Sepeninggal kedua orang tuanya, Dennis harus menggantungkan hidupnya pada seorang janda kaya bernama Vivianna. Sehari-harinya Dennis bekerja menjadi asisten pribadi Si Tante, termasuk mengurusi pekerjaan sampai ke keperluan kencan Tante Vivianna dengan berbagai pria.
Sampai akhirnya, Dennis mengetahui motif Si Tante yang sesungguhnya sampai rela mengurusi hidup Dennis termasuk ikut campur ke kehidupan cinta pemuda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
“Kamu kok bisa nge-blow rambut aku sampai segininya? Belajar dimana?” tanya Tante Vivianna saat kami dalam perjalanan pulang.
Aku hanya menghela nafas panjang.
Masih kepikiran karena dia membelaku di depan banyak orang.
Aku seperti anak kecil yang dimanja tantenya.
Mungkin karena aku kunjung mendapat jawaban, dan aku tetap menoleh ke samping sibuk dengan pemikiranku sendiri, ia mengelus rambutku untuk mendapatkan perhatianku.
Aku hanya menjauhkan kepalaku darinya.
Lalu fokus memandang jalanan.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku tidak langsung menjawab.
Lagi pula... mau jawab apa? Mau merajuk? Malu lah aku.
Chicken banget.
Dia tidak bicara apa pun setelahnya. Aku pun hanya diam karena lelah.
Pekerjaan kantor ini ternyata lebih menguras energi dibandingkan ekstrakulikuler mana pun di sekolah. Dulu aku sanggup seharian sampai tengah malam tidak pulang demi bisa berkumpul dan beraktivitas dengan teman-teman, sampai Bahar akhirnya pulang duluan karena energiku belum habis-habis.
Sekarang, baru saja maghrib badanku terasa pegal-pegal semua.
Apa karena perasaan kesal yang tertahan?
Aku tahu kalau aku diam begini, Tante mungkin akan salah paham terhadap tingkahku. Bisa-bisa aku dikiranya sedang marah dan tidak menghargainya.
Padahal aku diam karena sedang berpikir, apa yang akan kulakukan besok agar suasana bisa kondusif.
Aku dan Revan, bagaimana pun rekan sekerja.
Seperti kata seorang AKBP waktu aku ditangkap karena terlibat tawuran dengan SMA sebelah, bisa jadi orang yang kupukuli dengan gear itu besok-besok ketemu di kampus atau bahkan jadi teman seperjuangan di kantor. Atau bahkan... jadi atasanku.
Kita tak pernah tahu masa depan yang abu-abu.
Tak tertebak.
Bahkan seorang penulis novel, yang sudah memikirkan plotnya dari awal sampai akhir cerita dengan ending yang diperhitungkan secara seksama, saat jari ini mengetik tiba-tiba kalimat dari tokohnya berbeda dengan plot yang dirancang. Seakan jemari bicara sendiri, sesuai kemauan Sang Pencipta yang sesungguhnya, Yang memberi izin ide mengalir tak henti.
Aku tak ingin membebani Tante yang sudah berbuat banyak untukku, terlepas dari apa motif sesungguhnya.
Jadi saat mobil diparkir di garasi rumah, sebelum kami berdua keluar dari kendaraan besi itu, aku pun menghentikan gerak tante dengan menggenggam tangannya.
“Maaf kalau aku berbuat seenaknya hari ini. Besok aku akan coba mengendalikan diri.” Kataku dengan jantung yang berdebar karena, jujur saja, malu rasanya mengakui kesalahan.
Tante menghela nafas setelah kalimatku berhenti. Ia hanya mengangguk sekilas, lalu keluar dari mobil.
Aku mengikutinya setelah mengambil kabel colokan untuk mengecas mobilnya.
“Mau makan apa? Pesan gofood aja ya?” tanyanya dengan senyum tipis.
Yang kutahu, ia memaksakan senyum itu.
Mungkin ia sedang menahan sabarnya terhadapku.
Kulonggarkan dasiku, lalu kupeluk dia.
Dia hanya berdiri mematung.
“Maaf ya,” aku bergumam demikian. “Kami sama-sama emosi karena dulu itu berakhir tanpa penyelesaian. Kami berdua sama-sama diskors dari pertandingan dan setelah itu mendendam.”
“Hm...” Tante melepaskan pelukanku namun dengan lembut, lalu ia mengelus pipiku. “Masa muda, ya. Aku hanya khawatir kalau perusahaan tidak berkenan mempertahankan kamu. Lawan kamu bukan orang sembarangan, Dennis. Apalagi kalau sampai Pak Regi terganggu, semua pekerjaan saya bisa diacak-acaknya. Dan dampaknya terhadap kamu, akan kesulitan di masa depan saat mencari pekerjaan tanpa saya. Saya tidak bisa selalu ada di samping kamu. Ini adalah langkah awal kamu untuk memulai. Bayangkan kalau langkah awalnya saja tidak mulus, yang akan terjadi berikutnya sudah pasti sulit.”
Aku mengerti yang akan dia bahas.
Mundur selangkah untuk maju.
Etos dunia kerja.
Bukan untuk menjilat, tapi untuk bertahan.
Yang diperhitungkan di sini bukan harga diri, tapi manfaat diri.
Karena selama masih bekerja untuk orang lain, harga diri akan otomatis terinjak.
Yang kita lakukan agar diri ini berharga adalah... kita harus bermanfaat.
Tapi kalau masih sayang diri sendiri, tunjukan manfaat yang sesuai gaji saja. Tidak berlebih tapi tidak kurang. Tidak menonjol, tapi tidak tenggelam. Berusaha naik, tapi dengan kekuatan konsisten. Berusaha maju tapi dengan kecepatan stabil.
