NovelToon NovelToon
Rainy Couple SEASON TWO

Rainy Couple SEASON TWO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Enemy to Lovers
Popularitas:609
Nilai: 5
Nama Author: IG @nuellubis

"Ivy nggak sengaja ketemu sama kamu dan Nabilah. Kamu--sabtu kemarin itu--ketemuan kan sama Nabilah di Rainbow Caffee?!"

Sempet ada jeda sebentar, yang akhirnya Matias berbicara juga. "I-iya, t-tapi a-aku ng-nggak ka-kayak yang kamu pikirin. Aku sama Nabilah pun nggak ada hubungan apa-apa. Murni ketemuan sebagai temen. Aku cuman cinta sama kamu, Ke."

Ternyata Kezia masih mau memaafkan Matias. Berlanjutlah kisah cinta mereka. Hanya saja, jalan di hadapan mereka berdua semakin terjal.

Berikutnya, tidak hanya tentang Matias dan Kezia. Ada juga kisah Martin Winter dan Vanessa Rondonuwu. Pun, kisah-kisah lainnya. Kisah yang sama manisnya.

Terima kasih banyak yang sudah menyimak season one RAINY COUPLE di tahun 2020 silam. Kali pertama aku menulis novel di platform.

NOVEL INI PERNAH MELEDAK DI NOVELTOON DI TAHUN 2020 SILAM!

Season 1 Rainy Couple
(https://noveltoon.mobi/id/share/102447)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Martin dan Vanessa

Jakarta, malam hari. Langit masih menyisakan mendung tipis meski hujan sudah reda sejak sore. Lampu-lampu kota berpendar, memantul di aspal yang masih basah. Di sebuah kafe yang tak begitu besar di bilangan Mampang, terdengar suara tawa dan obrolan yang riuh. Kafe itu dipenuhi muda-mudi, mayoritas berbicara dalam bahasa yang sama--Manado.

Martin melangkah masuk ke dalam, matanya menyapu seluruh ruangan yang terasa hangat dan penuh kehidupan. Ia mengenakan kemeja denim dan jeans hitam, rambutnya sedikit berantakan karena angin malam. Di pojok dekat jendela, ia melihat Rio melambai-lambaikan tangan.

“Eh, Martin! Kase masuk, kong duduk di sini jo!” teriak Rio dengan logat Manado yang khas.

Martin tersenyum dan menghampiri, langsung disambut dengan pelukan singkat oleh Rio. “Ngana tambah gemuk, Bro,” sindir Martin.

“Ah, biar mo gemuk, asal bahagia,” sahut Rio sambil tertawa. “Duduk jo, duduk. Torang baru mo pesan makanan.”

Keduanya duduk. Pelayan datang membawa menu. Rio langsung memesan tanpa melihat daftar: kopi tubruk, panada, dan kue lampu-lampu. Martin ikut memesan kopi dan seporsi panada.

“Napa ngana bisa ada di Jakarta, Rio?” tanya Martin setelah mereka mulai menyeruput kopi mereka.

“Ah, torang su pindah tugas. Kerja di kantor pusat. Baru dua minggu di sini. Coba lia itu…” Rio menunjuk ke arah kerumunan di sisi lain ruangan. “Itu semua anak-anak Menado yang domisili Jakarta. Ada yang kerja, ada yang kuliah. Torang suka kumpul-kumpul begini tiap malam Sabtu. Biar tra lupa kampung halaman.”

Martin tersenyum. “Su lama juga tra dengar suara rame-rame bahasa Manado begini.”

Rio menyenggol bahunya. “Makanya ngana musti lebih sering kumpul jo. Jangan cuma simpan luka cinta, e.”

Martin mendecak. “Aduh, ulang-ulang lagi cerita lama. Tra abis-abis.”

“Eh, tapi kali ini, tra ada hubungan sama Celine itu. Torang mo perkenalkan ngana sama perempuan,” ucap Rio tiba-tiba, wajahnya penuh semangat jahil.

Martin menaikkan alis. “Perempuan mana?”

Rio memberi isyarat dengan dagunya ke arah seorang perempuan muda di dekat bar, sedang tertawa kecil bersama teman-temannya. Rambut panjang, kulit putih, dan mata yang menyiratkan rasa ingin tahu.

“Itu, namanya Vanessa. Dia pe mama orang Jakarta, tapi kakeknya dari Sangihe. Ngana tahu Sangihe, kan?”

