NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Mengubah Takdir / Dark Romance
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Novia na1806

Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.

Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.

Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 14 -- malam pertama aruna & leo

Mobil berhenti tepat di tangga utama. Seorang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan pakaian formal hitam—Arman, asisten keluarga Adikara—segera membukakan pintu mobil.

“Selamat datang di kediaman keluarga Adikara, Nyonya,” ucapnya sopan sambil sedikit menunduk.

Aruna tersenyum cerah. “Wah, terima kasih banyak, Mas Arman! Aduh, aku dipanggil ‘Nyonya’ terus hari ini, rasanya tua banget, deh!” katanya sambil terkikik.

Arman, yang jelas tak terbiasa menghadapi energi semenggemaskan itu, sempat terdiam sesaat sebelum akhirnya tersenyum kaku. “Kalau begitu, apa saya boleh memanggil Nona saja?”

“Nah, itu baru enak didengar!” jawab Aruna cepat, dengan mata berbinar. “Nanti aku malah panggil Mas Arman juga ‘Tuan Rumah’ kalau terlalu formal!”

Arman sampai menunduk untuk menutupi tawa kecilnya. “Baiklah, Nona Aruna,” katanya akhirnya, nada suaranya jadi lebih hangat.

Aruna turun dari mobil, gaun lembut berwarna krimnya bergerak anggun seiring langkahnya. Saat ia menatap bangunan besar itu, hatinya berdesir pelan. Inilah rumah baruku, pikirnya. Rumah yang bukan sekadar tempat tinggal—melainkan bagian dari permainan besar yang tengah ia jalani.

Namun, sejenak saja, Aruna menyingkirkan segala rencana balas dendam dari pikirannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menata senyumnya, dan melangkah menaiki anak tangga marmer putih.

Begitu sampai di depan pintu utama, dua sosok berdiri menunggunya dengan senyum hangat. Nyonya Adikara, anggun dalam balutan gaun biru muda, menyambutnya dengan pelukan lembut. “Aruna, akhirnya kau datang juga, sayang.”

Aruna membalas pelukan itu erat, matanya sedikit berkaca. “Terima kasih sudah menyambut aku, Tante—eh, maksudku, Mama.” Ia menatap wajah wanita itu dengan malu-malu. “Aku masih agak kikuk, Ma. Tapi aku janji bakal belajar cepat!”

Nyonya Adikara tertawa kecil. “Tidak perlu terburu-buru, Nak. Mulai sekarang, anggap rumah ini rumahmu juga.”

Tuan Adikara mendekat, senyum ramah menghiasi wajah berwibawanya. “Selamat datang di rumah, Aruna,” ucapnya hangat.

Aruna menunduk sopan, tapi suaranya tetap riang. “Terima kasih, Pa. Eh—boleh kan aku panggil begitu? Kalau dilarang nanti aku mogok makan, lho!”

Keduanya tertawa mendengar ancaman kecil itu.

“Boleh, tentu saja,” jawab Tuan Adikara dengan nada geli.

“Sudah lama rumah ini tak selincah ini.”

Aruna tersipu, lalu melirik ke dalam aula besar yang terbuka di hadapannya. “Wah, rumahnya luar biasa ya. Aku sampai takut jalan sendirian di sini nanti nyasar. Ada peta, Ma? Atau aku harus bawa GPS?”

Nyonya Adikara terkekeh. “Nanti aku sendiri yang mengantarmu berkeliling.”

“Wah, kalau Mama yang antar aku, nanti aku gak bisa cerewet sesuka hati dong,” keluh Aruna pura-pura cemberut. “Aku takut Mama bosan denger ocehan aku yang gak berhenti.”

“Tidak sama sekali,” jawab Nyonya Adikara sambil menggandeng tangannya lembut. “Suaramu justru membuat rumah ini terasa hidup.”

Tuan Adikara hanya menggeleng kecil, matanya penuh tawa. “Aku mulai paham kenapa Leo akhirnya menyetujui pernikahan ini,” katanya pelan.

Aruna langsung menatapnya dengan ekspresi geli. “Pilihan atau paksaan, Pa?” godanya cepat, lalu menutup mulut sendiri. “Eh! Aku cuma bercanda, beneran!”

Suara tawa kembali memenuhi ruangan. Para pelayan di sekitar lorong menunduk, tapi senyum-senyum kecil tampak di wajah mereka. Belum pernah rumah ini sehidup itu.

Arman datang kembali, kali ini membawa nampan berisi teh dan kue kecil. “Silakan, Nona Aruna. Ini teh kamomil kesukaan Nyonya.”

