Selina Ratu Afensa tak pernah menduga hidupnya berubah drastis saat menerima pekerjaan sebagai pengasuh di keluarga terpandang. Ia pikir hanya akan menjaga tiga anak lelaki biasa, namun yang menunggunya justru tiga badboy yang terkenal keras kepala, arogan dan penuh masalah
Sargio Arlanka Navarez yang dingin dan misterius, Samudra Arlanka Navarez si pemberontak dengan sikap seenaknya dan Sagara Arlanka Navarez adik bungsu yang memiliki trauma dan sikap sedikit manja. Tiga karakter berbeda, satu kesamaan yaitu mereka sulit di jinakkan
Di mata orang lain, mereka adalah mimpi buruk. Tapi di mata Selina, mereka adalah anak anak kesepian yang butuh di pahami. Tanpa ia sadari, keberaniannya menghadapi mereka justru mengguncang dunia ketiga badboy itu dan perlahan, ia menjadi pusat dari perubahan yang tak seorang pun bayangkan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Blue🩵, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma sagara
Selina terdiam. Pandangannya kosong menatap lurus ke depan, seolah sedang berusaha menahan sesuatu dalam dadanya. Jemarinya menggenggam erat ujung rok yang ia kenakan. Lalu, dengan suara lirih namun tegas ia berkata “Kau tidak tahu apa apa… jadi lebih baik diam”
Samudra mengangkat alisnya. Senyum tipis, hampir seperti ejekan, muncul di sudut bibirnya. Ia terkekeh kecil, lalu menurunkan tubuhnya, duduk di samping Selina. Kaki kanannya bertumpuk santai di atas kaki kiri, sikapnya tenang tapi tajam
"Kalau gue gak tahu apa apa, mustahil gue bisa berada di sini sekarang, bukan?” ucapnya datar
Selina terkejut mendengar balasan itu. Matanya refleks melirik ke arah Samudra, sorotnya bergetar, campuran antara kesal dan takut
“Tolong…” suaranya hampir bergetar “jangan ikut campur urusanku. Hubungan kita hanya sebatas majikan dan pengasuh. Tidak lebih”
Sejenak Samudra menatapnya lama dan dalam. Senyumnya melebar, tapi kali ini lebih tenang, bahkan seolah mengandung sesuatu yang tidak Selina mengerti
“Baiklah” katanya akhirnya “Kau benar”
Lalu ia menegakkan tubuhnya, kedua tangannya di masukkan kembali ke dalam saku celana. Dengan santai, ia menoleh ke arah Selina sambil berkata ringan
“Kalau begitu, ayo kita pulang”
Selina menunduk, tidak menjawab. Ia hanya berdiri, melangkah lebih dulu, meninggalkan Samudra yang tetap duduk beberapa detik. Samudra menatap punggung gadis itu, matanya menyipit sesaat, lalu perlahan ikut bangkit dan berjalan menyusul dari belakang
Perjalanan pulang itu terasa hening. Hanya suara mesin mobil dan deru angin sore yang menembus celah kaca. Errick dengan tenang mengemudi, tatapannya lurus ke depan
Di kursi belakang, Samudra duduk bersandar sambil sibuk menatap layar ponselnya, jari jarinya bergerak cepat mengetik sesuatu. Sementara di sampingnya, Selina diam membisu, pandangan kosong terlempar keluar jendela, mengikuti bayangan pepohonan dan langit jingga yang mulai meredup
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti perlahan di halaman rumah. Errick melirik sekilas ke kaca spion, memperhatikan Samudra yang masih dengan ponselnya, dan Selina yang ternyata sudah tertidur
Samudra pun ikut menoleh. Tatapannya jatuh pada wajah Selina yang damai. Rambutnya sedikit berantakan, bibirnya tertutup rapat, napasnya teratur. Ada sesuatu yang terasa berbeda, polos, rapuh, dan begitu asing baginya
Samudra menghela napas pelan, lalu memberi kode dengan dagu agar Errick turun lebih dulu. Errick paham, ia segera membuka pintu depan dan meninggalkan mereka berdua
Hening kembali menyelimuti. Samudra menutup ponselnya, menyelipkannya ke saku, lalu perlahan mendekatkan wajahnya. Hanya beberapa jengkal jarak yang memisahkan wajahnya dengan Selina. Ia memperhatikan setiap detail, alis yang tipis, bulu mata yang lentik, wajah yang terlelap seolah tanpa beban
Sesaat sudut bibirnya terangkat, hampir seperti senyum samar. Tapi dengan cepat ia menggeleng kecil, menepis pikirannya sendiri
Tanpa ragu, Samudra keluar dari mobil, lalu berjalan memutari bagian belakang. Dengan sengaja, ia membuka, menutup lalu membuka lagi pintu tepat di samping Selina dengan suara brak! yang cukup keras
