NovelToon NovelToon
Aji Toba

Aji Toba

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Misteri / Epik Petualangan / Horror Thriller-Horror / TimeTravel / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:232
Nilai: 5
Nama Author: IG @nuellubis

Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.

Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.

Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.

Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tamu dari Seberang Selat

Malam belum sepenuhnya mengendap ketika sesuatu mengganggu kesunyian. Bukan angin. Bukan binatang. Jaka Kerub adalah orang pertama yang merasakannya. Yang merasakan getaran halus di tanah, seperti langkah yang sengaja disamarkan, tapi terlalu rapi untuk disebut kebetulan.

Jaka Kerub menghentikan kunyahannya.

“Aji,” kata Jaka Kerub pelan, nyaris tak membuka bibir, “jangan bergerak.”

Aji yang sedang meneguk air kelapa langsung membeku. Matanya mengikuti arah tatapan Jaka Kerub. Menuju gelap di balik pepohonan, ke jalur setapak yang siang tadi mereka lalui.

Api unggun berkerlap-kerlip, seolah juga merasakan kegelisahan Aji dan Jaka Kerub.

Langkah itu semakin jelas. Tidak tergesa. Tidak sembunyi total. Mereka yang datang justru tampak yakin tak perlu berlari. Dari balik bayangan muncul tiga orang. Laki-laki, semuanya. Tubuh mereka tegap. Pakaian mereka tampak aneh. Mereka seperti bukan pakaian penduduk sekitar, bukan pula seperti pasukan moderen dari beberapa tahun setelahnya. Kain gelap berlapis rompi tipis dari anyaman kulit, dan di leher masing-masing dari mereka, tergantung liontin berbentuk lingkaran dengan ukiran burung bersayap lebar.

Jaka Kerub berdiri perlahan. Tongkat kayunya tetap digenggam, ujungnya menyentuh tanah.

“Kalian berjalan terlalu berisik untuk seorang pemburu,” kata Jaka Kerubtenang. “Dan terlalu rapi untuk menjadi perampok.”

Orang di tengah melangkah maju. Wajahnya bersih. Rambutnya diikat ke belakang. Matanya tajam, yang memantulkan api unggun tanpa berkedip.

“Kami tidak datang sebagai musuh,” ujar orang itu. Suaranya datar, seperti sudah dilatih untuk tidak menunjukkan emosi. “Kami datang sebagai pewaris.”

Aji menelan ludah.

“Pewaris apa?” tanya Jaka Kerub.

“Warisan lama,” jawabnya. “Dari seberang Selat. Dari darah yang dulu mengendalikan arus dagang, mantra laut, dan jalur angin.”

Jaka Kerub menyipitkan mata. “Sriwijaya, kah, maksud kalian?"

Orang itu tersenyum tipis. Dua rekannya ikut tersenyum. Itu bukan senyum ramah, melainkan senyum orang yang tidak merasa perlu untuk membuktikan apa pun.

“Benar,” katanya. “Kami turunan beberapa petinggi kerajaan Sriwijaya. Apa yang gagal dilestarikan, justru kami simpan lewat jalur lain.”

Aji merasakan dadanya menghangat. Antara campuran marah dan takut.

“Kalau kalian pewaris, harusnya kalian paham,” kata Aji tiba-tiba, “bahwa keseimbangan tidak boleh dipaksa.”

Pandangan orang itu beralih ke Aji. Ia menatapnya lama, lalu tertawa pendek.

“Kau bicara seperti penjaga saja,” katanya. “Siapa kau lagi pula?”

“Seseorang yang tidak ingin dunia mengulangi kesalahan yang sama,” jawab Aji. "Apa itu salah?"

Jaka Kerub meliriknya sekilas. Ada kebanggaan yang tak sempat disembunyikan.

“Kalian sudah terlalu dekat,” kata Jaka Kerub dingin. “Tak sembarang orang bisa menemukan tempat ini.”

“Kami tidak sembarang orang,” jawab salah satu dari mereka yang sejak tadi diam. Ia mengangkat tangannya, menunjukkan telapak dengan luka garis melingkar. Seperti ada bekas sayatan lama. “Darah juga bisa menunjukkan jalan.”

Jaka Kerub menghela napas panjang. “Jadi, apa mau kalian?”

