Sebelas tahun lalu, seorang gadis kecil bernama Anya menyelamatkan remaja laki-laki dari kejaran penculik. Sebelum berpisah, remaja itu memberinya kalung berbentuk bintang dan janji akan bertemu lagi.
Kini, Anya tumbuh menjadi gadis cantik, ceria, dan blak-blakan yang mengelola toko roti warisan orang tuanya. Rotinya laris, pelanggannya setia, dan hidupnya sederhana tapi penuh tawa.
Sementara itu, Adrian Aurelius, CEO dingin dan misterius, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari gadis penolongnya. Ketika akhirnya menemukan petunjuk, ia memilih menyamar menjadi pegawai toko roti itu untuk mengetahui ketulusan Anya.
Namun, bekerja di bawah gadis yang cerewet, penuh kejutan, dan selalu membuatnya kewalahan, membuat misi Adrian jadi penuh keseruan… dan perlahan, kenangan masa lalu mulai kembali.
Apakah Anya akan menyadari bahwa “pegawai barunya” adalah remaja yang pernah ia selamatkan?
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Anya terdiam cukup lama, matanya masih menatap Adrian tanpa berkedip. Hatinya seperti ditarik ke dua arah yang berlawanan. Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya, ingin meraih kembali ketulusan pria di depannya. Namun luka pengkhianatan masih segar, masih menusuk.
“Aku… aku butuh waktu, Adrian.” Suara Anya serak, namun tegas. “Semua ini terlalu tiba-tiba. Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima semuanya begitu saja.”
Adrian menunduk, senyum getir tersungging di bibirnya. “Aku mengerti. Aku tidak akan memaksa. Tapi satu hal yang ingin kau tahu… aku tidak akan pergi lagi. Aku sudah menemukanmu, Anya. Dan apa pun yang terjadi, aku akan tetap di sisimu.”
Anya mengalihkan pandangan, mencoba menyembunyikan air matanya yang kembali jatuh. Tangannya masih memegang kalung bintang di dadanya, seolah benda kecil itu kini memiliki beban yang lebih berat dari sebelumnya.
Suasana di antara mereka hening sesaat, hingga suara bel pintu kafe kembali berbunyi—tanda pelanggan baru masuk. Anya buru-buru menghapus sisa air matanya, menegakkan tubuh, dan berusaha bersikap profesional.
“Aku harus kerja,” ucapnya singkat, berusaha melangkah pergi.
Namun sebelum ia benar-benar berjalan menjauh, tangan Adrian meraih pergelangan tangannya—kali ini dengan lembut, bukan memaksa.
“Anya…” Adrian menatapnya dengan mata penuh tekad. “Kau boleh marah, boleh membenciku, tapi jangan tolak keberadaanku. Jangan usir aku dari hidupmu. Karena sejak dulu… hanya kau satu-satunya rumah yang kucari.”
Degupan jantung Anya makin kencang. Kata-kata itu menusuk terlalu dalam. Ia ingin menjawab, ingin menolak, namun bibirnya tak mampu mengeluarkan suara.
Ia hanya bisa menarik tangannya perlahan, lalu bergegas menuju meja pelanggan, meninggalkan Adrian yang berdiri mematung di tengah kafe, dengan tatapan yang dipenuhi rasa sakit sekaligus harapan.
Malamnya, saat kafe sudah sepi, Anya duduk sendirian di kamar kecilnya di lantai atas. Tangannya menggenggam kalung bintang itu erat-erat, air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan.
“Adrian… atau Raka… siapa pun kau sebenarnya…” gumamnya lirih. “Kenapa harus aku yang jadi bagian dari rahasiamu?”
Sementara itu, di bawah, Adrian duduk di kursi pojok kafe yang gelap. Ia menatap kosong ke arah dapur, matanya sayu, tangannya mengepal di atas meja.
“Asal kau tahu, Anya…” bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku lebih takut kehilanganmu… daripada kehilangan segalanya.”
Ketukan pelan terdengar di pintu kaca kafe. Adrian yang masih duduk di sudut mendongak, sedikit terkejut ketika melihat sosok Andara berdiri di sana. Gadis itu melambaikan tangan singkat sebelum masuk.