Aruna menatap nampan itu dengan mata berbinar. “Wah, aku bahkan belum bilang haus, tapi udah disuguhi teh! Mas Arman kayak bisa baca pikiran, deh.”

Nyonya Adikara tersenyum hangat. “Cobalah, teh ini menenangkan.”

Aruna menyesap perlahan. Wangi lembut bunga kamomil memenuhi lidahnya. “Hmm… ini teh terenak yang pernah aku minum,” ujarnya tulus. “Tapi kalau aku yang bikin teh, pasti gak secantik ini. Biasanya sih… gulanya kebanyakan.”

Tuan Adikara ikut menimpali, “Kau manis juga, jadi gulanya ikut berlebihan.”

“Papa bisa aja, ih!” sahut Aruna spontan sambil tertawa, pipinya merah. Suasana jadi makin hangat.

Setelah beberapa menit mengobrol ringan, Aruna teringat sesuatu. “Oh iya, Ma, Pa! Papa dan Mama Surya titip salam. Mereka minta maaf banget gak bisa ikut ngantar aku ke sini. Katanya ada urusan mendadak yang gak bisa ditinggal.”

Nyonya Adikara mengangguk lembut. “Kami sudah bicara dengan mereka pagi tadi, Nak. Tak usah merasa bersalah. Kami mengerti.”

Aruna tersenyum lega. “Syukurlah. Soalnya Mama aku tuh bawelnya luar biasa, lho. Biasanya sebelum aku pergi, dia udah kasih seribu pesan. Kalau tahu aku datang sendirian, bisa-bisa aku dikuliahi lewat video call!”

Tuan dan Nyonya Adikara tertawa bersamaan, membuat Aruna juga ikut geli. “Kalau begitu, sepertinya aku akan cocok dengan ibumu,” ujar Nyonya Adikara sambil tersenyum.

“Wah, yakin, Ma? Nanti Mama bisa-bisa jadi korban ceramah harian!” kata Aruna cepat, membuat semua orang kembali tertawa.

Tawa mereka menggema lembut di aula besar itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, rumah keluarga Adikara terasa benar-benar seperti rumah—bukan sekadar simbol kekuasaan.

Aruna menatap sekeliling dan menghela napas lega. “Terima kasih, Ma, Pa. Aku janji bakal bikin rumah ini penuh tawa setiap hari.”

Nyonya Adikara mengelus kepala Aruna penuh kasih. “Kau sudah melakukannya, Nak.”

...----------------...

Udara sore perlahan berubah menjadi malam ketika Aruna melangkah keluar dari aula utama. Lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit memancarkan cahaya lembut, memantul di marmer putih yang mengilap. Di sekelilingnya, rumah besar keluarga Adikara tampak semakin megah—tapi sore ini terasa lebih hangat, lebih hidup. Semua itu berkat tawa yang tak henti-hentinya, suasana yang tercipta sejak ia disambut Tuan dan Nyonya Adikara.

“Aruna, ini pintu menuju kamar atasmu. mama tunjukkan jalannya,” kata Nyonya Adikara sambil tersenyum lembut, tangannya menggandeng Aruna.

Aruna menatap mata Nyonya Adikara, hatinya sedikit berdebar. “Terima kasih, Ma. Aku… senang sekali hari ini. Rasanya seperti rumah sendiri, tapi ini megah banget,” ujarnya sambil terkikik. Ia tak bisa menahan diri untuk memutar matanya ke sekeliling, memeriksa setiap lukisan dan ukiran kayu yang menempel di dinding lorong.

Tuan Adikara melangkah di samping mereka, memberikan panduan singkat. “Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang. Besok kita bisa berkeliling lebih santai. Malam ini, istirahatlah.”

“Yah, tapi aku penasaran banget sama kamarnya!” Aruna berseru, gaya khasnya yang selalu cerewet muncul begitu saja. “Aku bisa bayangin… pasti luas, pasti indah, dan pastinya nyaman banget, ya?”

Nyonya Adikara tersenyum lembut. “Kau pasti suka. Semua yang ada di sana sudah kami siapkan sesuai permintaanmu saat pertunangan.”

Aruna mengangkat alisnya, mata berbinar. “Eh, aku gak minta apa-apa banyak, Ma. Tapi kalau bisa ada tempat buat semua buku aku, ruang untuk outfit aku, dan… tentu saja, meja untuk teh dan cemilan… Hahaha, itu penting!” Ia tertawa sendiri, namun dengan ekspresi penuh antusiasme.