Selina terlonjak kaget. Matanya terbuka lebar, napasnya terengah karena terkejut. Begitu pandangannya menangkap Samudra yang berdiri tegak menatapnya dengan ekspresi datar, pipinya memanas
“S-samudra...” suaranya lirih, masih linglung
Samudra menangkupkan tangannya di depan dada, menatapnya tanpa ekspresi, lalu berkata singkat, tegas
“Siapkan air hangat, aku ingin mandi”
Selina langsung menunduk, lalu buru buru turun dari mobil. Dengan langkah cepat hampir setengah berlari
Samudra masih terdiam di sisi mobil, pandangannya tak lepas dari punggung Selina yang bergegas masuk ke dalam rumah
Namun tiba tiba, sebuah rasa tak nyaman membuatnya refleks mendongak. Dari balkon lantai dua, tepat di depan kamar terlihat sosok Sargio berdiri
Dengan satu tangan memegang gelas kristal berisi minuman, Sargio bersandar santai pada pagar balkon, sorot matanya tajam namun tenang, menatap lurus ke arah Samudra
Samudra terdiam, pandangannya bertemu dengan tatapan kakaknya. Keduanya saling menatap lama, hening, berat, seolah ada sesuatu yang tak bisa di ungkapkan lewat kata kata
Tatapan itu… sulit diartikan. Antara pengawasan, pertanyaan atau bahkan peringatan
Samudra akhirnya menarik napas dalam, lalu dengan sikap dinginnya mengalihkan pandangan. Ia berjalan masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun
Malam itu rumah sudah sepi. Lampu lampu lorong hanya menyisakan cahaya redup kekuningan, menambah sunyi suasana. Samudra baru saja keluar dari ruang perpustakaan kecil milik keluarga, di tangannya ada dua buku tebal yang ia pilih untuk di baca sebelum tidur
Ia berjalan santai melewati lorong, membuka pintu kamarnya dan... Alisnya langsung berkerut
Di atas ranjangnya, Sagara sudah meringkuk pulas, bahkan dengkuran halus terdengar
“Dasar…” Samudra menggeram pelan, kesal. Tanpa pikir panjang, ia meletakkan buku di meja kecil lalu mendekat, menarik kaki Sagara dengan kasar
“Bruukkk!”
Tubuh Sagara langsung jatuh ke lantai, kepalanya terbentur keras di sisi ranjang
“Aduuh! Bajingan!” serunya, meringis sambil mengelus kepalanya
Samudra mendengus keras, wajahnya penuh emosi “Berapa kali gue harus bilang? Malam ini, lo gak boleh tidur di kamar gue lagi! Kemarin lo udah menyelinap diam diam dan tidur di sebelah gue. Kali ini gue nggak akan membiarkannya lagi Sagara! "
Sagara mengangkat wajahnya, ekspresi memelas “Tapi… Gue nggak bisa tidur sendiri Sam. Lo tahu kan? Trauma gue masih ada... Gue nggak pernah bisa tidur nyenyak sendirian” Suaranya bergetar, terdengar tulus sekaligus rengekan
Samudra terdiam sejenak, matanya berkedip, ada sedikit rasa bersalah muncul. Namun ia cepat cepat mengeraskan hatinya, menyilangkan tangan di dada
“Itu bukan urusan gue. Lo sudah dewasa Sagara. Jangan manja terus!”
Sagara menunduk, bibirnya mencibir kecil, lalu merengek lagi
“Samudraaa… Gue mohon. Biarkan adikmu ini di sini malam ini saja”
Samudra menghela napas panjang, frustrasi. Ia memalingkan wajah, tak ingin luluh
Tanpa mereka sadari, di luar pintu, langkah ringan berhenti
Selina yang baru saja melewati kamar itu berhenti tepat di depan pintu yang sedikit terbuka. Ia refleks menoleh karena mendengar suara benturan tadi
Namun telinganya justru menangkap percakapan dua saudara itu
Samudra menatap adiknya dengan tatapan keras “Kalau memang tak bisa tidur sendiri, kenapa tidak tidur saja di kamar Gio? Sama sama kamar, sama sama punya ranjang”
Sagara yang masih terduduk di lantai langsung menoleh dengan wajah getir. Ia berdiri pelan, menepuk nepuk celananya yang kotor
“Gio sama saja kayak lo” gumamnya pelan, getir bercampur kecewa
Ia lalu melangkah menuju pintu dengan langkah lemas. Gagang pintu ia putar perlahan dan begitu pintu terbuka…
Matanya langsung membelalak. Di balik pintu, Selina berdiri kaku. Jelas sekali ia sudah mendengar percakapan mereka
“Se… Selina?” suara Sagara tercekat
Selina pun sama terkejutnya. Ia buru buru menunduk, wajahnya pucat, lalu bergumam cepat
“M-maaf… Gue nggak bermaksud nguping… Gue pergi sekarang”
Ia melangkah terburu buru hendak kabur, namun tangan Sagara lebih cepat. Ia meraih pergelangan Selina, menariknya berjalan ke arah kamarnya
“Jangan lari” ucapnya singkat dengan nada menahan panik