Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Kedatangan Masa Lalu
Pagi itu kantor Kartanegara Beauty terasa lebih sibuk dari biasanya. Ada bisik-bisik yang menyebar cepat dari divisi satu ke lainnya, nyaris serempak seperti alarm tak resmi: tamu penting datang hari ini.
Tari baru saja meletakkan tasnya ketika Nana membisikkan dengan suara setengah bersemangat, setengah bergosip.
“Vanya datang.”
“Vanya?” tanya Tari, belum mengerti siapa yang dimaksud.
Nana melirik kanan-kiri sebelum menjawab, “Mantan manajer marketing paling glamor yang pernah ada di kantor ini. Sekarang dia punya agensi branding sendiri—dan katanya masih sering kerja sama sama perusahaan. Dan... dia mantan pacarnya Pak Gilang.”
Tari menoleh cepat. “Mantan?”
Nana mengangguk dengan ekspresi dramatis. “Dulu dia kayak Princess Indonesia. Semua orang bilang dia sempurna—cantik, pinter, kaya, gaya kayak sosialita. Tapi dia putus sama Pak Gilang pas tahu Gilang itu anak angkat. Gila harta, kalau kata orang-orang.”
Tari tercekat. Ia menoleh ke arah lift yang baru saja terbuka, dan seolah semesta menjawab, Vanya muncul dari balik pintu.
Dia memang tampak seperti yang digambarkan. Tinggi, langsing, mengenakan setelan blazer putih dengan tas Chanel menggantung di lengan. Rambut hitam legamnya digerai sempurna. Tumit merahnya berdetak pasti di lantai kantor. Bahkan aura parfumnya terasa mewah.
Tanpa bicara pada siapa pun, Vanya langsung berjalan menuju ruang kerja Gilang.
Dan Tari… hanya bisa menatap diam, ada rasa asing yang perlahan menyusup di dadanya.
Di dalam ruang kerja Gilang, Vanya berdiri dengan senyum menggoda.
“Kamu nggak kaget aku datang?” tanyanya sambil menjatuhkan syal tipis warna pastel di sofa.
Gilang menatapnya singkat, lalu kembali menatap layar laptop. “Kamu sudah janjian sama bagian kemitraan. Aku tahu kamu akan datang.”
“Masih dingin seperti biasa ya,” gumam Vanya sambil mendekat. “Padahal kita dulu pernah—”
“Dulu,” potong Gilang.
Vanya tertawa kecil, tangannya menyentuh lengan jas Gilang dengan gerakan manja. Tapi Gilang segera berdiri dan berjalan menjauh ke arah rak dokumen.
“Jangan mulai lagi, Van.”
“Aku cuma kangen,” ujar Vanya, suaranya diturunkan. “Aku bodoh waktu itu. Tapi aku tahu sekarang siapa kamu sebenarnya. Kamu lebih dari anak angkat. Kamu masa depan perusahaan ini.”
“Dan kamu tahu itu sekarang?” Gilang menoleh dengan senyum sinis. “Setelah kamu memilih pergi duluan?”
Vanya menggigit bibir, lalu berkata dengan nada setengah menyindir, “Kamu sudah punya yang baru?”
Gilang diam.
“Karena kamu mulai hangat ke seseorang?”
Masih tak ada jawaban.
Tapi di luar ruangan, tepat di balik kaca bening buram yang menghadap koridor, Tari lewat—dan Vanya melihat tatapan Gilang sekilas ke arah pintu.
Insting wanitanya langsung menyala.
Siang itu divisi kreatif mengadakan meeting bersama tim Vanya, karena mereka akan menggarap kampanye “Festival Bumi Nusantara” dalam eksekusi branding luar ruang dan media sosial.
Ruangan penuh oleh dua tim. Vanya masuk dengan langkah percaya diri, memperkenalkan timnya dengan bahasa korporat yang halus tapi menggigit. Suaranya merdu, aksennya seperti presenter talkshow, dan gaya bicaranya memikat semua orang.
