Terkejut. Itulah yang dialami oleh gadis cantik nan jelita saat mengetahui jika dia bukan lagi berada di kamarnya. Bahkan sampai saat ini dia masih ingat, jika semalam dia tidur di kamarnya. Namun apa yang terjadi? Kedua matanya membulat sempurna saat dia terbangun di ruangan lain dengan gaun pengantin yang sudah melekat pada tubuh mungilnya.
Di culik?
Atau
Mimpi?
Yang dia cemaskan adalah dia merasakan sakit saat mencubit pipinya, memberitahukan jika saat ini dia tidak sedang bermimpi. Ini nyata!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana_nanresje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14_Mereka, Siapa?
Daniel membukakan pintu mobil untuk istri dari Bos besarnya. Sebelum sampai dia terlebih dulu mengubungi Kaitle untuk memastikan jika Ramon berada di kantor.
" Terimakasih," Aya segera turun dari mobil itu dengan Kaitle yang menunjukkan arah jalan. Tapi setelah menaiki lift Aya meminta Kaitle untuk tidak lagi mengantarkannya karena Aya ingin membuat kejutan untuk suaminya.
Senyumnya terus mengembang sampai pintu lift itu terbuka, Aya keluar dari dalam Lift lalu berjalan di bawah lorong yang lumayan cukup panjang. Sampai akhirnya langkahnya terhenti tepat di depan Joel yang tengah mengerjakan tugasnya.
" Bu Aya," Joel bangkit, lalu sedikit menundukkan kepala memberikan hormat. Aya tersenyum tipis lalu berjalan mendekat kearah meja Joel.
" Pak Ramon ada?"
" Ada bu. Beliau sedang mengobrol dengan teman temannya." Melihat Aya mengerutkan kening Joel kembali membuka suara " Maksud saya dengan pak Zain dan pak Mian."
" Oh," Aya mengangguk mengerti " Sedang rapat atau....?"
" Tidak bu, hanya mengobrol biasa."
" Baiklah. Terimakasih untuk informasinya. Kalau begitu saya masuk dulu."
" Silahkan bu," Joel membimbing Aya menuju ruangan Ramon. Setelah sampai pada pintu berwarna cokelat tua, Joel terlebih dulu berpamitan karena sudah selesai melakukan tugasnya.
" Ketuk pintu atau langsung masuk?" Aya bermonolog " langsung masuk aja kali ya, kan mau ngasih kejutan." Tangan Aya mulai menyentuh knop pintu, perlahan pintu itu mulai terbuka dari depan. Tapi pergerakan tangannya terhenti saat gendang telinganya menangkap kata yang mengusik pikirannya.
" Jadi Kavin tidak lagi tinggal di mansion mu?"
Ramon mengangguk " Bahkan aku pun tidak tahu kapan dia meninggalkan mansion. Aya yang memberitahuku jika Kavin pergi ke apartemennya."
" Kenapa pergi ke apartemen diakan punya mansion, sangat disayangkan." Seru Mian.
" Kau ini seperti baru mengenal Kavin sehari dua hari saja" ucap Zain " Apa kau juga mendengarnya?" Ramon menggelengkan kepala saat pertanyaan itu tertuju padanya " Zahra dan Putri, mereka akan kembali siang ini."
" Kau serius?" Mian menarik punggungnya dari sandaran sofa, posisinya menjadi lebih tegak dan matanya lirik pada Ramon yang tengah menatap lurus kedepan " Apa yang akan kau lakukan?"
Ramon menoleh. Kali ini dia yang menarik punggungnya dari sandaran sofa " Aku akan meminta mereka untuk kembali ke mansion Kavin."
" Perkataanmu memang sangat mudah untuk di ucapkan Ramon, tapi apa kau yakin akan melakukannya? Jangan lupa Kavin menolak mereka." Ujar Zain mengingatkan.
" Aku tidak menyangka jika waktu yang selalu kita hindari akhirnya tiba juga," Kata Mian " Ramon kau ingat janjimu pada Azka bukan? Jangan pernah mengingkarinya karena aku sendiri yang menjadi mata dan tangannya sekarang."
" Kau mengancam ku?" Ramon menaikkan satu alisnya, matanya menatap tajam pada Mian.
" Aya sudah ku anggap seperti adikku sendiri. Jadi tidak salah bukan jika Aku menuntut keadilan darimu untuk dirinya?!"
