Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Namun, saat ia melihat ke mata Revan, Aruna tahu bahwa dia tidak bisa lagi menjadi bagian dari dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan kecemburuan itu. Ia sudah memutuskan untuk tidak hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Namun, kenyataan bahwa Revan masih mencintainya membuat segalanya terasa jauh lebih sulit.
“Revan, aku…” Aruna tidak tahu bagaimana melanjutkan kata-katanya. “Aku… Aku tidak bisa kembali. Aku tidak bisa terus hidup dalam perasaan yang salah. Aku… aku tidak bisa kembali ke pelukanmu, karena aku tahu aku tidak akan pernah bisa menjadi siapa yang kamu inginkan. Aku sudah berubah.”
Revan terdiam sejenak, mencerna kata-kata Aruna. Mata Revan mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha keras untuk tetap tegar. “Aku tidak bisa menerima itu, Aruna. Aku akan berjuang untukmu. Aku tidak akan menyerah.”
Aruna merasa ada rasa sakit yang menggerogoti dirinya saat ia melihat betapa putus asanya Revan. Namun, meskipun ia ingin memberinya kesempatan, ia juga tahu bahwa cinta tidak cukup untuk membuat segalanya menjadi benar. Mereka sudah mencoba, dan akhirnya, mereka harus melepaskan.
Keputusan itu terasa seperti sebuah pisau yang mengiris hati, tetapi Aruna tahu bahwa ia harus mengikuti kata hatinya. Cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi tentang bagaimana dua orang saling memahami dan mendukung satu sama lain. Aruna tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang Revan, meskipun perasaan itu masih ada.
Saat Revan menundukkan kepalanya, Aruna merasa berat hati. “Aku minta maaf, Revan. Aku minta maaf jika ini menyakitkan, tetapi ini adalah keputusan yang aku rasa harus aku ambil.”
Revan mengangkat wajahnya, matanya masih basah oleh air mata yang tak tertahankan. “Aku akan tetap menunggumu, Aruna. Aku tidak akan pernah menyerah padamu.”
Aruna berdiri, merasa hatinya hancur oleh kata-kata Revan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terus terjebak dalam kebingungannya. Ia harus terus berjalan ke depan, meskipun jalan itu penuh dengan ketidakpastian.
“Maafkan aku, Revan,” kata Aruna, suaranya hampir tak terdengar. “Tapi aku harus pergi.”
Dengan langkah yang berat, Aruna berjalan keluar dari kafe, meninggalkan masa lalu di belakangnya. Di luar, udara terasa lebih segar, tetapi hatinya tetap merasa kosong. Ia tahu bahwa apa yang ia lakukan benar, meskipun itu adalah keputusan yang paling sulit yang pernah ia buat.
Di sisi lain, Rio menunggu dengan sabar, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aruna tahu, meskipun ia merasa cemas, bahwa ia harus menghadapi kenyataan dan melangkah maju—terlepas dari rasa sakit yang masih ia rasakan. Ia sudah membuat pilihannya, dan meskipun itu adalah pilihan yang sangat sulit, ia tahu bahwa inilah waktunya untuk menutup babak lama dan mulai memulai cerita baru.
Aruna menatap langit sore yang mulai berubah warna, merah keemasan. Udara yang dingin menyelimuti tubuhnya, tapi hatinya terasa lebih beku dari itu. Ia berdiri di balkon apartemennya, memandangi jalanan kota yang sibuk, namun pikirannya jauh melayang. Beberapa hari terakhir terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap malam, ia terjaga memikirkan pilihan yang harus diambil, terjebak antara dua pria yang sangat berbeda namun keduanya membawa perasaan yang sangat kuat dalam dirinya.
Revan, pria yang pernah menjadi segalanya bagi Aruna, kini berjuang keras untuk mendapatkan kembali hatinya. Setiap pesan, setiap kata-kata yang ia ucapkan, masih memiliki kekuatan yang mampu mengguncang dunia Aruna. Namun, meskipun ia merasa tergugah oleh setiap janji yang diberikan Revan, ada sesuatu yang Aruna tidak bisa abaikan perasaan yang semakin mendalam terhadap Rio.
