Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Setelah banyak baju yang aku coba. Akhirnya aku memutuskan mengambil blazer dengan rok midi. Tidak ada warna mencolok, aku memakai warna kalem agar tidak terlalu kentara. Setidaknya aku lebih percaya diri dari pada tadi saat Mada mengatakan akan ke rumah orang tuanya.
Setelah Mada setuju. Kami keluar dari butik, masih dengan karyawan yang sama dan bukan wanita bernama Tia itu. Sebelum ke mobil, aku menahan tangan Mada. Tidak mungkin aku datang ke rumah orang tua tanpa membawa apapun.
Dulu, aku membawa beberapa barang mahal yang aku dapat dari menabung tapi ujung-ujungnya di ejek. Barang itu tidak berguna, lalu aku harus apa sekarang. Uang saja Mada yang memberikan padaku, mau membeli barang bermerek dengan harga fantastis pasti sudah biasa untuk keluarga Wijaya.
"Ada apa?" tanya Mada yang melihatku hanya diam di tempat.
"Itu, Aku ..."
"Aku sudah siapkan. Lihat," Mada melihat ke dalam mobil. Aku juga menoleh ke arah yang sama. Benar, di sana sudah ada beberapa barang.
"Aku belum siap."
"Tidak perlu siap. Kau sudah jadi istriku, itu sudah cukup."
Akhirnya aku memberanikan diri masuk ke mobil. Mada terlihat begitu tenang, sementara aku, aku benar-benar gelisah saat ini. Bayangan penolakan-penolakan yang sudah aku alami kembali terbayang. Bagaimana mereka menghinaku dan menatapku jijik.
Mada tiba-tiba memegang tanganku dengan erat. Dia membuat aku tenang, setidaknya aku tidak lagi memikirkan semua penolakan yang telah lalu. Aku bukan Heera yang dulu lagi, saat ini aku adalah Heera Zanita Wijaya. Aku tidak boleh lemah lagi.
Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri jika aku bisa melewati semuanya. Aku sudah tidak sendiri, ada suamiku yang saat ini berjalan di sisiku. Aku yakin, Mada Wijaya berbeda dari pria lain di luar sana.
Perlahan mobil mulai memasuki gerbang rumah yang tinggi. Di mana ada beberapa penjaga keamanan yang bertugas di sana. Begitu mobil lewat, mereka semua menunduk hormat.
Baru setelah masuk ke depan rumah. Aku mengeratkan genggaman tanganku pada Mada. Jika aku bisa lari saat ini, mungkin aku akan memilih lari dan bersembunyi.
Setelah mengatur nafas akhirnya aku turun dari mobil. Kembali Mada menggenggam tanganku. Kali ini genggaman tangan itu terasa begitu erat.
Pintu terbuka. Bukan ruang tamu yang terlihat. Melainkan sebuah lorong yang cukup panjang di mana di kedua sisinya ada bermacam-macam vas dan lukisan.
Suara langkah kaki terdengar jelas di sana. Baru saat di ujung lorong ruang tamu yang luas terlihat. Masih dengan banyak vas juga lukisan. Bahkan dibeberapa tempat memiliki tanaman hidup yang terawat.
Dua orang tengah duduk dalam satu sofa, salah satunya adalah Ayu, ibu tiri Mada pastilah di sisinya ayah dari Mada, Aji Wijaya. Satu lagi duduk tidak jauh dari mereka, aku mencoba mencari tahu siapa dia sampai dia menoleh. Elvi, ternyata wanita itu yang berada di rumah ini.
Kali ini aku jelas akan menjadi orang ketiga. Sudah tentu kehadiranku tidak akan disambut dengan baik. Apa lagi Pak Aji dan Ibu Ayu sudah menatapku dari atas sampai bawah. Sudah tentu setelah ini mereka akan menguliti diriku.
Rasa takut dan gelisah itu hilang entah kemana. Kini, aku sudah siap untuk dicerca mereka. Bahkan jika kalimat hinaan hadir dari mulut mereka, aku sudah tidak peduli lagi. Aku menoleh pada Mada, pria itu terlihat datar saat ini. Sampai kami duduk di depan Pak Aji dan Ibu Ayu.
