Rahasia Gym 24

Dani berdiri di depan pintu kamar hotel mewah lantai delapan. Tangannya sempat gemetar sebelum ia mengangkatnya untuk mengetuk. Tapi belum sempat jari-jarinya menyentuh kayu, pintu itu sudah terbuka.

Seorang wanita berdiri di ambang pintu. Perempuan itu mengenakan gaun satin berwarna biru gelap yang membentuk tubuhnya dengan sangat pas. Rambutnya digerai, dan bibirnya merah menyala.

“Masuk,” ucapnya pelan, namun tegas. Tatapannya tajam namun tak bisa disangkal, ada rasa tertarik di balik sorot matanya.

Dani menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan, lalu melangkah masuk.

"Aku Polwan," ucapnya sambil menutup pintu, "Tapi jangan salah. Di sini, aku bukan siapa-siapa. Anggap saja aku hanya wanita yang sedang... lelah."

Dani hanya tersenyum tipis. Dia sudah sering mendengar kliennya berkata begitu—menyembunyikan sisi gelap mereka di balik seragam dan jabatan. Tapi kali ini, entah kenapa, hati Dani terasa berat. Terutama sejak ia mulai mengingat siapa dirinya dulu. Sebelum semuanya berubah.

“Nama kamu Dani, kan?” tanya wanita itu sambil membuka sepatu hak tinggi yang membuat langkahnya tadi terdengar begitu angkuh.

“Iya, Bu.”

“Jangan panggil aku ‘Bu’,” sahutnya cepat. Ia melangkah lebih dekat, membiarkan aroma parfumnya mengisi ruang. “Panggil saja... Rani.”

Dani mengangguk pelan.

Rani duduk di tepi ranjang, menyilangkan kaki dengan anggun. Ia menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. “Kau tahu tugasku malam ini?”

Dani melangkah pelan, duduk di sampingnya. Ia mengangguk sekali lagi, walau dadanya berdebar. Ini bukan pertama kalinya, tapi setiap pertemuan dengan klien baru selalu membawa sensasi berbeda.

Rani meraih tangan Dani dan menaruhnya di atas pahanya yang hangat. Gerakannya pelan, penuh kendali, seperti sedang menuntun seseorang dalam latihan fisik—hanya saja bukan di gym, melainkan di ruang yang jauh lebih pribadi.

“Aku tidak hanya ingin dilayani fisiknya,” bisik Rani sambil menatap mata Dani. “Aku ingin merasa... hidup. Bisa kau lakukan itu?”

Dani menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Saya akan berusaha sebaik mungkin.”

Tanpa perintah lagi, Rani mulai mendekat. Jemarinya menyentuh wajah Dani, mengusap pelan seolah ingin mengenali bentuk rahangnya, pipinya, bibirnya. Sentuhan itu ringan, tapi cukup untuk membuat napas Dani tercekat. Rani memang bukan wanita biasa. Ia tahu bagaimana mengendalikan situasi, bahkan tanpa suara.

Dani membalas dengan perlahan, mengelus punggung Rani dengan lembut. Tubuh wanita itu terasa hangat, dan detak jantungnya bisa dirasakan menembus kain tipis gaun yang dikenakannya. Mereka saling mendekat, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Lampu kamar hanya tersisa satu, lampu sudut dengan cahaya kekuningan yang remang. Rani menunduk, menyandarkan dahinya di bahu Dani.

“Tak banyak yang tahu siapa aku di luar sana. Tapi di sini... aku cuma ingin jadi perempuan biasa,” katanya lirih.

Dani tak menjawab. Ia hanya memeluk tubuh Rani perlahan, dengan kehangatan yang tidak dibuat-buat. Ia tahu, ini bukan hanya tentang ‘layanan’. Banyak dari kliennya mencari sesuatu yang lebih: pelarian, keintiman, kadang... rasa tenang.

Sampai malam beranjak larut, Dani dan Rani tetap dalam dunia kecil mereka. Tidak ada suara keras, tidak ada tuntutan kasar. Hanya bisikan, sentuhan pelan, dan helaan napas yang tercampur dengan kehangatan tubuh satu sama lain.

Ketika semuanya selesai, Dani membantu Rani berbaring dan menyelimuti tubuhnya.

“Terima kasih,” ucap Rani pelan. Matanya mulai terpejam. “Kau berbeda…”

Dani hanya tersenyum samar. Dalam hati, ia ingin mengatakan bahwa ia seharusnya tidak ada di sini. Bahwa ia dulunya seorang mahasiswa kedokteran, bukan pemuas kesepian. Tapi semua itu hanya tinggal kenangan.

Ia bangkit pelan, mengambil pakaiannya, dan bersiap keluar kamar. Namun sebelum menutup pintu, ia menoleh sekali lagi. Rani sudah tertidur.

Dalam hati Dani berkata, "Berapa lama lagi aku harus bertahan seperti ini? Dan kapan semua ini akan berakhir?"