Setelah kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya dan membuatnya buta karena melindungi adiknya, pernikahan Intan dibatalkan, dan tunangannya memutuskan untuk menikahi Hilda, adik perempuannya. Putus asa dan tak tahu harus berbuat apa, dia mencoba bunuh diri, tapi diselamatkan oleh ayahnya.
Hilda yang ingin menyingkirkan Intan, bercerita kepada ayahnya tentang seorang lelaki misterius yang mencari calon istri dan lelaki itu akan memberi bayaran yang sangat tinggi kepada siapa saja yang bersedia. Ayah Hilda tentu saja mau agar bisa mendapat kekayaan yang akan membantu meningkatkan perusahaannya dan memaksa Intan untuk menikah tanpa mengetahui seperti apa rupa calon suaminya itu.
Sean sedang mencari seorang istri untuk menyembunyikan identitasnya sebagai seorang mafia. Saat dia tahu Intan buta, dia sangat marah dan ingin membatalkan pernikahan. Tapi Intan bersikeras dan mengatakan akan melakukan apapun asal Sean mau menikahinya dan membalaskan dendamnya pada orang yang sudah menyakiti
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon La-Rayya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan-jalan Berdua
Keesokan paginya, dokumen tiba untuk ditandatangani dan pembayaran dilakukan. Ketika Julian pergi ke rumah bosnya dan menyerahkan dokumen untuk ditandatangani, Sean merasa sangat bingung.
"Aku memintamu untuk membeli rumah, bukan sebuah makam." Ucap Sean.
"Tim sudah siap untuk renovasi, pasti sempurna. Kami tidak menemukan rumah yang sesuai dengan kriteria Anda, jadi saya harus melakukan keajaiban. Saya ingin Anda menandatanganinya segera agar pembayaran bisa dilakukan, kalau tidak, kita tidak akan punya cukup waktu." Ujar Julian.
"Kalau kau mengacaukan semua ini, aku akan menghabisi mu." Ucap Sean.
"Tidak, Pak." Jawab Julian.
Sean menandatangani surat-surat itu dan saat sekretaris itu pergi, dia melihat Intan menuju ruang tamu.
"Selamat pagi, Nona." Sapa Julian.
"Selamat pagi, sekretaris Ian." Jawab Intan.
'Sejak kapan dia memanggil Julian dengan sebutan Ian?' pikir Sean.
Dari ambang pintu ruangannya, Sean memperhatikan mereka berdua, dan ketika Julian pergi, dia mendekati Intan yang tengah duduk di sofa dengan ponsel di tangan dan tangan lainnya di dalam saku.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanya Sean.
"Oh, hai Sean. Aku tidak tahu kalau kau ada di sini, maaf. Aku sedang mendengarkan buku audio." Jawab Intan.
"Apakah kau tidak bosan membaca buku?" Tanya Sean.
"Memangnya apa lagi yang kau harapkan dariku?" Intan balik bertanya.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan?" Ucap Sean.
Tanpa berkata apa-apa, Intan sudah bersemangat, dan itu sangat menyenangkan hati Sean. Dia sudah mencari tahu beberapa hal tentang tempat-tempat yang khusus diperuntukkan bagi penyandang tunanetra, dan Sean ingin mengajak Intan kesana.
Minggu ini akan ada museum yang khusus dinarasikan untuk penyandang tunanetra, replika 3D dari beberapa objek dibuat agar bisa disentuh.
"Jalan-jalan? Tapi ke mana?" Tanya Intan.
"Kenapa kau tidak ganti baju saja?" Tanya Sean.
"Baiklah." Balas Intan.
Intan lalu bergegas ganti pakaian. Setelah bersiap-siap, dia mencium pipi Bi Lila yang sedang menyiapkan makan siang.
"Aku rasa kami tidak akan makan siang di rumah. Kami akan jalan-jalan." Ucap Intan tersenyum pada Bi Lila.
Senyum yang dia tunjukkan menular, dan Bi Lila senang karena mereka berdua semakin dekat dan akur.
"Kalau begitu pergilah, Nona. Akan lebih baik kalau bisa keluar rumah." Balas Bi Lila.
"Ya, aku senang sekali." Ucap Intan.
Intan lalu pergi ke ruang tamu dimana Sean menunggunya.
"Hai, aku siap." Ucap Intan.
"Kalau begitu ayo pergi." Balas Sean.
Intan mengulurkan tangan kepada Sean, dan Sean tersenyum, menautkan jari-jari mereka, yang membuat Intan sedikit tersipu. Mereka masuk ke mobil dan Sean melaju menuju museum.
Setibanya di sana, mereka masing-masing menerima headphone, dan kemudian suara itu mulai menceritakan semuanya, dan Intan tersenyum.
Sean menggenggam tangan Intan sedikit lebih erat.
Setelah kunjungan itu berakhir, dia pergi bersama Intan ke sebuah restoran yang juga diperuntukkan bagi penyandang tunanetra. Bahkan para pelayannya pun tunanetra. Sean juga tidak bisa melihat apa pun karena suasananya gelap gulita.
"Aduh." Pekik Sean.
"Apa yang terjadi?" Tanya Intan khawatir.
"Tulang keringku terbentur." Ucap Sean.
