Perjalanan hidup Kanaya dari bercerai dengan suaminya.
Lalu ia pergi karena sebuah ancaman, kemudian menikah dengan Rafa yang sudah dianggap adiknya sendiri.
Sosok Angela ternyata mempunyai misi untuk mengambil alih harta kekayaan dari orang tua angkat Kanaya.
Selain itu, ada harta tersembunyi yang diwariskan kepada Kanaya dan juga Nadira, saudara tirinya.
Namun apakah harta yang di maksud itu??
Lalu bagaimana Rafa mempertahankan hubungannya dengan Kanaya?
Dan...
Siapakah ayah dari Alya, putri dari Kanaya, karena Barata bukanlah ayah kandung Alya.
Apakah Kanaya bisa bertemu dengan ayah kandung Alya?
Lika-liku hidup Kanaya sedang diperjuangkan.
Apakah berakhir bahagia?
Ataukah luka?
Ikutilah Novel Ikatan Takdir karya si ciprut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konfrontasi Dengan Tetangga Bawel
Sore itu, Kanaya baru selesai menjemur pakaian di halaman belakang ketika suara seseorang terdengar dari arah pagar samping.
“Mbak Kanaya!”
Kanaya menoleh. Di sana berdiri Bu Marni, tetangga paling vokal di kompleks kecil itu. Lengannya bersedekap, alisnya terangkat tinggi.
“Iya, Bu?” Kanaya mencoba tersenyum ramah.
Bu Marni melangkah mendekat, suaranya mengecil tapi tajam.
“Saya cuma mau ngingetin… di kampung sini orang-orang memperhatikan. Kalau perempuan tinggal serumah sama laki-laki… apalagi ada anak kecil… ya sebaiknya jelas statusnya.”
Kanaya membeku. Nafasnya tercekat.
Bu Marni lanjut bicara tanpa memberi ruang.
“Soalnya kasihan juga Mas Rafa… dia laki-laki baik. Jangan sampai namanya jelek gara-gara… keadaan yang tidak jelas.”
Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada yang diakui Kanaya.
Ia menggigit bibir, menahan diri agar tidak pecah.
“Saya… mengerti, Bu,” jawabnya lirih.
“Kalau memang belum menikah, ya bilang dari awal. Biar orang kampung nggak salah sangka. Atau… segera nikah saja. Kan ada anak juga.” Bu Marni menyeringai, seolah memberi saran terbaik di dunia.
Kanaya menunduk, telapak tangannya mengepal sampai kuku menyakitkan kulit.
Saat Bu Marni hendak lanjut bicara, suara langkah terdengar dari belakang.
Rafa muncul, masih memegang palu yang tadi dipakai memperbaiki pintu dapur.
“Ada apa di sini?” tanyanya. Tatapannya datar, bukan marah—tapi tidak lagi ramah.
Bu Marni tersenyum sok hangat. “Ah, Mas Rafa! Saya cuma ngobrol sama Mbak Kanaya. Kan sayang lihat kalian jadi bahan gosip.”
Rafa berdiri di sisi Kanaya, sedikit maju… postur tubuhnya melindungi.
“Baik, Bu. Tapi kalau ada yang ingin Ibu tanyakan, cukup tanya ke saya. Jangan menekan Kanaya.”
Nada suaranya tenang, tapi kuat.
Bu Marni terbatuk kecil, jelas tidak nyaman. “Saya hanya—”
“Saya tahu maksud Ibu baik,” potong Rafa. “Tapi kami punya urusan sendiri yang tidak wajib kami jelaskan pada siapa pun.”
Kanaya terpaku. Kata-kata Rafa seperti perisai yang berdiri kokoh di depannya.
Bu Marni mulai kikuk. “Y-ya sudah… saya cuma mengingatkan.” Ia mundur dengan cengiran kaku. “Saya pamit dulu.”
Bergerak cepat, ia pergi sambil melirik sekilas ke arah bayi di dalam rumah.
Begitu Bu Marni menghilang dari pagar, Kanaya melepaskan napas yang ternyata ia tahan terlalu lama. Matanya berair, campuran lega dan sakit.