Orang di tengah melangkah lebih dekat. Api unggun kini memantulkan bayangannya di wajah Aji.

“Kami tahu kau melatih anak itu,” katanya. “Kami tahu ia kunci. Dan kami tahu perempuan bernama Sari masih hidup.”

Aji refleks maju selangkah. Tongkat Jaka Kerub menahan dadanya.

“Tenang,” bisik Jaka Kerub.

“Kami tidak menculik perempuan itu,” lanjut orang tersebut cepat, seolah ingin mencegah ledakan. “Itu kerja tangan-tangan kecil yang kami rasa ceroboh.”

“Lalu kalian sendiri apa?” tanya Aji geram.

“Kami ingin memastikan kali ini ritualnya berhasil,” jawabnya tanpa ragu.

Api unggun tiba-tiba meletup keras, seperti tersambar sesuatu yang tak terlihat. Aji terlonjak. Jaka Kerub menghentakkan tongkatnya ke tanah.

“Berhasil?” suara Aji mendadak berat. “Danau ini adalah bekas keberhasilan kalian, bukan?"

“Justru karena itu,” balas orang itu tenang, “kami telah belajar banyak. Dulu Sriwijaya meredup bukan karena kalah perang, tapi karena memutus diri dari sumber kekuatan lamanya. Kami tidak akan mengulang kesalahan itu.”

Aji tertawa pendek, getir. “Kalian menyebut pengorbanan yang lemah sebagai kesalahan kecil?”

Wajah orang itu sedikit mengeras. “Setiap peradaban lahir dari harga. Kalian hidup nyaman karena orang-orang sebelum kalian dikorbankan.”

Jaka Kerub melangkah maju. Api unggun seakan merunduk.

“Yang kalian warisi hanyalah kerakusan leluhur,” kata Jaka Kerub pelan tapi tajam. “Sriwijaya besar karena jaringan yang mereka bangun sendiri, bukan karena membuka pintu dunia lain.”

“Tapi, tanpa pintu,” jawab orang itu, “tak ada kendali atas Selat. Dan tanpa kendali, darah kami hanyalah cerita.”

Suasana menegang. Dua orang di belakang menyebar sedikit, membentuk setengah lingkaran.

Aji merasakan sesuatu bergerak di balik kulitnya. Itu seperti dorongan yang ditahan-tahan selama ini.

“Kalian datang terlambat,” katanya tiba-tiba. “Kami tidak akan menyerahkan siapa pun.”

Orang itu menatap Jaka Kerub. “Ia sudah mulai sadar.”

“Dan itu bukan urusanmu,” balas Jaka Kerub.

Orang itu mengangguk pelan. “Baik. Maka ini hanyalah kunjungan semata."

Ia memberi isyarat kecil. Kedua rekannya mundur selangkah.

“Kami akan bertemu lagi,” katanya. “Di tempat yang airnya asin dan suara masa lalu terdengar lebih keras.”

“Jika kalian menyentuh Sari,” kata Aji dengan suara bergetar namun mantap, “aku pastikan tidak ada ritual yang tersisa untuk kalian warisi.”

Selanjutnya, senyum orang itu menghilang.

“Kata-kata berani,” ujarnya. “Semoga kakimu cukup kuat untuk membawanya.”

Mereka berbalik, menghilang ke balik pepohonan, langkah mereka senyap seperti saat datang.

Hening kembali jatuh. Api unggun tinggal tersisa hanya bara.

Aji terduduk perlahan. “Kurasa… ini lebih besar dari yang kupikir.”

Jaka Kerub memandang ke arah Selat yang gelap, wajahnya keras.

“Sejak awal,” katanya pelan, “selalu begitu.”

Jaka Kerub menancapkan tongkatnya.

“Dan mulai malam ini,” lanjutnya, “kau bukan lagi sekadar murid. Kau sudah teringat dalam ingatan mereka.”

Aji mengangguk. Ketakutannya masih ada, tapi tekadnya jauh lebih kuat.

Di kejauhan, air dan angin bergesekan pelan. Itu seolah Selat itu sendiri sedang mendengarkan, untuk menilai siapa yang layak berdiri ketika sejarah mencoba membuka diri sekali lagi. Mungkin pula untuk menguji Aji pula. Apakah Aji benar-benar siap untuk petualangannya yang selanjutnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!