Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 14
Sejak malam lamaran itu, Bastian tidak bisa tenang. Rasa cemburu yang ia coba sembunyikan justru semakin menjadi-jadi. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Raka yang berlutut di depan Jenia selalu muncul, membuat dadanya sesak.
Di kantor, Bastian semakin sulit fokus. Ia sering berdiri di depan kaca jendela ruangannya, menatap kosong ke arah luar. Vita beberapa kali menegur karena ia lebih sering melamun.
Sementara itu, Jenia sendiri berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia bekerja keras di divisi barunya, mencoba tidak memikirkan lamaran Raka terlalu dalam. Namun dalam diam, ia tahu bahwa bayangan Bastian masih mengganggu hatinya.
Suatu siang, saat Jenia hendak keluar dari pantry dengan secangkir kopi di tangan, langkahnya terhenti. Bastian sudah berdiri di depan pintu, seakan menunggunya.
“Kamu ada waktu sebentar?” suara Bastian terdengar datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang dalam.
Jenia tercekat, hampir saja menumpahkan kopi yang ia bawa. “Umm… ada urusan apa, sampai bapak datang ke kantor?” tanyanya hati-hati, menjaga jarak.
Bastian menatap sekeliling, memastikan tidak ada orang lain. “Aku cuma… ingin bicara. Empat mata. Tolong.”
Suasana mendadak canggung. Jenia menunduk, berusaha mengatur napasnya. Ingatan tentang lamaran Raka muncul kembali, juga tatapan Bastian malam itu.
“Baiklah,” jawabnya singkat.
Mereka akhirnya memilih ruang rapat kecil yang sedang kosong. Begitu pintu tertutup, hening menyelimuti. Bastian bersandar di meja, sementara Jenia berdiri dengan tubuh tegang, memeluk map di dadanya.
“Kenapa kamu nggak langsung terima lamaran Raka?” tanya Bastian tiba-tiba. Suaranya berat, penuh emosi yang ditahan.
Jenia terkejut. “Itu… bukan urusan Anda, Pak,” jawabnya dingin.
“Tapi aku ingin tahu,” desak Bastian, kali ini nadanya lebih dalam.
Jenia menatapnya tajam. “Kenapa Anda peduli? Bukankah Anda akan segera menikah dengan Vita?”
Pertanyaan itu membuat Bastian terdiam. Dadanya bergemuruh, kata-kata tercekat di tenggorokan. Ia ingin jujur, ingin berteriak bahwa hatinya bukan untuk Vita. Namun bibirnya hanya mampu berkata, pelan tapi penuh makna:
“Karena aku… nggak bisa berhenti memikirkanmu.”
Ruang rapat kecil itu mendadak dipenuhi ketegangan. Kata-kata Bastian baru saja terucap, membuat udara seakan berhenti bergerak.
“Karena aku… nggak bisa berhenti memikirkanmu.”
Jenia menatapnya dengan mata melebar. Jantungnya berdegup kencang, namun seketika rasa sakit lama kembali menyeruak. Kata-kata pedih yang dulu Bastian ucapkan “dia tidak level denganku” seperti pisau yang kembali menggores hatinya.
Ia menggeleng pelan, lalu tertawa getir. “Hah… lucu sekali, Pak. Setelah semua yang terjadi, setelah semua yang pernah Anda katakan… sekarang Anda bilang begitu?”
Bastian melangkah mendekat, suaranya sedikit gemetar. “Aku serius, Jenia. Aku nggak bisa lagi bohong sama perasaan aku sendiri.”
“Serius?” Jenia mendongak, matanya mulai berkaca-kaca. “Waktu Vita menanyakan tentang aku di depan semua orang, apa itu juga serius? Waktu kamu bilang aku nggak level sama kamu, apa itu juga serius?”
Bastian terdiam, wajahnya berubah tegang.
Jenia menahan napas, lalu melanjutkan dengan suara bergetar namun tegas.
“Sudah cukup, Pak. Saya nggak mau lagi berharap sama orang yang dulu bahkan nggak pernah menganggap saya ada. Saya lelah. Jadi tolong… jangan buat semuanya semakin sulit.”
Air mata akhirnya jatuh di pipinya, cepat-cepat ia hapus agar tidak terlihat rapuh. Ia membalikkan badan, meraih gagang pintu dengan tangan bergetar.
“Mulai hari ini, anggap saja kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya"
Pintu terbuka, dan Jenia melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Bastian hanya bisa berdiri terpaku, tubuhnya kaku, matanya kosong. Kata-kata Jenia menghantamnya lebih keras daripada yang ia bayangkan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan perasaan kehilangan yang begitu nyata… bahkan sebelum ia benar-benar kehilangan.