Situasi semakin panas saat Mian tak segan untuk membalas tatapan Ramon. Zain yang berada di tengah tengah mereka merasakan aura yang berbeda " Ehem. Bisakah kalian sedikit lebih santai?"
" Aku tidak bisa bersantai jika sudah menyangkut Aya. Aku sudah berjanji pada Azka untuk menjaganya juga," Zain hanya bisa mengatupkan bibirnya. Kedua pria itu saling menatap kembali " Dia istri sah mu. Dan dia berhak akan dirimu!!"
" Tapi Putri dia ju....
" Apa?" Sela Mian memotong perkataan Zain " dia memiliki orang tua yang lengkap, lalu kenapa harus bergantung pada Ramon?"
" Aiss. Sepertinya kau melupakan sesuatu Mian. Putri itu....
" Cukup!" Kembali perkataan Zain terpotong dan kali ini Ramon lah pelakunya " lalu Apa maumu sekarang Mian?"
" Perlakukan Aya dengan Adil, hanya itu." Setelah menyelesaikan perkataannya Mian memilih untuk pergi dari ruangan Ramon. Sebelum Mian sampai pada pintu Aya terlebih dulu bersembunyi agar tidak ketahuan karena menguping pembicaraan mereka.
Aya tidak jadi masuk ke ruangan Ramon. Dia memilih untuk mengikuti Mian yang entah akan pergi kemana " Kenapa kak Mian berjalan dengan tergesa gesa? Aiss. Kau membuat langkahku terhambat!" Aya melepaskan heelsnya dan sedikit berlari untuk mengejar Mian.
" Tolong ikuti mobil kak Mian," Aya bergegas pergi meninggalkan kantor Ramon dan membatalkan kejutannya. Daniel berusaha sebaik mungkin dalam mengemudi untuk mengejar mobil Mian yang melaju dengan cepat.
" Jangan sampai ketinggalan," Seru Aya. Wanita itu terus memperhatikan mobil Mian yang berada beberapa meter di depannya. Entah pria itu akan pergi kemana, tapi Aya terus mengikutinya.
"Lho, lho. Kok berhenti?"
" Maaf bu lampu merah!"
" Yahh!" Aya mengesah panjang dengan mata yang menatap mobil Lian yang pergi menjauh di hadapannya. Banyak teka teki yang harus Aya pecahkan saat ini. Dan lagi obrolan mereka tadi membuat isi kepala Aya penuh dengan pertanyaan pertanyaan yang tiba tiba melintas di benaknya.
" Shit. Aku harus apa sekarang?" Aya menggigit kuku jari telunjuknya. Otaknya berusaha berfikir keras, langkah apa yang akan dia pilih untuk saat ini " Emm. Daniel?"
" Ya bu,"
" Apa kau mengenal Zahra dan Putri? Seperti apa hubungan mereka dengan suami saya?" Tatapan mereka bertemu melalui kaca spion depan mobil, Aya menanti jawaban Daniel tapi jawabannya tidak cukup memuaskan untuk di dengar.
" Maaf bu saya tidak tahu siapa mereka. Saya baru bekerja beberapa bulan ini." Benar Daniel tidak mungkin mengetahuinya, karena supirnya itu baru masuk setelah Aya sah menjadi istri Ramon. Lalu kepada siapa Aya bertanya? Ramon kah? Aya menggelengkan kepala, tidak mungkin dia menanyakan langsung pada Ramon.
" Tolong carikan saya tempat ngopi,"
" Baik bu." Daniel kembali melajukan Mobilnya saat lampu merah itu berubah menjadi hijau. Kepala Aya kembali pusing karena terlalu banyak teka teki yang memenuhi isi kepalanya. Dia berharap, setelah minum kopi nanti dia sedikit merasakan rileks.
Aya langsung memesan kopi kesukaannya setelah memasuki Cafe. Terlihat ramai dan penuh Aya berniat menikmati kopinya di dalam mobil. Namun langkahnya terhenti saat hazel hitamnya menangkap sosok manusia yang tak asing, Aya berjalan lalu menghampirinya.
" Kavin," Pria itu hampir tersedak minumannya karena Aya yang tiba tiba mengejutkannya " Wanita Apel?"
