Orion menatapnya, keningnya berkerut. “Lalu?”

“Aku lihat kamu,” jawabnya lembut.

Keheningan turun. Bahkan suara alat terapi berhenti sesaat.

Luna tersenyum samar. “Aku nggak lihat bekas luka, Orion. Aku lihat seseorang yang berani hidup dengan luka itu.”

Orion menelan ludah, tidak tahu harus berkata apa. Tangannya mengepal di lengan kursi roda.

“Kau bicara seolah-olah itu hal hebat.”

“Itu memang hebat,” balas Luna. “Kamu tahu berapa banyak orang yang menyerah bahkan sebelum mencoba?”

Orion diam. Tatapannya jatuh pada bekas jahitan di kakinya seolah baru pertama kali ia melihatnya bukan sebagai aib, tapi sesuatu yang membuktikan ia masih hidup.

“Luka itu,bukti kamu masih disini.” Suara Luna pelan tapi bergetar.

“Kalau kamu mati waktu itu, luka ini nggak akan ada. Jadi, jangan benci tanda yang justru ngingetin kamu bahwa kamu selamat.”

Orion memejamkan mata. Ia tidak ingin mengakui, tapi kalimat itu menusuk lembut ke dalam sesuatu yang sudah lama membeku di dalam dirinya.

Damian yang mengawasi dari sisi ruangan mencatat pelan. Respons emosional positif pasien tidak menolak stimulasi verbal. Menunjukkan koneksi afektif baru.

Orion membuka mata lagi. “Kamu ngomong begitu karena kamu nggak tahu rasanya kehilangan diri sendiri.”

Luna tersenyum kecil. “Kamu salah. Aku tahu rasanya kehilangan apa yang aku cintai dan kehilangan diriku sendiri bersamaan.”

Tatapan mereka bertemu lama, sunyi, tapi tidak canggung. Luna melanjutkan dengan nada lembut, seperti mantra yang hanya dimengerti mereka berdua.

“Luka nggak perlu disembunyikan, Orion. Kadang, cara terbaik buat sembuh adalah dengan membiarkan orang lain melihatnya tanpa takut.”

Terapis di sebelah mereka berhenti sejenak, pura-pura sibuk menata peralatan. Bahkan mereka tahu, ada sesuatu yang sedang berubah di ruangan itu.

Orion akhirnya berkata pelan, nyaris seperti gumaman,

“Mungkin aku mulai capek menyembunyikan semuanya.”

Luna tersenyum hangat. “Bagus. Karena aku di sini bukan buat nyembuhin kamu, tapi nemenin kamu belajar sembuh atau mungkin kamu bisa bantu aku sembuh juga."

Keheningan lagi. Tapi kali ini berbeda.

Hangat.

Tidak lagi menyesakkan.

Saat sesi selesai, Luna membantu Orion duduk kembali di kursi rodanya. Tangannya sempat bersentuhan dengan tangan Orion hanya sesaat, tapi cukup untuk membuat pria itu menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Antara kaget, canggung, dan kembali hidup.

“Besok jam yang sama?” tanya Luna sambil tersenyum.

Orion menatapnya. Ada jeda sebelum ia menjawab.

“Iya.”

Dan untuk pertama kalinya, suara itu tidak terdengar dingin.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!