NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:462
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 — Foto Lama

Rendra meninggalkan Nyai Melati, pikiran kacau dan berpacu. Kini ia memiliki gambaran yang lebih jelas tentang kutukan Waringin: Pengorbanan yang Dinodai. Film Ayahnya bukan hanya bukti pembantaian, tetapi juga bukti penodaan, bukti yang dituntut oleh Yang Basah.

Ia harus menemukan Dimas yang diperkirakan oleh Pak Darmo ada di rumahnya, dan diperkirakan oleh Nyai Melati kini berada di Balai Desa. Prioritasnya adalah Balai Desa. Tempat Dimas paling mungkin ditahan untuk ritual malam nanti, dan tempat ia harus mencari petunjuk lain mengenai pelaku penodaan Laras—rekan ayahnya.

Rendra menuju Balai Desa, gedung kayu tua yang tadi pagi ia lihat penuh dengan coretan darah. Saat ia tiba, ia melihat coretan itu sudah hilang. Dindingnya bersih, hanya menyisakan noda merah samar yang tercuci hujan. Penduduk desa membersihkannya dalam kepanikan, mencoba menyembunyikan tanda-tanda kemarahan Yang Basah.

Pintu Balai Desa terkunci. Rendra menggunakan linggis kecil di sekop lipatnya untuk membongkar kunci usang itu. Di dalam, aula besar itu kosong, hanya ada lumpur di lantai dan bau apek.

Rendra menyisir ruang kantor kecil Kepala Desa yang berdekatan dengan aula utama. Ruangan itu kosong. Pak Darmo benar-benar melarikan diri.

Rendra mulai menggeledah. Di bawah tumpukan dokumen yang lembab, ia menemukan laci kayu tua yang terkunci. Ia ingat kunci kuningan berkarat yang ia temukan di kotak Rani.

Rendra segera merogoh tasnya. Kunci kuningan itu masih ada. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan kunci itu ke dalam laci. Kunci itu cocok.

KLIK.

Laci itu terbuka. Bau apek dari dalam menyambutnya, bau kertas tua yang membusuk. Di dalamnya, ada beberapa dokumen administrasi desa lama, dan di bawahnya, terbungkus kain batik lusuh yang keras karena kelembaban, ada sebuah album foto.

Album itu berat, dan saat Rendra membukanya, foto-foto tua yang hitam putih menatapnya dari masa lalu. Sebagian besar adalah foto kegiatan desa, namun di tengah-tengah album itu, ada beberapa lembar foto yang berbeda. Foto-foto ritual, yang tampak diambil secara sembunyi-sembunyi.

Rendra menemukan foto yang ia cari.

Itu adalah foto hitam putih, yang sudah menguning dan berjamur di beberapa sudut, namun bidikannya sangat jelas dan mengerikan.

Empat pria berdiri di depan Sumur Tua.

Foto itu diambil pada malam hari. Di belakang mereka, Sumur Tua tampak terbuka, disinari oleh lampu minyak yang remang-remang.

Rendra mengenali dua di antaranya: Pak Darmo muda (tampak lebih kurus, tetapi mata yang sama penuh ketakutan) dan Ayahnya. Ayahnya tampak jauh lebih muda, memegang kamera besar dengan flash eksternal, tatapannya terarah ke sudut lain.

Pria ketiga adalah seorang tetua desa, yang Rendra duga adalah salah satu dari tetua yang merencanakan pembantaian massal.

Pria keempat...

Pria keempat adalah pria yang tampan, dengan kumis tipis, mengenakan kemeja yang rapi, dan matanya memancarkan kesombongan yang dingin, kontras dengan ketegangan pada wajah orang-orang di sekitarnya.

Ini pasti rekan Ayahku. Pelaku penodaan itu. Rendra menatap wajah itu, berusaha mengukir setiap detailnya di dalam memorinya.

Di latar depan foto itu, di tepi Sumur Tua, ada sesuatu yang mengerikan.

Sesosok gadis, Laras, terbaring di tanah. Wajahnya diselimuti kain putih, tetapi kain itu tampak basah dan kotor. Ia diapit oleh dua orang tetua yang wajahnya tidak terlihat.

Laras tidak seharusnya sudah di dalam sumur. Dia masih di luar, di tanah. Dan yang membuat Rendra merasa perutnya mual: di kain putih yang menutupi bagian bawah tubuh Laras, terlihat noda gelap yang jelas.

Penodaan. Itu adalah momen setelah penodaan yang diceritakan Nyai Melati.