Rafa menoleh, menatapnya lembut. “Kamu nggak apa-apa?”
Kanaya mengangguk pelan, tapi suaranya bergetar. “Aku… takut membuatmu malu.”
Rafa mendekat, menyentuh bahunya. “Tidak ada satu hal pun tentang kamu yang membuatku malu.”
Kanaya tidak bisa menahan air mata lagi. Ia menutup mulut dengan tangannya, menahan isak.
Rafa menariknya dalam pelukan, hangat dan kokoh.
“Aku ada di sini,” bisiknya. “Kalau dunia ingin mempertanyakanmu, biar aku yang jawab.”
Dalam dekapan itu, Kanaya untuk pertama kalinya merasa dibelah oleh seseorang, bukan dihakimi.
Sejak konfrontasi dengan Bu Marni sore tadi, suasana rumah terasa berbeda. Lebih sunyi… tapi juga lebih hangat.
Rafa membuatkan teh jahe untuk Kanaya. Ia meletakkannya di meja, lalu duduk di sofa, sedikit menjaga jarak—memberi ruang, tapi tetap ada untuknya.
Kanaya memeluk bantal kecil, menatap cangkir teh yang mengepul.
“Terima kasih… karena sudah membela aku,” ujarnya pelan.
Rafa mengangguk. “Aku tidak suka orang bicara seolah tahu semuanya tentang kamu.”
Kanaya menoleh. Pandangan mereka bertemu dalam cahaya temaram lampu ruang tamu. Rafa biasanya mengalihkan pandangan lebih dulu, tapi malam ini tidak.
“Aku hanya takut,” bisik Kanaya. “Takut kamu merasa menyesal… memilih ada di sisiku.”
Rafa memiringkan wajah, suaranya rendah, dalam, jujur.
“Aku tidak menyesal. Sama sekali tidak.”
Kanaya merasakan sesuatu meledak kecil di dadanya. Hangat. Menenangkan. Menakutkan juga.
Rafa ragu sebentar, lalu berkata, “Aku peduli sama kamu… lebih dari yang boleh aku tunjukkan.”
Kalimat itu membuat jantung Kanaya berdetak terlalu keras.
Perlahan, Rafa mendekat. Tidak memaksa—ia memberi waktu bagi Kanaya untuk mundur jika ia mau. Tapi Kanaya tetap diam… dan tidak pergi.
“Aku tahu kamu belum siap membuka hati lagi,” lanjut Rafa. “Aku tidak akan menekan. Tapi aku ingin kamu tahu… kamu bukan sendirian di sini.”
Kanaya menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Air mata mengumpul di pelupuk, bukan karena sedih—tapi karena lega.
Pelan, Rafa mengangkat tangan. “Boleh aku…?”
Kanaya mengangguk, hampir tak terdengar.
Rafa menyentuh pipinya. Lembut. Gemetar. Seolah ia takut merusak sesuatu yang rapuh.
Kanaya menutup mata, merasakan kehangatan sentuhan itu menyebar hingga ke hatinya.
“Aku ingin menjaga kamu… dan Alya,” bisik Rafa dekat telinganya. “Kalau kamu izinkan.”
Kanaya membuka mata. Mereka begitu dekat sekarang. Hanya sejengkal. Nafas mereka saling menyapa.
“Aku… aku juga ingin kamu ada,” jawabnya lirih. “Setiap hari.”
Rafa tersenyum kecil—senyum yang hanya muncul ketika ia benar-benar bahagia.
Untuk sejenak, dunia terasa berhenti.
Mereka saling mendekat—hanya tinggal beberapa sentimeter.
Tetapi kemudian…
Alya menangis dari kamar.
Keduanya langsung terhenti. Kanaya terlonjak kecil, Rafa tersenyum pasrah.
“Putrimu menyelamatkan kita dari keputusan impulsif,” ucap Rafa pelan sambil tertawa gugup.
Kanaya terbahak pelan, mengusap air matanya. “Atau menggagalkannya…”
Rafa berdiri, menatapnya sekali lagi sebelum berjalan mengambil Alya.