“Dennis, tidak ada ruginya mengaku salah. Dalam dunia kerja, Karma itu biasanya cepat terjadi. Orang yang merendahkan kamu karena kamu mengakui kesalahan, biasanya tidak akan dianggap baik oleh orang lain. Kalau bukan kamu, Orang lain yang akan menjegalnya. Di atas Direksi masih ada komisaris yang bisa memecatnya. Di atas komisaris, masih ada pemegang saham yang bisa menggulingkannya. Bahkan seorang Owner, pendiri perusahaan, bisa digulingkan manajemennya sendiri.”
“Aku ngerti Tante sayang, makanya aku minta maaf. Karena perdebatan yang tadi itu tidak berguna. Betul?” tebakku.
“Ya.” Tante Vivianna mengangguk.
“Karena itu Pak Regi marah? Karena kami mengganggu ketenangan bekerja orang lain atas kondisi yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.”
“Benar. Syukurlah kalau kamu mengerti.”
Karena masa lalu hanya dapat diambil pelajarannya, bukan untuk diperdebatkan kembali. Yang harus didiskusikan adalah masa kini supaya di masa depan, masa lalu tidak terulang.
Jadi sekarang, karena aku juga dalam rangka bekerja untuk si Tante, aku akan memulai taktikku.
Mundur untuk maju.
“Makan malam hari ini, aku yang traktir.” Aku mengelus pipinya. “Karena Tante sudah melindungiku.”
Gombal dikit nggak apa lah ya.
“Oke. Tapi tolong, jangan terlalu Red Flag banget kayak gini ya, aku jadi merinding. Lagakmu seperti aktor tahun 90an.”
“Kalau kupakai bahasa Gen Z, yang ada Tante emosi.” Gumamku sambil melepaskannya.
Aku kan hanya mengikuti alurnya.
Hanya menyesuaikan apa yang ia suka.
Semakin aku romantis, semakin merona pipinya. Bahkan merahnya hampir menyamai warna bibirnya.
**
Pagi itu setelah joging mengelilingi komplek 10kali karena aku harus meredakan amarahku, lalu pulang dan bersih-bersih rumah sembari menunggu keringatku ini kering, tak lupa sikat wc dan memperbaiki pintu toilet lantai dua, aku pun berdiri di luar rumah sambil merangkai dasiku.
Aku butuh udara segar karena nanti seharian aku akan menghirup AC sentral yang dinginnya nggak ngotak.
Ini Jakarta, loh... kenapa suhu di ruangan itu tak manusiawi?!
Aku mengerti AC sentral bisa menghemat daya listrik berkali-kali lipat dan masalah suhu disetel maksimal agar bisa menyebar ke seluruh sudut ruangan bahkan di ruangan yang jauh dari lubang AC sekalipun. Tapi tetap saja kepalaku jadi pusing setiap masuk ke dalam kantor.
Di depan rumahku, pintu depan rumah tetanggaku terbuka.
Seorang pria keluar dari sana sambil memanjangkan selang untuk menyiram tanaman.
Aku tersenyum sambil menundukkan kepala untuk menyapanya.
“Kamu siapanya Vivianna?” tanya si pria sambi memicingkan mata menatapku.
“Saudara jauh, Pak.” Jawabku. “Nama saya Dennis.” Aku menghampirinya sekedar basa-basi. Kami bersalaman ala pria. Jabatan tangan tegas dan profesional.
“Oh, saya Andra.” Kata Pria itu. Sepertinya usianya sekitar pertengahan 40an. Tampan dan tatapan sendu yang ramah. “Rumah yang ditempati Vivianna ini dulu rumah masa kecil istri saya loh.”
“Oh, Tante beli dari Pak Andra toh?” tanyaku.
“Begitulah, lebih tepatnya Vivi beli dari ibu saya. Pemiliknya sudah gonta-ganti sih. Vivi tidak mengubah struktur bangunannya, hanya menambahkan lantai atas. Saya belakangan sering dengar bunyi dak-dok-dak-dok dari atas.”
“Iya Pak, hehe.” Aku mengelus leher belakangku, “Maaf mengganggu, banyak yang harus diperbaiki.”
“Saya malah senang karena rumah ini dirawat. Terima kasih ya.” Pak Andra mulai menyiram tanamannya.
“Ayaaaaaah,” suara panggilan dari arah rumah. “Dipanggil Mama bantuin masak katanya buat bekel ke...”
Pemuda yang keluar dari dalam rumah itu.
Aku sangat kenal.
Kami bertatapan sesaat.
Dia langsung ambil selang dari tangan Pak Andra.
Reflek aku dengan sigap menghindari saat dia dengan kurang ajarnya berniat menyiramku pakai selang!
“Gue udah mandi, makasih!” seruku kesal.
“Kok masih bau prengus ya? Lu mandi pake apa? Oli? Macam kolor ijo?!” serunya menghinaku
“Kolor ijo tuh apa’an bangsat?!” seruku sambil kembali mundur ke arah beranda saat ia benar-benar menyiramku dengan air selang. “Lo siram gue pake air, gue hack password wifi lo buat donlot bo kep.” Ancamku.
“Lah saya yang rugi.” Gumam Pak Andra.
“Nape lu takut aer? Kena rabies kali lu ya, dari kemaren nge-gonggong melulu.” Ejeknya.
Si Revan ini... ada masalah apa sih sebenarnya, dia terus-terusan merong-rongku!
memancing di danau keruh
dan boom dapat ikan 🤣😂
ngerti kebiasaAne othor yg maha segala