“Andara? Malam-malam begini… kenapa kau ke sini?” tanya Adrian, suaranya serak.
Andara menatap kakaknya dengan sorot mata khawatir. “Aku bisa membaca wajahmu dari jauh, Kak. Kau terlihat kacau. mommy juga mulai curiga, tapi aku menutupinya. Jadi aku kemari.”
Adrian terdiam, lalu tersenyum getir. “Kau selalu terlalu peka.”
Langkah kaki terdengar dari tangga kecil di sudut kafe. Anya muncul, membawa segelas air, terkejut melihat Andara ada di sana.
“Andara? Kau… apa yang kau lakukan di sini?” tanya Anya, bingung.
Andara menoleh, tersenyum lembut. “Aku datang karena kakakku.”
“Kakakmu?” Anya mengerutkan kening, tatapannya langsung beralih ke Adrian.
Adrian menarik napas panjang. Kali ini ia tidak ingin lagi bersembunyi. “Ya, Anya. Andara… adalah adikku. Adikku kandung.”
Hening sejenak. Anya terpaku di tempatnya, sulit mencerna.
Andara melangkah maju, menatap Anya penuh ketulusan. “Kak Adrian mungkin tidak bisa mengatakannya dengan benar karena takut. Tapi aku ingin kau tahu… dia sudah mencarimu begitu lama. Lebih lama daripada yang bisa kubayangkan.”
Anya menggigit bibirnya, menahan gejolak dalam dadanya. “Tapi kenapa harus… menyamar? Kenapa harus semua ini dilakukan dengan cara berbohong?”
Adrian hendak menjawab, tapi Andara mendahului. “Karena kakakku ingin dicintai sebagai dirinya sendiri, bukan karena nama besar keluarga kami. Sejak kecil, Kak Adrian terikat oleh banyak hal peran, tanggung jawab, beban. Hanya saat bercerita tentangmu, dia terlihat seperti dirinya sendiri.”
Anya terhenyak. Matanya bergetar menatap Adrian, yang kini hanya menunduk dengan rahang mengeras.
Andara melangkah lebih dekat, menggenggam tangan Anya. “Kau tahu, Kak Adrian tidak pernah berhenti membicarakan satu hal sejak kecil—tentang seorang gadis kecil yang berani menolongnya saat ia hampir diculik. Tentang kalung bintang yang ia berikan sebagai janji. Dan tentang kue keju… hal sederhana yang selalu ia kaitkan denganmu. Aku bahkan sempat cemburu, karena aku merasa kakakku menyayangi gadis itu lebih dari siapa pun.”
Air mata mengalir di pipi Anya tanpa bisa ditahan.
Adrian akhirnya bersuara, suaranya berat tapi penuh kejujuran. “Aku takut, Anya. Takut kalau setelah semua usahaku menemukanmu, kau hanya akan melihatku sebagai Adrian si pewaris, bukan Adrian yang dulu pernah kau selamatkan. Itu sebabnya aku memilih nama Raka. Supaya aku bisa dekat denganmu tanpa bayang-bayang apa pun.”
Tangis Anya pecah. Ia menutup wajah dengan tangannya, tubuhnya bergetar hebat.
Andara memeluk bahunya pelan. “Kak Adrian mungkin ceroboh dalam caranya, tapi satu hal yang tidak pernah berubah… betapa besar cintanya padamu. Sejak dulu hingga sekarang.”
Adrian bangkit dari kursinya, melangkah mendekat. Matanya basah, namun tatapannya teguh. “Aku tahu aku tidak pantas meminta maaf lagi, Anya. Tapi cintaku padamu… itu nyata. Lebih nyata daripada semua kebohongan yang kubuat untuk melindungimu.”
Suasana hening, hanya tangis tertahan Anya yang terdengar.
Dalam hatinya, ia tahu luka itu masih ada. Tapi bersamaan dengan itu, kehangatan yang ia rasakan di antara dua saudara kandung itu perlahan melembutkan hatinya.
Bersambung
lgian,ngpn msti tkut sm tu nnek shir....
kcuali kl ada rhsia d antara klian....🤔🤔🤔