"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membangun
Di teras rumah bu Sri yang sederhana namun hangat, tiga sosok tampak duduk dalam suasana yang cukup tegang. Kaan duduk tegap di kursi kayu panjang, sementara di hadapannya, Leyla dan Jonathan duduk dengan memasak ekpresi serius. Tatapan Leyla menusuk, seperti hendak menembus pikiran putranya.
Semua orang sedang sibuk. Bu Mita dan pak Aryo sudah lebih dulu masuk ke dalam, begitu pula dengan Murni bersama kedua adiknya yang ikut menyusul ke dalam, dan hanya menyisakan mereka bertiga di teras, terbungkus hening yang sedikit menekan.
Leyla akhirnya membuka suara. Suaranya tenang, tapi sarat ketegasan.
"Kaan, kami sudah berdiskusi soal rumah Murni, dan kami rasa-"
“Mom,” potong Kaan tiba-tiba, matanya menatap langsung ke manik mata ibunya. “Maaf menyela, untuk soal itu, sudah kupikirkan.”
Leyla tampak mengerutkan dahinya bersamaan dengan munculnya sedikit rasa senang di wajahnya. “Apa? Ulangi.” Ujarnya tegas.
Kaan menarik nafas dalam, lalu menjawab dengan suara yang mantap. “Aku sudah memikirkannya. Bahkan... aku memang berencana membicarakan hal ini dengan kalian. Aku ingin membantu membangun kembali rumah mereka.”
Hening sejenak. Lalu perlahan, senyuman tipis penuh kepuasan terukir di bibir Leyla. Matanya melembut, begitupun dengan tatapan tajamnya yang seketika berubah menjadi bangga.
Namun sebelum mereka sempat melanjutkan pembicaraan itu lebih jauh, suara lembut bu Sri tiba-tiba terdengar menyela suasana.
“Maaf, semuanya... sarapan paginya sudah siap. Ayo masuk dulu, sebelum makanannya dingin.” Ujar bu Sri sembari tersenyum ketiak bertemu tatap dengan Leyla.
Leyla menoleh dan ikut tersenyum sopan. “Terima kasih, bu Sri. Kami akan segera ke dalam.”
Sebelum beranjak, Leyla kembali menatap putranya. “Kami serahkan semuanya padamu, nak.”
Dengan langkah anggun, ia pun masuk ke dalam rumah, mengikuti bu Sri.
Jonathan menatap Kaan sejenak, lalu menepuk pundaknya pelan. “Lakukan yang terbaik.”
Setelah itu, ia pun menyusul istrinya, meninggalkan Kaan sendiri di teras, yang duduk dalam keheningan.
.
.
.
Ketika mereka selesai sarapan pagi dengan tenang meski terasa canggung di rumah orang lain, namun murni sebisa mungkin membantu bu Sri sedikit. Murni ikut membantu memasak dan juga membersihkan peralatan bekas memasak bersama kedua adiknya, sebagai bentuk rasa terima kasihnya pada kebaikan dari bu Sri yang mau menampung keluarganya.
Setelah semua orang selesai makan, Murni segera mengambil semua piring kotor, dibantu dengan kedua adiknya yang dengan sigap ikut membantu membawa piring-piring itu ke luar teras dapur di mana tempat bu Sri biasanya mencuci piring.
Ketika semuanya diam dalam pikiran masing-masing. Tibalah saatnya Kaan mengutarakan maksud rencananya pada pak Aryo dan bu Mita.
Jonathan dan Leyla hanya duduk di sudut ruangan, mengamati dengan tenang apa yang akan terjadi tanpa ikut campur.
Kaan menarik nafas sejenak, lalu membuka percakapan dengan suara yang lembut dan tegas.
"Pak, bu..." Tatapan pak Aryo dan bu Mita yang sempat tertunduk dengan pikiran berat, mendadak teralihkan ketika mendengar suara Kaan.
Tatapan mata Kaan tertuju kearah kedua mertuanya. "Begini, saya berpikir untuk membangun kembali rumah bapak dan ibu. And... Bapak dan ibu tidak perlu memikirkan soal biaya, material, tenaga kerja, semuanya. Kalian tidak perlu memikirkan hal itu, saya yang akan mengurus semuanya."
Bu Mita seketika menutup mulutnya, air mata perlahan menggenang di pelupuk matanya. Sementara Pak Aryo masih tak bergerak. Nafasnya terdengar berat, seolah tak percaya dengan hak tersebut.
“Nak... itu... itu terlalu besar... kami tidak bisa menerimanya begitu saja…”
Kaan menggeleng pelan. “Pak, saya tidak sedang memberi bantuan karena kasihan. Saya melakukan ini karena saya menghargai bapak, Ibu, dan keluarga kalian. Ini adalah bentuk rasa hormat saya. Tolong... izinkan saya melakukannya.”
Pak Aryo menunduk. Tangannya terkepal erat karena merasa senang sekaligus tidak enak serta rasa bersalah yang masih melekat di benaknya.
“Kenapa... kenapa kamu begitu baik pada kami nak?” Tanyanya dengan suara lirih, nyaris tak terdengar.
"Karena kalian sudah menjadi keluarga saya." Jawab Kaan singkat. Namun ucapannya itu membuat dada kedua orang tua itu bergetar.
Bu Mita melirik ke arah Leyla dan suaminya yang tampak menyunggingkan senyuman puas di belakang sana.
Leyla segera menyadari tatapan Mita, "Setujui saja." Ujarnya dengan pelan dan masih bisa didengarkan Mita.
Pak Aryo menatap Kaan dengan penuh bangga, ia tidak menyangka jika ia akan bisa diberikan menantu baik seperti Kaan.
"Baiklah nak, tapi jangan terlalu memaksakan diri, kalau kamu ndak mampu bilang saja dengan bapak." Ujar Pak Aryo.
"Tenang saja pak, Kaan pasti mampu." Celetuk Leyla sembari terkekeh.
Lalu Leyla mendekati Mita dan mengeluarkan handphonenya dari sakunya, ia mulai menggulir ponselnya lalu menunjukkan foto-foto rumah mewah ke hadapan Mita.
"Pilih saja bu, biarkan Kaan yang mengurusnya, kalian tinggal pilih model rumah seperti apa yang kalian mau." Ujarnya terdengar riang.
"Ya Allah, ini rumahnya terlalu mewah bu, saya mana berani bikin rumah mewah begini.... Yang sederhana aja." Ujar Mita terlihat tidak enak.
"Sshhtt, tenang aja, pilih aja ayo." Balas Leyla.
Akhirnya Leyla dan bu Mita tampak sibuk memilih model rumah yang akan mereka bangun, meskipun beberapa kali terdengar suara penolakan dari Mita yang tidak setuju dengan pilihan model rumah yang Leyla pilih.
Sementara pak Aryo tampak tidak nyaman, apalagi melihat istrinya yang tampaknya sudah heboh memilih model rumah yang besannya itu suguhkan.
"Nak, sekali lagi bapak ucapkan terima kasih." Ujar Aryo lalu mendekat dan memeluk Kaan.
"Yeah, sama-sama." Balas Kaan sembari ikut memeluk ayah mertuanya.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