Rendra membalik foto itu, tangannya gemetar. Di belakang foto, dengan tulisan tangan yang tergesa-gesa, terukir kalimat yang dingin dan penuh dosa:

“Tumbal terakhir, demi air kehidupan.”

Tumbal terakhir. Bukan sekadar tumbal, tetapi tumbal terakhir yang mereka yakini bisa menghentikan kekeringan.

Rendra melihat ke pojok foto, ke arah sosok Laras yang terbaring. Kamera ayahnya, yang ia pegang sekarang, memiliki resolusi tinggi untuk masanya. Rendra mengangkat foto itu mendekati cahaya redup.

Ia melihat sesuatu yang aneh, sesuatu yang Nyai Melati sebutkan di masa lalu: Bayangan.

Laras terbaring di tanah. Bayangan semua orang yang ada di foto itu terlempar ke arah yang sama, disinari oleh flash kamera.

Tetapi bayangan Laras tidak terlempar ke arah yang sama.

Bayangan Laras, meskipun sosoknya terbaring, entah bagaimana menatap langsung ke kamera. Bayangan itu berdiri tegak, dan wajah bayangan itu mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah-olah berbisik pada lensa.

Bayangan itu menatap Ayahnya. Dan kini, bayangan itu menatapnya, melalui foto berusia tiga puluh tahun.

Rendra tahu, ini adalah bukti yang paling kuat. Bayangan Laras, Yang Basah di masa depan, sudah sadar akan penodaan itu bahkan sebelum ia diturunkan ke sumur.

Ia dengan hati-hati melepaskan foto itu dari album. Ia melipatnya dan menyimpannya di saku tersembunyi, bersama dengan film Ayahnya.

Tiba-tiba, ia menyadari sesuatu. Ia telah menghabiskan waktu terlalu lama di Balai Desa. Ia harus menemukan Dimas.

Rendra bergegas keluar dari ruang kantor. Di aula utama, ia melihat ke sudut ruangan yang gelap. Tidak ada apa-apa.

Namun, saat ia berjalan melintasi aula, ia mendengar bunyi gesekan yang aneh dari bawah lantai. Bunyi kayu yang bergeser.

Rendra berhenti. Ia menunduk. Di tengah aula, tertutup lumpur, ada selembar papan lantai yang tampak longgar. Ia menggunakan ujung linggisnya untuk mengangkat papan itu.

Di bawah lantai, ada ruang kecil yang gelap dan sempit. Dan di dalamnya, meringkuk dalam ketakutan, adalah Dimas.

Anak itu menatap Rendra dengan mata yang lebar dan ketakutan. Ia tidak berlumur lumpur lagi, tetapi wajahnya pucat pasi, dan ia menggigil hebat.

“Kak Rendra…” bisik Dimas, suaranya lemah.

Rendra menghela napas lega. Pak Darmo benar. Dimas berhasil melarikan diri dari Kuburan Air, atau Yang Basah membiarkannya pergi, menahannya di bawah Balai Desa.

Rendra menarik Dimas keluar dari lubang itu. Tubuh Dimas dingin, tetapi hangatnya sentuhan Rendra masih bisa ia rasakan.

“Kau baik-baik saja?” tanya Rendra.

Dimas menggeleng, matanya masih menatap ke lubang di lantai.

“Mereka… mereka mengunciku di sini, Kak,” kata Dimas lirih. “Tapi aku nggak takut penjaga. Aku takut suara itu.”

“Suara apa?”

“Suara dari sumur. Dia… dia manggil aku terus.” Dimas kemudian menunjuk ke pergelangan tangannya.

Rendra melihat tangan Dimas. Pergelangan tangannya memar, seolah ia mencoba mencengkeram sesuatu yang kasar. Dan di kuku-kuku Dimas, terdapat warna hitam yang pekat, bukan karena kotoran, tetapi karena sesuatu yang meresap ke dalamnya.

“Aku dengar dia manggil aku dari sumur, Kak,” kata Dimas lirih.

“Dia bilang… aku anaknya.”

Rendra terkejut. Yang Basah mengklaim Dimas sebagai anaknya. Karena Dimas adalah anak dari korban pembantaian yang tidak bersalah? Atau karena Yang Basah menempelkan dirinya pada Dimas saat ia ditarik ke Kuburan Air?

“Kita harus pergi, Dimas,” kata Rendra. “Mereka akan kembali. Mereka akan menjadikanmu tumbal malam ini.”

Tiba-tiba, dari luar, terdengar suara. Suara gerombolan orang yang berjalan, dan suara teriakan panik.

“Dimas di Balai Desa! Ambil dia! Kita harus lakukan Ritual Darah malam ini!”

Rendra dan Dimas terperangkap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!