Rio, lelaki yang selalu sabar menunggunya, memberi ketenangan yang selama ini ia cari. Cinta Rio adalah cinta yang lebih sederhana namun penuh pengertian. Rio tidak pernah meminta lebih dari apa yang ia bisa beri, tidak seperti Revan yang selalu mengharapkan semuanya kembali seperti dulu. Aruna tahu, meskipun Rio adalah pilihan yang lebih aman dan stabil, hatinya tidak bisa sepenuhnya menyerahkan diri tanpa merasa ada sesuatu yang hilang.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Aruna melihat layar, dan di sana tertera nama yang tak asing lagi. Revan. Entah mengapa, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ini adalah saat yang krusial, saat di mana ia harus membuat keputusan besar.
Dengan napas dalam, Aruna mengangkat telepon itu. Suara Revan di ujung sana terdengar cemas, tapi juga penuh harapan. “Aruna, aku tahu kamu masih bingung. Aku tahu kamu merasa terjebak, tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Aku akan datang ke tempatmu malam ini. Kita harus bicara, Aruna. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu.”
Kata-kata itu begitu kuat, seolah memaksa Aruna untuk kembali pada tempat yang telah lama ia tinggalkan. Namun, meskipun ada kerinduan yang menderu dalam dirinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke pelukan yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu.
“Aku tidak tahu, Revan,” jawab Aruna, suaranya terdengar terputus-putus. “Aku… aku tidak bisa terus hidup dalam perasaan yang tidak pasti. Aku tidak bisa terus menunggu untuk sesuatu yang mungkin tidak akan pernah ada. Aku sudah mencoba memberi kita kesempatan, tetapi aku merasa terjebak. Aku sudah berubah, Revan.”
Aruna terdiam, mendengarkan Revan yang mulai terisak di ujung telepon. “Jangan katakan itu, Aruna. Aku masih mencintaimu. Aku ingin memperbaiki semuanya, aku ingin kita bersama. Aku akan berjuang untuk kita, apapun yang terjadi.”
Revan, dengan segala keputusasaannya, terus berbicara, mencoba memohon agar Aruna memberinya kesempatan terakhir. Namun, Aruna sudah tidak bisa lagi mendengar kata-kata itu tanpa merasa sakit. Bagaimana ia bisa kembali ke dalam dunia yang penuh dengan kecemburuan dan ketidakpastian? Bagaimana ia bisa kembali ke dalam pelukan seorang pria yang lebih memilih masa lalu daripada melangkah maju bersama dirinya?
“Aku tidak bisa, Revan. Aku tidak bisa kembali ke kehidupan itu. Aku sudah mencoba, tetapi aku tidak bisa terus hidup dengan bayanganmu. Aku… aku harus melangkah maju. Aku harus memberi kesempatan untuk diriku sendiri,” ujar Aruna, merasa air mata mulai mengalir tanpa ia sadari.
Namun, Revan tidak menyerah begitu saja. “Jika kamu pergi, Aruna, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Kamu adalah satu-satunya yang aku punya. Jangan biarkan aku kehilanganmu selamanya.”
Kata-kata itu mengiris hati Aruna. Ia merasa seperti dihimpit antara dua dunia—satu dunia yang penuh dengan kenangan indah namun penuh dengan luka, dan satu dunia yang penuh dengan ketenangan namun juga ketidakpastian.
Namun, pada akhirnya, Aruna tahu apa yang harus ia lakukan. Meskipun hatinya masih terikat dengan Revan, ia harus memberikan dirinya kesempatan untuk berkembang, untuk menemukan kebahagiaan tanpa tergantung pada cinta yang selalu datang dengan penderitaan. Ia tahu bahwa tidak ada cinta yang seharusnya membuatnya merasa terkurung atau hancur.