“Masih ada banyak waktu, Kak Nay” katanya sambil menggendong bayi itu. “Aku akan tetap di sini, sampai kamu benar-benar siap.”
Kanaya memandang mereka—dua orang yang kini menjadi dunianya.
Dan ia tahu…
Jika ada pria yang pantas untuk menerima cintanya lagi, mungkin itu adalah Rafa.
Pagi itu, suasana kampung yang biasanya ramah tiba-tiba terasa berat. Rafa baru saja selesai mengelap jendela bagian depan rumah, ketika suara sepeda motor berhenti tepat di depan pagar. Seorang pria paruh baya turun, mengenakan topi hitam dan map cokelat di tangan—Pak RW.
Rafa menegakkan badan. “Selamat pagi, Pak.”
Pak RW tidak membalas senyuman. Tatapannya datar menelusuri halaman rumah, lalu mengarah ke pintu yang masih terbuka—Kanaya berdiri di sana sambil menggendong Putri, wajahnya mulai cemas.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Rafa hati-hati.
Pak RW menghela napas pelan, nada bicaranya formal namun dingin.
“Begini, Mas Rafa dan Mbak Kanaya. Warga sini banyak yang… resah. Katanya kalian tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan. Ini kampung kecil. Kebiasaan kami masih memegang norma kuat.”
Kanaya menunduk, ibu jarinya menggenggam erat bahu Putri. Pipinya memanas, perasaan malu dan takut bercampur jadi satu.
Rafa maju setengah langkah untuk menutupi kegelisahan Kanaya.
“Kami tidak melakukan hal yang salah, Pak. Saya hanya membantu Kanaya dan Putri sampai semuanya… lebih pasti.”
Pak RW menaikkan alis, jelas tidak puas.
“Kalau begitu, tolong urus surat-suratnya. Keterangan penampungan, status keluarga. Kami butuh data yang jelas untuk pendataan RT. Biar tidak jadi pembicaraan.”
Nada terakhir itu seperti tamparan. Pembicaraan?
Omongan tetangga benar-benar sudah menjalar kemana-mana.
Putri menggumam kecil, mencari posisi nyaman dalam gendongan ibunya. Kanaya menatap Rafa sekilas, ada rasa bersalah—seolah kehadirannya justru menyulitkan.
Pak RW melanjutkan, “Kalau dalam dua minggu belum ada kejelasan, mohon maaf, mungkin kami harus memberikan surat peringatan. Kami tidak ingin hal-hal yang tidak baik terjadi di lingkungan ini.”
Rafa mengepalkan tangan di samping tubuhnya, berusaha menjaga nada bicara tetap hormat.
“Kami akan urus semuanya, Pak. Terima kasih sudah datang.”
Pak RW mengangguk kaku, lalu pergi tanpa basa-basi.
Begitu suara motor menghilang, Kanaya menutup pintu. Tubuhnya gemetar.
“Rafa… aku takut. Aku sudah merepotkanmu.”
Air mata mulai terbentuk di sudut matanya.
Rafa mendekat, menahan diri untuk tidak langsung memeluknya.
“Kamu tidak merepotkan siapa pun, Kak Nay. Kita akan hadapi semua ini. Bersama.”
Namun ucapan tenang itu tak sepenuhnya menghapus kegelisahan yang kini membayangi mereka. Tekanan sosial semakin kuat. Setiap langkah dan tatapan orang terasa menghakimi.
Dan dalam hati Rafa… ada keputusan besar yang mulai tumbuh.
Apakah yang harus diputuskan oleh Rafa nantinya?
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
kira2 gmn akhir dari kisah ini
hahh jd anak itu anak siapa alya kok bisa kanya sma barata dan kok bisa alya hamil hadeh kepingan puzel yg bener2 rumit tingkat dewa 🤣🤣🤣🤣
jawaban dr alya anak dia bukan kira2 kasih flash back nya kapan 🤣🤣🤣
jane apa.sih iki 🤣🤣🤣
ini cerita gak tembus retensi, keterlaluan si LUN itu gak bantu promosiin 😤😤😤
ini bukan genre konflik etika, tetapi horor/ misteri