" Aya. Aya. Aya. Namaku Aya!" Dengan nada ketus Aya duduk di kursi tepat berhadapan dengan Kavin. Aya menyimpan kopinya lalu menyilangkan tangan di atas meja.
" Kenapa kau disini?"
" Menurutmu?" Aya memperhatikan Kavin luka pada wajahnya mulai memudar dan pria itu terlibat baik baik saja sekarang " Kau tidak bekerja?" Kavin menggelengkan kepala " Aku mengambil cuti untuk beberapa hari. Rasanya jenuh jika harus dihadapkan dengan berkas berkas setiap hari."
" Kau bekerja di kantor suamiku?"
" Huh? Kantor suamimu? Apa kau menghinaku? Meskipun aku tinggal di apartemen aku juga memiliki perusahan yang tak kalah besar dengan suamimu." Kavin terkekeh pelan merasa direndahkan oleh perkataan Aya.
" Aku hanya bertanya. Kenapa respon mu seperti itu? Kau salah paham."
" Terserah aku tidak peduli lagi. Di hadapan semua orang Ramon selalu yang terbaik, Ramon selalu tinggi dan Ramon selalu unggul dariku."
" Kavin aku menghampirimu bukan untuk berdebat apalagi bertengkar seperti sekarang. Aku hanya ingin minum kopi." Aya berusaha untuk mengakhiri obrolan berat mereka. Kavin terdiam lalu menyesap kopinya.
" Aku dengar kau punya mansion lalu kenapa kau tinggal di apartemen?" Aya berharap Semoga Kavin bisa menjawab pertanyaan pertanyaan yang melintas di benaknya. Hanya Kavin harapan Aya saat ini.
" Aku tidak butuh mansion."
" Tapi sayang jika tidak di tempati. Masih banyak orang di luaran sana yang membutuhkan tempat tinggal tapi kau mal....
" Terlalu banyak kenangan pahit yang tertinggal di mansion ku. Aku tidak bisa menempatinya."
" Em. Kalau banyak kenangan pahitnya kenapa kau tidak menjualnya lalu membeli yang bar...." Aya tidak berani melanjutkan perkataannya saat Kavin mengubah ekspresinya. Keduanya terdiam dengan pikirannya masing masing.
" Tidak semua kenangan pahit harus dilupakan Kanaya," Aya kembali terdiam untuk pertama kalinya Kavin memanggilnya dengan namanya " Biarkan tempat itu ada agar mengingatkanku pada kenangan pahit itu."
" Terkadang kita perlu menyimpan kenangan pahit agar tidak kembali mengulangi kesalahan yang sama!" Kavin menatap Aya, dari sorot matanya Aya dapat melihat penderitaan yang terpancar dari sana " Ma-maafkan aku karena sudah lancang berkata seperti tadi. Aku tidak tahu jik....
" Tidak apa. Terimakasih karena kau sudah mengingatkanku tentang kenangan pahit itu. Aku masih tidak mengira jika aku bisa bertahan sampai sekarang. Dulu hidupku sudah benar benar hancur."
" Tapi karena rasa kebencianku, akhirnya aku bisa bertahan sampai sekarang!"
" Kisahmu tak jauh berbeda denganku,Vin. Kau bertahan karena kebencian. Aku bertahan karena belas kasihan. Kenapa hidup serumit ini?" Kavin menegakkan punggungnya saat Aya mulai membuka diri, tanpa wanita itu sadari dia menceritakan kehidupannya " Kenapa kakakku menikahkan ku dengan sepupumu? Kenapa kakakku tidak mengijinkan aku untuk menyusulnya? Kenapa, kenapa aku harus dihadapkan dengan situasi seperti ini?"
" Kau tau apa yang aku rasakan sekarang? Menikah dengan orang yang selalu menatapku iba, itu sangat menyakitkan untukku. Tapi aku berusaha untuk bersikap biasa saja, aku mulai membiasakan diri hidup dengan belas kasihan mereka. Aku adalah beban, aku adalah parasit yang menempel pada mereka!"
" Kenapa kau berbicara seperti itu?"
" Itu kenyataannya!" Sangkal Aya " Jika mereka benar-benar peduli padaku, lalu kenapa masih ada rahasia diantara kami?" Kavin mulai merasa tidak ada yang beres dengan Aya. Wanita itu terlihat muram dengan mata yang mulai berkaca kaca.