"Selamat datang di duniaku, haha." Balas Intan tertawa.
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Ucap Sean.
"Tentu." Jawab Intan.
"Soal kebutaan mu? Apa tidak ada cara untuk menyembuhkannya?" Tanya Sean.
"Papa pernah membawaku ke tiga dokter spesialis mata, dan mereka semua mengatakan hal yang sama. Benturan itu menyebabkan kerusakan parah pada saraf optik, sehingga mustahil untuk pulih." Jawab Intan.
"Aku mengerti, tapi apa kau yakin? Mungkin di luar negeri, kau bisa cari dokter spesialis yang bisa memperbaikinya, dan kau bisa kembali melihat." Balas Sean.
"Ingat apa yang kukatakan tentang harapan?" Ucap Intan.
"Intan, aku hanya ingin kau mendapatkan semua yang kau inginkan." Ucap Sean.
"Tidak seorang pun bisa mendapatkan semua yang diinginkannya." Balas Intan.
"Kau bisa, aku akan memastikannya." Kata Sean.
"Kalau kau terus bicara seperti itu, aku akan mulai berpikir bahwa kau jatuh cinta padaku, Pak Sean." Ucap Intan.
Sean terdiam, dan Intan merasa sedikit malu dengan apa yang dia katakan. Dia pun melanjutkan bicaranya.
"Haha, itu hanya candaan, santai saja." Ucap Intan.
Sean menggenggam tangan Intan dan berkata, "Aku tidak tahu apakah aku mencintaimu, Intan, tapi yang kutahu adalah aku peduli padamu. Aku ingin menjagamu, dan yang terpenting, aku ingin kau percaya padaku."
"Agar aku mempercayaimu, kau harus sepenuhnya jujur padaku, Sean." Ucap Intan.
"Dan aku akan jujur, biarkan aku selesaikan semua ini dan aku akan jujur padamu, aku janji." Balas Sean.
Piring mereka berdua pun tiba, dan Intan mulai makan, tapi suara-suara Sean membuat Intan yakin dia sedang tidak enak badan, sampai-sampai seorang pelayan pun menghampiri mereka.
"Apakah Anda butuh bantuan?" Tanya pelayan itu.
"Apakah aku bisa mendapatkan lilin atau senter untuk bisa melihat makanan?" Tanya Sean.
"Maaf, tapi ini sudah peraturan restoran ini. Ada baiknya Anda memahami bagaimana orang-orang tuna netra harus beradaptasi setiap hari." Jawab pelayan itu.
"Pelajaran moral yang hebat saat makan siang." Ucap Sean.
Intan tertawa kecil.
"Senang rasanya melihatmu bisa bersenang-senang." Ucap Sean.
"Aku begitu bersenang-senang. Sini, aku akan membantumu, bisakah kau memindahkan kursi kami agar lebih dekat satu sama lain?" Tanya Intan pada pelayan itu.
"Tentu saja." Balas pelayan itu.
Intan bangkit dan pelayan mendekatkan kursi-kursinya seperti yang diminta Intan, lalu dia duduk dan menyentuh lengan dan tangan Sean untuk membantunya. Ujung jarinya menyentuh bibir Sean dengan lembut. Sean memegang tangan Intan dan mencium ujung jarinya sambil berbicara dengan nada pelan.
"Aku sungguh berharap bisa melihat wajahmu sekarang!" Seru Sean.
"Tapi kau memang bisa. Kau bisa melihatku dengan cara yang sama seperti aku melihat semua orang sekarang." Ujar Intan.
Intan menggenggam tangan Sean dan membawanya ke wajahnya. Sean menyentuh Intan dengan lembut, hasrat untuk menciumnya begitu besar hingga dia cukup dekat hingga bibir mereka bersentuhan. Tapi di detik terakhir dia menarik diri, perubahan dalam napas mereka sungguh luar biasa.
"Aku lapar." Kata Sean sambil mencoba mengalihkan fokusnya.
"Baiklah, ini, pegang, sekarang pelan-pelan saja supaya tidak ada yang tumpah." Ucap Intan.
"Terima kasih." Balas Sean.
Mereka makan siang dalam diam setelah itu, dan setelah selesai, Sean membayar tagihan dan mereka berjalan-jalan. Mereka tiba di tepi pantai. Karena angin yang begitu kencang, jadi Sean melepas jaketnya dan melingkarkan nya di bahu Intan.
Intan kemudian memakainya, menariknya ke tubuhnya agar tetap hangat, parfum Sean menggelitik hidungnya.
"Terima kasih, tahukah kau bahwa aku suka mencium udara laut dan mendengar debur ombak di pasir." Ujar Intan.
"Aku pikir banyak orang menyukainya karena menenangkan." Balas Sean.
"Ya, tetapi aku menyukainya karena seolah-olah alam menyanyikan melodinya sendiri, tanpa suara kita yang keras dan tertekan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kebisingan lalu lintas, seolah-olah laut, pasir, dan angin bersatu dan menciptakan melodi yang sempurna dan itulah mengapa hal itu menenangkan." Ujar Intan.
Sean mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut Intan, dan setiap gestur yang dia ekspresikan dengan begitu alami.
Bersambung...