“Tenang saja, Nak. Semua sudah tersedia,” ujar Nyonya Adikara sambil membuka pintu menuju tangga.

Aruna menatap anak tangga itu dengan rasa ingin tahu. Tangga kayu besar yang mengarah ke lantai atas itu memantulkan cahaya lampu, membuat setiap langkah terlihat elegan. “Hmm… kalau aku jatuh di sini, pasti bakal terdengar sampai bawah, ya?” candanya sambil menapakkan kaki perlahan.

Tuan Adikara ikut tersenyum. “Sepertinya kau memang penuh energi, Aruna. Jangan khawatir, lantainya aman. Lagipula, ini rumahmu sekarang.”

Aruna menggigiti bibir bawahnya, tersenyum lebar. “Hahaha… iya, iya. Aku janji bakal hati-hati. Tapi tetap aja… aku ingin eksplorasi setiap sudut!”

Nyonya Adikara menepuk punggungnya lembut. “Kau bebas, Nak. Rumah ini memang untukmu juga. Asalkan jangan bikin kekacauan, ya.”

“Eh, Ma, tenang saja. Kekacauan versi aku… relatif kok. Maksudnya… tawa berlebihan dan ocehan tanpa henti. Hahaha!” Aruna terkekeh.

Lorong-lorong lantai atas terasa lebih tenang dibanding aula utama, tapi masih memancarkan kemewahan dan wibawa keluarga Adikara. Aruna berjalan di tengah, matanya menelusuri setiap lukisan dan foto keluarga yang terpajang rapi di dinding. Ia berhenti beberapa kali, menunjuk satu foto, lalu berseru,

“Wah, ini pasti Leo waktu kecil! Lucu banget ya?”

“Benar, itu foto Leo waktu ulang tahunnya yang ke-delapan,” jawab Nyonya Adikara sambil tersenyum. “Dia memang selalu ceria seperti itu, Nak. Tapi sekarang, kau akan menemui dia…” kata Nyonya Adikara sejenak menahan kata-kata, menatap ke arah pintu di ujung lorong.

Aruna menatap ke arah itu dengan mata berbinar, hati sedikit berdebar. “Oh, iya… ini pasti kamarnya. Huh… rasanya tegang juga, ya. Tapi penasaran!”

Mereka berhenti di depan pintu besar berwarna cokelat gelap dengan ukiran halus di sekelilingnya. Nyonya Adikara menepuk bahu Aruna. “Ini kamar kalian. Semua sudah disiapkan. Kalau kau mau, kau bisa masuk dan menata barang-barangmu. Besok, kita mulai hari dengan sarapan bersama.”

Aruna mengangguk cepat, tak sabar. “Terima kasih, Ma. Aku janji akan rapi dan gak bikin repot. Hihihi…” Ia terkikik, lalu menekan gagang pintu perlahan dan mendorong pintu terbuka.

Begitu Aruna masuk, matanya seketika membesar. Kamar itu luas, dengan jendela besar menghadap taman belakang rumah. Cahaya lampu dari luar memantul di lantai kayu,

menciptakan suasana hangat dan nyaman. Di tengah kamar, ada dua tempat tidur besar, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk… ia menelan ludah, matanya terpaku pada sosok yang terbaring tenang di tempat tidur sebelah.

“Oh…” Aruna berbisik pelan, langkahnya berhenti. Ia menatap sosok itu sebentar, rasa penasaran bercampur sedikit grogi. Dia benar-benar di sini… gumamnya dalam hati. Ia menunduk sedikit, menahan diri agar tidak bersuara terlalu keras.

Nyonya Adikara tersenyum, seolah membaca pikirannya. “Tenang saja, Nak. Dia hanya sedang istirahat. Kau bisa menata kamar, menaruh barang-barangmu, dan… membiasakan diri.”

Aruna mengangguk cepat, mencoba menahan detak jantungnya yang tiba-tiba sedikit cepat. Ia melangkah ke lemari dan mulai membuka koper, meletakkan pakaian dan beberapa benda pribadinya.

“Wah, lemari ini luas banget! Aku bisa masukin semua outfit aku dan masih ada ruang buat… eh, mungkin sedikit buku juga,” gumamnya sambil tertawa pelan.

Nyonya Adikara hanya tersenyum lembut melihat tingkah menantunya yang penuh energi. Setelah beberapa menit berbasa-basi, beliau dan Tuan Adikara pamit meninggalkan kamar.