“Masih luar biasa ya Mbak Vanya itu,” bisik Rega pada Tari.
Riska yang duduk tak jauh dari mereka, menambahkan, “Dulu dia kayak dewi di kantor ini. Semua yang dia pakai langsung jadi tren.”
Tari hanya mengangguk. Ia mencoba fokus ke presentasi, namun Vanya jelas bukan tipe yang bisa diabaikan begitu saja.
Beberapa menit kemudian, setelah memuji konsep dari tim kreatif, Vanya memutar kepala dengan gaya setengah dramatis dan berkata,
“Yang mana Tari?”
Ruangan seketika senyap.
Tari mengangkat tangan pelan. “Saya.”
Vanya menatapnya dari ujung kaki sampai kepala, lalu tersenyum tipis. “Pegawai magang, ya?”
Tari mengangguk. “Iya, Mbak. Belajar di divisi kreatif.”
Vanya mengangguk lambat, namun tatapannya… menilai. Seolah mencoba membaca sesuatu lebih dalam dari sekadar jawaban sederhana itu.
Setelah meeting selesai dan kerja sama disetujui untuk tahap pertama, semua orang bubar dengan suasana puas. Tari hendak kembali ke mejanya ketika Vanya menghampirinya sambil merapikan tasnya.
“Kamu rajin ya,” katanya. “Terus terang... kamu cantik juga. Sederhana tapi manis.”
Tari tersenyum sopan. “Terima kasih, Mbak.”
“Semoga kamu betah di sini,” lanjut Vanya dengan nada ambigu.
Dan dengan kilatan samar di matanya, Vanya pergi, meninggalkan wangi parfumnya dan sesuatu yang tak bisa didefinisikan—kecemasan yang tak langsung terasa.
Malam harinya, di ruang kerja Gilang, syal tipis Vanya masih tergeletak di sandaran kursi.
Asisten pribadinya sudah mengirim pesan bahwa Vanya beberapa kali menelepon dan mengirim pesan menanyakan syal itu.
Gilang tidak menjawab.
Ia tahu Vanya sengaja meninggalkannya.
Ia tahu kenapa.
Tapi ia sudah selesai.
Atau... setidaknya ia ingin percaya bahwa dirinya sudah selesai.
Ia menoleh ke layar laptop, mencoba fokus pada dokumen keberangkatan Bu Tirta ke Bali minggu depan. Tari perlu diberi pengarahan karena diminta ikut mewakili presentasi internal tim kreatif. Ia memutuskan untuk membahas itu langsung. Singkat, profesional.
Ketika ia berjalan ke lantai lima dan menemukan Tari masih di meja kerjanya, ia hanya berkata, “Ada yang perlu aku sampaikan.”
Tari bangkit dan mengikuti Gilang ke sudut pantry, di mana suasananya lebih tenang. Mereka berdiri berdampingan, membahas jadwal, rundown acara, dan pesan dari Bu Tirta.
Namun entah bagaimana, percakapan itu meluncur ke hal-hal ringan. Tari bercerita sedikit tentang pengalaman pertama menginjak Bali, dan Gilang tanpa sadar tertawa saat Tari menirukan gaya turis Korea yang ia temui di Ubud dulu.
Tawa mereka ringan, tapi jujur.
Dan di saat itulah, pintu lift terbuka di ujung lorong. Vanya masuk—masih dengan setelan elegan yang sama, mata penuh ketegangan, dan tatapan tajam langsung ke arah dua orang yang sedang berbicara dengan senyum di wajah mereka.
Langkahnya terhenti.
Pandangan Gilang dan Tari bertemu dengannya.
Dan dalam sepersekian detik, Vanya tahu.
Matanya menyipit.
Tangannya mengepal.
Ia tersenyum... dingin.
“Sepertinya aku datang di waktu yang salah,” katanya pelan, namun cukup keras untuk didengar.
Dan pada saat itu, suasana yang tadi hangat berubah tegang dalam sekejap.