Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 14 Raffa Sakit
“Bi! Tolong bikinin wedang jahe, ya!” Meski tubuhnya sudah ditutupi hoodie dan celana panjang, Dzaka tetap menggigil. Sesekali suara bersinnya terdengar bersamaan dengan cairan kental di hidungnya yang membuat Dzaka kesulitan bernapas.
Sambil menunggu Bi Edah datang, Dzaka menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut yang hangat. Namun, getaran ponselnya membuat Dzaka memaksakan diri untuk mengeluarkan kepala dan mengulurkan tangan untuk menggapai ponsel itu.
“H-halo, Ka!” Suara di seberang terdengar begitu lirih dan helaan napasnya terdengar berat.
“Ka! G-gue ... kepanasan. Sesak.” Dzaka langsung beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil kunci motor dari laci nakas. Saat Dzaka bergegas turun, Bi Edah baru saja naik mengantarkan wedang jahe untuk Dzaka.
“Loh Den Dzaka mau kemana?” tanya Bi Edah yang heran melihat Dzaka sudah rapi dan terburu-buru.
“Dzaka harus pergi sekarang, Bi. Raffa sakit.” Dzaka mengambil helm dan sepatunya lalu melangkah ke luar.
“Bi! Tolong bikinin bubur buat Raffa ya, Bi. Nanti minta anterin sama Paman Janu aja. Sekalian sama tas dan pakaian sekolah Dzaka, Bi!” Sebelum berangkat, Dzaka menyempatkan diri menyalami Bi Edah.
Dzaka harus mendorong motornya ke luar gerbang agar tak diketahui oleh penjaga rumahnya. Meski udara dingin langsung menusuk kulitnya, Dzaka tak ingin mengalah. Membayangkan Raffa sendirian di sana saja sudah mengganggu pikirannya.
Butuh waktu setengah jam untuk Dzaka sampai ke rumah Raffa. Rumah minimalis yang terlihat begitu sederhana. Rumah yang hanya menjadi persinggahan saat Raffa maupun Pak Ahmad ingin menyepi dari segala hal yang menyibukkan mereka.
Dzaka membuka pagar dan memasukkan motornya ke halaman. Bukannya melangkah menuju pintu, Dzaka langsung mengetuk jendela kayu di samping teras. Tak lama, jendela itu terbuka.
Melihat Raffa yang terbaring lemas dengan bibir pucat dan kering, Dzaka langsung beranjak mengambil kompres. Dzaka terperanjat saat telapak tangannya menyentuh kening Raffa.
“Harusnya lo hubungin gue dari semalam, Fa!” Dzaka berujar kesal di tengah rasa khawatirnya yang begitu besar. Dengan telaten Dzaka mengompres kening Raffa agar panasnya turun.
Sesekali Dzaka akan memiringkan tubuh dan menutup mulutnya saat tak mampu menahan bersin. Rasa khawatirnya pada Raffa bahkan membuat Dzaka melupakan bahwa tubuhnya juga sedang tidak baik-baik saja.
“Ma! Mama!” Raffa mengigau seraya terus memanggil mamanya. Semakin lama, suaranya semakin lirih dan pilu. Dzaka terdiam melihat Raffa yang gelisah dalam tidurnya.
“Kenapa Mama ninggalin Raffa, Ma? Raffa kangen Mama. Raffa butuh Mama.” Cairan bening mengalir dari sudut mata Raffa. “Ma .... Raffa janji ... gak akan nakal lagi. Raffa kesepian.” Air mata terus mengalir dari sudut mata Raffa.
Dzaka menangis dalam diamnya. Raffa yang selalu ceria dan bisa diandalkan, kini terbaring lemah dengan wajah pucat dan suhu tubuh yang tinggi. Bahkan Raffa mengigau seolah mengutarakan rasa sepinya selama ini. Mamanya yang meninggalkannya demi karier dan papanya yang sibuk dengan tugas kepolisian dan Geng River.
Dzaka menggenggam tangan Raffa yang terasa panas. Dzaka bahkan mengusap lembut punggung tangan Raffa mencoba memberi ketenangan pada sahabatnya itu. Meski air matanya masih terus mengalir, Dzaka berusaha untuk menekan sesaknya.
Tanpa sadar Dzaka tertidur hingga suara ketukan di pintu depan membuatnya terbangun. Tubuhnya terasa sangat sakit saat diluruskan. Sebelum beranjak, Dzaka menoleh pada Raffa yang sudah tertidur pulas.
Baru saja Dzaka hendak melangkah, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Untung saja Dzaka sempat menggapai dinding. Mendengar suara ketukan yang semakin keras, Dzaka kembali melanjutkan langkahnya.
“Ini pesanan Tuan Muda.” Dzaka langsung mengambil tas yang diserahkan Paman Janu. Saat hendak berbalik, Dzaka mengingat sesuatu.
“Paman! Tolong antarkan Raffa ke rumah sakit dulu, ya! Tubuhnya panas banget.” Pria paruh baya itu pun mengikuti langkah Dzaka ke dalam kamar Raffa. Dengan hati-hati mereka memindahkan tubuh Raffa ke dalam mobil.
“Dzaka mau ganti baju dulu. Nanti Dzaka nyusul!” ujarnya seraya berlalu kembali ke kamar Raffa dan mengganti pakaiannya dengan seragam sekolah. Tak lupa Dzaka tetap membawa bubur buatan Bi Edah ke rumah sakit.