“Kalau kau butuh sesuatu, panggil saja asisten rumah. Istirahatlah, Nak,” pesan Nyonya Adikara.

“Baik, Ma. Terima kasih banyak!” Aruna menjawab dengan semangat, lalu menutup pintu pelan setelah keduanya pergi.

Begitu suasana menjadi tenang, Aruna berdiri diam di tengah kamar. Matanya beralih pada sosok yang terbaring di ranjang besar di seberang. Udara di kamar mendadak terasa berbeda — lembut, tapi penuh dengan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Ia menelan ludah pelan. “Jadi… ini dia suamiku sekarang?” bisiknya setengah gugup.

Langkahnya pelan, hati-hati, seolah takut membuat suara sekecil apa pun. Ia berjalan mendekat ke sisi ranjang. Dan ketika akhirnya jarak mereka hanya tinggal sejengkal, napas Aruna seakan tertahan.

Wajah Leo tampak begitu tenang. Garis rahangnya tegas, kulitnya pucat bersih, hidungnya mancung sempurna, dan bibirnya tipis tapi tampak begitu rapi — ada aura dingin yang entah kenapa justru membuat dada Aruna sedikit bergetar.

“Masya… ini tuh wajah orang koma?” gumamnya pelan, mata tak lepas menatap wajah Leo. “Astaga… seganteng ini tuh nggak adil banget, sih.”

Ia mengedipkan mata beberapa kali, lalu mengusap pipinya sendiri, memastikan kalau ini bukan mimpi. “Rahangnya aja kayak diukir, hidungnya… duh, mancung banget. Kalau ini jatuh ke hidungku bisa patah deh.”

Tanpa sadar, tangannya terulur perlahan. Jemarinya yang dingin menyentuh ujung hidung Leo, lalu mengusap pelan seolah tak percaya.

“Hmm… hidungnya dingin banget. Tapi kok rasanya kayak… lembut, ya? Aduh, Aruna, apa yang kamu lakuin sih,” katanya setengah menegur diri sendiri, pipinya merona.

Ia buru-buru menarik tangannya tapi tak bisa menahan senyum. “Aku cuma… ya, penasaran aja. Katanya dia dingin banget, tapi mukanya malah kayak malaikat yang lagi tidur.”

Aruna terkekeh kecil, lalu menunduk, menatap wajah Leo lebih lama. “Leo Adikara… suamiku. Sejujurnya, aku kira orang setampan ini cuma ada di majalah. Tapi ternyata aku tinggal satu kamar sama dia.”

Ia menggigit bibirnya sambil berbisik, “Jangan tiba-tiba bangun, ya. Aku bisa mati malu kalau kamu lihat aku ngomong kayak gini.”

Suasana kamar tetap tenang, hanya suara napas halus Leo yang terdengar. Aruna menarik kursi kecil di samping tempat tidur dan duduk di sana, menatap Leo dalam diam selama beberapa saat.

Ia mengusap rambutnya sendiri yang sedikit berantakan, lalu berbisik lagi, suaranya lembut kali ini. “Kalau kamu bisa dengar, aku cuma mau bilang… mulai malam ini, aku yang bakal jaga kamu, ya. Aku bakal cerewet banget, siapin sarapan yang gak bakal kamu makan, dan ngobrol sendirian tiap malam. Jadi… jangan bosan, oke?”

Setelah itu, Aruna berdiri lagi, membenahi selimut Leo agar lebih rapi. “Tenang aja, aku gak akan ganggu kamu tidur. Tapi kamu ganteng banget, sumpah.”

Ia menatap wajah Leo sekali lagi sebelum melangkah ke tempat tidurnya sendiri. Tatapannya masih sama — penuh kagum, namun juga menyimpan semacam rasa tanggung jawab yang hangat.

Aruna tersenyum kecil. “Baiklah, Leo. Selamat malam. Semoga kamu gak keberatan punya istri kayak aku.”

Ia menarik selimut, merebahkan diri, tapi matanya masih melirik ke arah ranjang Leo. Lalu, pelan-pelan, suara kecil tawa Aruna memenuhi kamar yang tenang itu.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, rumah besar keluarga Adikara terasa hidup — bukan karena kemegahannya, tapi karena kehadiran seorang perempuan yang terlalu jujur, terlalu cerewet, dan terlalu tulus dalam cara mencintai hidup.

1
ZodiacKiller
Wow! 😲
Dr DarkShimo
Jalan cerita hebat.
Novia Na1806: wah terima kasih sudah membaca,jadi senang banget nih ada yang suka karya ku🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!