“Aku tahu, lah, Sangihe di mana. Tapi napa musti dia?”

Rio terkekeh. “Cocok Vanessa sama ngana.”

Martin memutar bola matanya. “Cocok? Dari mana ngana tahu?”

“Dari firasat!” jawab Rio penuh percaya diri. “Ngana juga tra bisa terus-terusan begini. Tahu, lah, ngana masih simpan rasa sakit itu. Tapi sekarang waktunya kase buka pintu hati lagi.”

Martin tertawa kecil. “Aduh, Rio. Ngana su macam pendeta cinta, e.”

Rio berdiri. “Sabar jo. Torang panggil dia. Biar ngana kenal langsung. Okay, Brother?"

Martin belum sempat menolak, Rio sudah berjalan ke arah Vanessa. Ia melihat keduanya berbicara sebentar, lalu Vanessa menoleh ke arah Martin dan tersenyum. Martin buru-buru memalingkan wajah, sedikit canggung.

Tak lama, Rio kembali membawa Vanessa bersamanya. “Martin, ini Vanessa. Vanessa, ini Martin—teman lamaku, dari Manado juga.”

Vanessa menjabat tangan Martin dengan sopan. “Halo, senang kenalan. Torang biasa dengar nama ngana dari Rio.”

Martin menyambut jabatan tangan itu. “Senang kenalan juga. Rio ini memang suka cerita-cerita. Kadang ditambah-tambah.”

Mereka tertawa. Rio pura-pura tersinggung, lalu duduk sambil menyeruput kopinya. “Ngana dua saja yang ngobrol. Torang mau makan panada dulu.”

Obrolan pun mengalir. Vanessa bercerita soal pekerjaannya sebagai desainer interior di sebuah firma kecil. Tentang betapa ia baru-baru ini mulai mencari tahu lebih dalam soal akar keluarganya di Sangihe.

“Opaku dulu tinggal di Tahuna. Tapi waktu masih muda, dia merantau ke Bitung, terus ke Jakarta. Cuma cerita-cerita dia yang masih tersisa,” kata Vanessa sambil mengaduk kopinya.

Martin mengangguk. “Aku punya opa juga dari Bitung. Tapi, opa jauh, bukan yang dekat. Mama lahir di Menado. Jadi, aku sedikit-sedikit masih mengerti bahasa kita.”

“Kalo ngana, masih sering pulang Manado?” tanya Vanessa.

“Kadang-kadang. Terakhir tahun lalu, waktu ada acara keluarga. Tapi kadang rindu suasana kampung.”

Vanessa tersenyum. “Sama. Makanya senang sekali bisa ketemu banyak orang Sulawesi di sini. Apalagi bisa denger orang ngobrol pake bahasa Manado di Jakarta. Beda rasanya.”

Martin menatap Vanessa dengan lebih tenang. Obrolan ini tak terasa dipaksakan. Tak seperti percakapan-percakapan canggungnya dengan perempuan lain setelah Kezia. Ada sesuatu yang nyaman dalam tawa Vanessa, dan dalam cara dia bercerita tanpa perlu menonjolkan diri.

Di sisi lain meja, Rio mencuri pandang dan tersenyum puas. Ia lalu mengucapkan sesuatu dalam bahasa Manado sambil tertawa:

“Cocok skali Vanessa deng ngana. Bagitu jo, Martin! Ngana butuh orang yang nyambung, bukan yang tinggal di masa lalu.”

Martin menggeleng-geleng, tersenyum malu. “Rio, kalo ngana tra bisa diam, torang mo tinggal.”

“Tinggal sama Vanessa nda papa,” cibir Rio sambil terus tertawa.

Vanessa tertawa geli. “Kalo tiap kali kumpul begini, selalu ada yang dijodoh-jodohkan, yah?”

“Iya, itu memang misi tersembunyi Rio sepertinya,” ujar Martin.

Mereka bertiga tertawa bersama.

Malam makin larut. Tapi suasana hangat di kafe kecil itu tetap terjaga. Obrolan, tawa, dan nostalgia akan kampung halaman terus mengalir. Di tengah kota besar bernama Jakarta, Martin merasa untuk pertama kalinya dalam waktu lama, hatinya terasa ringan. Seolah, hujan dalam hidupnya mulai benar-benar reda.

"Martin, Martin.. memang sudah waktunya ngana membuka pintu hati buat perempuan lain. Cinta buta itu, ngana deng ngana pe sepupu."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!