" Kau baik-baik saja kan?"
" Tidak!" Aya menggelengkan kepala " Kalian membuatku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Kenapa, kenapa kalian menyembunyikannya dariku?" Setetes air mata keluar dari sudut matanya, Aya berusaha untuk menghalaunya namun lagi air asin itu meluncur dari sudut matanya.
" Sudah cukup hidupku hancur karena ikatan pernikahan. Sekarang apa lagi? Sebenarnya apa yang sudah terjadi di keluarga kalian? Kenapa kalian tidak terbuka padaku? Bukankah aku sudah menjadi bagian dari keluarga kalian? Lalu kenapa masih ada rahasia? Kenapa?"
" Tenangkan dirimu Ay, ini ditempat umum!"
" Kau kenal Zahra dan Putri bukan? Siapa mereka bagi Mondy?" Pertanyaan Aya membuat pergerakan tangan Kavin pada pipinya terhenti. Pria itu terlihat membantu dengan tatapan yang kembali berubah.
" Jangan menyebut nama mereka di hadapanku," Kavin memalingkan wajahnya tidak berani menatap Aya.
" See, kau pun berusaha menutupinya dariku. Apa sangat sulit untuk mengatakannya padaku? Aku hanya ingin tahu siapa mereka sebenarnya?"
" Aku tidak berhak untuk menjawabnya. Lebih baik kau pulang!"
" Tunggu Kavin!" Aya ikut berdiri saat Kavin hendak meninggalkan tempat duduk mereka " jangan memohon penjelasan dariku. Karena sampai kapanpun aku tidak bisa menjawab semua pertanyaan darimu Kanaya!"
Perlahan cekalan Aya mengendur lalu membiarkan Kavin pergi begitu saja. Lagi dan lagi Aya gagal menemukan petunjuk untuk memecahkan teka tekinya.
Aya berjalan gontai memasuki mansion. Berdebat antara hati dan logika membuat kepalanya ingin pecah " Rasanya aku ingin menghilang dari dunia ini." Aya memijat pangkal hidungnya berharap rasa nyeri di kepalanya segera menghilang.
Dugkkk
Raya berhenti saat menyadari jika dia telah menabrak sesuatu. Dan benar saja seorang gadis kecil tersungkur dihadapannya " Kamu tidak apa-apa?" Aya segera membantu anak kecil itu. Gadis kecil berambut kuncir kuda itu menggelengkan kepala lalu tersenyum kearahnya.
" Putri jangan lari-larian!" Teriakan dari dalam membuat gadis kecil itu segera menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Aya. Setelahnya datang seorang wanita dengan raut wajah yang lelah.
" Namamu Putri?" Gadis kecil itu mengangguk " Dia ibumu?" Gadis kecil itu kembali mengangguk " Dia memanggilmu, cepat temui dia." Tapi kali ini gadis itu menggelengkan kepalanya.
" Kenapa?" Gadis kecil itu tidak menjawab.
" Putri Ayo masuk kamu harus istirahat dulu sayang," Wanita itu berusaha membujuknya. Tapi sang anak tetap menyembunyikan tubuhnya.
" emm maafkan aku, sepertinya putrimu ingin bermain."
" Tapi kami baru landing. Dan dia harus istirahat!"
" Ya aku tahu. Tapi sepertinya dia masih memiliki energi yang cukup," balas Aya.
" Dia tidak sekuat yang kamu lihat. Aku ibunya jadi aku tahu seperti apa putriku!" Perkataan wanita itu membuat Aya bungkam tak bisa membalas " Cepat masuk putri, kalo nggak Mom panggil Pa...
" Papiiii!" Gadis kecil itu segera keluar dari persembunyiannya setelah melihat Papinya. Dia terlihat bahagia saat sang papi mencium gemas pipinya.
" Jangan nakal sayang, patuhi perkataan Mom, okey?" Gadis kecil bernama Putri itu mengangguk. Sang ibu mengambil alih anaknya dari gendongan sang Ayah lalu membawanya masuk kedalam.
" Apa ini Mondy, Papi?" Aya tertawa sumbang setelah hanya ada mereka berdua. Ekspresi Aya berubah drastis menjadi lebih dingin. Matanya menuntut penjelasan atas apa yang baru saja dia saksikan.
" Kau mempermainkan ku huh?" Teriak Aya meluapkan emosinya.