Hari-hari setelah percakapannya dengan Bastian, hati Jenia masih terasa berat. Setiap kali ia mengingat kata-kata pria itu, dadanya bergejolak antara marah, sakit, dan rindu yang tidak pernah benar-benar hilang.
Namun kali ini, ia sudah membuat keputusan. Ia tidak ingin lagi menjadi perempuan yang menunggu tanpa kepastian. Ia ingin memberi dirinya kesempatan untuk bahagia.
Suatu sore, Raka mengundang Jenia makan malam di sebuah kafe yang tenang, jauh dari hiruk pikuk kota. Raka datang dengan senyum hangat, seperti biasa, menatap Jenia dengan sorot penuh ketulusan. “Jenia,” suara Raka lembut, “aku tahu mungkin aku bukan orang pertama yang pernah kamu cintai. Tapi izinkan aku jadi orang yang membuatmu merasa dicintai dengan benar.”
Kata-kata itu membuat mata Jenia panas. Berbeda sekali dengan cara Bastian memperlakukannya dingin, penuh keraguan, dan selalu menyakitkan. Dengan tangan gemetar, Jenia menghela napas panjang. “Raka… aku sudah terlalu lama hidup dengan luka. Tapi kamu selalu ada, selalu sabar, bahkan ketika aku sibuk dengan perasaan yang bukan untukmu.”
Raka hanya menatapnya, menunggu dengan sabar.
“Aku…” Jenia tersenyum tipis, air mata menetes pelan di pipinya. “…aku mau menerima kamu, Raka. Aku mau belajar membuka hati lagi.”
Wajah Raka langsung berbinar. Ia meraih tangan Jenia, menggenggamnya erat. “Terima kasih, Jen. Aku janji, aku nggak akan pernah biarin kamu merasa sendiri lagi.”
Namun jauh di sisi lain kota, Bastian duduk sendirian di ruang kerjanya. Di meja, ia menatap kosong ke arah ponsel yang menampilkan sebuah foto Jenia dan Raka yang diunggah salah satu teman kantor. Senyum Jenia di foto itu terlihat tulus.
Bastian mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“Kenapa aku baru sadar setelah semuanya terlambat?”
Hari-hari Jenia terasa berbeda sejak ia menerima Raka. Setiap pagi kini ada pesan singkat penuh semangat dari pria itu, setiap malam ada panggilan singkat menanyakan kabarnya. Hal-hal kecil yang dulu tak pernah ia dapatkan dari Bastian, kini ia rasakan bersama Raka.
Raka selalu berusaha ada di sisinya menunggunya ..sepulang kerja, menemani makan siang meski sebentar, bahkan mendengar keluh kesahnya tanpa mengeluh. Perlahan, tembok hati Jenia yang lama terkunci mulai terbuka.
“Jen, kamu kelihatan lebih bahagia sekarang,” komentar Leony saat mereka sedang makan siang di kantin kantor.
Jenia tersenyum tipis. “Iya, aku lagi belajar buat nggak mikirin masa lalu lagi.”
Tapi meskipun bibirnya tersenyum, ada satu bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih. Luka bernama Bastian.
Di sisi lain, Bastian semakin sulit menahan diri. Setiap kali berpapasan dengan Jenia di kantor raka, ia merasakan jarak yang sangat nyata. Jenia kini tak lagi menunduk atau salah tingkah seperti dulu ia bersikap profesional, dingin, dan hanya berbicara seperlunya.
Dan yang lebih menyakitkan, setiap kali nama Raka disebut, Jenia selalu tersenyum. Senyum yang tidak pernah ia berikan pada dirinya.
Bastian sering berdiri di balkon kantornya, menatap ke bawah, berharap sekilas bisa melihat Jenia lewat. Hatinya memberontak, menyesali kebodohan yang dulu ia lakukan. Tapi setiap kali ia ingin melangkah mendekat, bayangan Raka yang kini berdiri di sisi Jenia membuatnya terhenti.
Malam itu, setelah pulang dari kantor, Jenia duduk di kamarnya. Ia menatap ponselnya, membaca pesan Raka yang begitu hangat:
"Aku nggak janji jadi laki-laki sempurna, tapi aku janji nggak akan bikin kamu nangis karena aku."
Air matanya jatuh, bukan karena sedih, tapi karena rasa haru. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Jenia merasa benar-benar dihargai.
“Ya Tuhan, kalau ini memang jalan yang terbaik… tolong kuatkan aku untuk melupakannya,” bisiknya lirih.