"Kau bodoh Mada. Sudah aku carikan wanita yang cocok untukmu. Kau malah mencari wanita sembarangan untuk menjadi istrimu," kata Pak Aji begitu kami duduk.
Aku sekilas melirik pada Elvi. Wanita itu tertawa senang karena Pak Aji membelanya. Namun, aku tidak sesabar itu sekarang.
"Aku hanya ingin Heera. Tidak ada yang lain."
Pak Aji tertawa. Membuat aku dan yang lain merasa aneh.
"Dulu, kau begitu ingin menikah dengan orang mati. Anak sahabat ibumu, sekarang kau mengatakan hanya ingin dia."
Mada diam, tapi tangannya masih menggenggam tanganku dengan erat.
"Kau tidak ingin mengenalkan dirimu?" tanya Ibu Ayu dengan senyuman.
Padahal dia sudah tahu saat datang ke apartemen Mada saat itu. Apa dia sedang mencoba bodoh di depan Pak Aji. Menyebalkan.
"Nama saya Heera Zanita. Saya ...."
"Ulangi nama kamu," kata Pak Aji membuat aku kaget.
Mada mengangguk padaku dan dengan isyarat mata dia memintaku tenang.
"Heera Zanita."
"Kebetulan dari mana ini?" lirih Pak Aji tapi masih bisa di dengar orang di dalam ruangan itu.
"Ada apa?" tanya Ibu Ayu sembari memegang lengan Pak Aji.
"Tidak ada."
Elvi mungkin juga penasaran, tapi dia hanya bisa duduk diam saat ini. Mungkin dia berharap saat ini aku dihina dan diusir. Sayangnya, hal itu tidak terjadi sama sekali.
"Mada, makan malamlah di sini dengan istrimu. Papa mau istirahat dahulu," kata Pak Aji yang berdiri diikuti oleh Ibu Ayu.
"Baik, Pa."
Begitu orang tua Mada pergi Elvi menatapku dengan tatapan tajam. Jika saja dia sedang di areanya mungkin dia sudah menyerang diriku. Sayangnya tidak bisa, ada Mada yang masih setia di sisiku.
"Nona Elvi. Nyonya Ayu meminta anda untuk pulang lebih dulu," kata seorang pelayan yang datang dari lantai dua.
"Kenapa?" Elvi tampak tidak terima karena dia diusir.
"Saya tidak tahu, tapi anda diminta untuk pulang lebih dulu."
Tidak mengatakan apapun. Elvi keluar dengan tangan yang mengepal erat. Sesaat dia melirik diriku, namun aku hanya mengulas senyum tipis padanya. Aku ingin melihat sejauh mana Elvi bisa mendekat padaku. Apa lagi saat dia tahu siapa diriku sebenarnya.
Lelah duduk di ruang tamu yang sunyi itu. Akhirnya Mada membawaku ke dalam kamarnya di rumah itu. Tertata rapi dengan banyak foto di sana. Bahkan ada beberapa foto di mana Mada dan ibunya tengah menikmati liburan. Begitu dekatnya Mada dengan Ibu Rima.
Aku menikmati semua foto-foto itu sampai saat Mada memelukku dari belakang. Aku diam, sudah beberapa kali Mada bersikap manja padaku. Namun, aku tidak tahu harus bersikap apa. Bukan karena aku tidak suka, tapi aku takut salah menerima sinyal dari Mada.
Jika benar dia mencintaiku, aku akan sangat bahagia. Namun, jika dia hanya menganggap aku istrinya dan tanpa cinta diantara kita itu akan sangat memalukan bagiku nantinya.
"Jadilah rumahku," lirih Mada.
Aku hanya diam. Mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Mada. Baru aku akan bertanya maksud dari kalimat itu. Pintu sudah diketuk beberapa kali.
Seorang pelayan datang meminta Mada untuk segera ke ruang kerja Pak Aji. Aku hanya diam dan melihat sembari duduk di tepi tempat tidur. Tidak lama pintu kembali di tutup. Mada mendekat padaku dan mencium keningku.
"Kau bisa lakukan apapun di sini, tapi jangan keluar kamar. Jika ada yang datang dan mengetuk tidak perlu di buka. Aku akan langsung datang ke sini jika sudah selesai."
"Iya."
"Menurutlah istriku."
Aku mengangguk kecil.