...----------------...
Dzaka baru saja melangkah menuju parkiran rumah sakit setelah memastikan Raffa baik-baik saja. Getaran di kantong celananya membuat Dzaka berhenti sejenak dan segera menerima panggilan itu.
“Ka! Ban motor gue bocor nih. Mana udah separuh jalan lagi. Bisa anterin Ziya ke sekolahnya gak? Gue takut gak keburu kalau nunggu gue nganter motor ke bengkel.”
“Kirim lokasi lo! Gue otw.” Dzaka memasang helm full face-nya dan beranjak menjauhi rumah sakit. Jalanan yang mulai padat membuatnya harus menyelip di antara kendaraan lain agar tak terlambat.
“Maaf ngerepotin lo, Ka!” ujar Tanvir sebelum Dzaka bergerak kembali menyelinap di tengah kerumunan dengan Ziya di belakangnya. Dzaka merasakan denyutan di kepalanya yang hampir membuatnya kehilangan keseimbangan.
Saat sampai di Earth High School, Dzaka menepikan motornya dan menurunkan Ziya. Melihat Ziya kesusahan membuka pengait helmnya, Dzaka ikut membantu. Sontak bisik-bisik mulai terdengar dari beberapa murid yang melewati mereka.
Wajah Ziya langsung tertunduk saat murid lain terang-terangan menatap ke arah mereka. Dzaka yang merasa iba spontan mengusap puncak kepala Ziya dengan lembut. “Gak usah didengerin omongan yang gak berguna kayak gitu,” ujar Dzaka seraya tersenyum di balik helmnya.
Saat Ziya sudah menjauh, Dzaka mendapat pesan dari Tanvir untuk memberi uang saku Ziya. Dzaka akhirnya menitipkan motornya di pos satpam dan melangkah memasuki SMA Jaya Bakti dengan berbagai tatapan yang mengikuti langkahnya.
Melihat keramaian membuat kepala Dzaka kembali berdenyut. Saat tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan, Dzaka memilih berhenti sejenak. Setelah dirasa lebih baik Dzaka kembali mencari keberadaan Ziya.
...----------------...
“Lo udah merasa hebat, ya?! Berani-beraninya lo deketin gebetan gue!” Dasi abu-abu gadis itu ditarik dengan kencang, membuat sang empunya merasa sesak.
“L-lepasin aku,” ujarnya patah-patah karena tenggorokannya terasa sakit. Bukannya berhenti, gadis-gadis lain malah ikut menarik tas sekolahnya.
“Anak baru aja belagu. Syilla yang udah lama ngegebet Bang Dzaka aja gak dilirik. Apalagi lo!” Gadis bernama Syifa itu membuat Syilla yang sedang menarik dasi Ziya mendelik tajam.
“Aku mohon ... berhenti!” lirih Ziya dalam rasa takut. Namun, ucapannya seolah tenggelam dalam kehebohan sekitar yang sedang menyaksikan penderitaannya. Mata-mata yang terus menatap penuh minat dan bibir yang terus melukai hatinya.
“Gue yang udah satu tempat les dari masuk SMA sampai sekarang belum pernah dibonceng dia. Bahkan Syifa yang jadi tetangganya aja gak pernah dibonceng Bang Dzaka. Tapi lo ... udah dua kali dibonceng dia!” Syilla menarik dasi Ziya semakin kuat.
Gadis lain memegangi tangan Ziya, hingga gadis itu tak bisa melonggarkan tarikan di dasinya. Ziya terduduk pasrah dengan kenyataan bahwa sebentar lagi mungkin dia akan kehabisan napas. Bahkan gadis itu hanya bisa meneteskan air mata dalam diamnya—isak tangis pun tak terdengar. Sakit yang dirasakannya saat ini terasa lebih menyakitkan.
“Lepasin Ziya!” Suara yang terdengar begitu dingin membuat Ziya memberanikan diri membuka mata.
“Bang Dzaka,” lirihnya dengan air mata yang terus membasahi pipi. Dengan pelan, cowok itu memindahkan Ziya ke belakangnya. Mata yang biasanya menyorot lembut dan hangat kini terlihat begitu tajam dan menusuk.
Semua orang dibuat terdiam hanya dengan tatapannya. Tak ada yang berani bersuara seolah merasakan aura mencekam di sekitar mereka. Tangan cowok itu terlihat mengepal, bahkan buku-buku jarinya memutih.
“B-Bang Dzaka,” ujar Syilla dan Syifa bersamaan. Mereka merasa ngeri melihat Dzaka yang sekarang. Bahkan tatapan Dzaka sangat mengintimidasi keberadaan mereka.
“Gue gak tau mau ngomong apa.” Suara Dzaka terdengar dingin. Setelahnya Dzaka membawa Ziya menjauhi kerumunan yang kembali heboh setelah kepergian mereka.
Saat berbelok ke koridor yang sepi, Dzaka merasa tubuhnya lemas. Tungkainya pun tak mampu menopang tubuh Dzaka. Sekitarnya terasa berputar, membuat kepala Dzaka semakin pusing. Hingga akhirnya pandangan Dzaka menggelap dan tubuhnya tumbang.
“Dzaka!”
“Bang Dzaka!”