Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.13 Bayangan Di Lembah Roh Mati
Angin malam merayap perlahan di sepanjang lembah itu, membawa aroma kematian yang menyesakkan dada. Lembah Roh Mati — tempat di mana ribuan jiwa tersesat, tempat bahkan para roh penjaga pun enggan berdiam.
Xiau Chen berdiri di tepi jurang kelam itu. Di bawah sana, kabut keabu-abuan berputar seperti lautan roh yang kehilangan bentuk. Langit di atasnya tak menampakkan bintang, seolah langit pun enggan menyaksikan penderitaan yang terkubur di lembah tersebut.
Ia memejamkan mata.
Langkah demi langkahnya perlahan, tapi pasti. Di setiap jejak kaki, sinar lembut qi suci mengalir — menahan serangan energi roh jahat yang berusaha menyerap tubuhnya.
“Gerbang roh tanpa akhir… lembah ini benar-benar masih seperti dulu,” gumamnya lirih.
Sekilas bayangan masa lalu muncul dalam ingatannya. Di sinilah, ratusan tahun lalu, ia menutup segel terakhir untuk memerangkap sisi gelap jiwanya sendiri — sosok bernama Mo Tian, kekuatan kegelapan yang lahir dari keputusasaannya menjaga dunia.
Namun kini, segel itu mulai retak.
Suara tawa lirih menggema dari dalam kabut.
“Ha… ha… ha… Xiau Chen. Pendekar suci yang dulu mengorbankan segalanya demi cahaya. Lihatlah dirimu sekarang… kembali sebagai bocah cacat yang bahkan tak bisa menahan roh mati biasa.”
Langkah Xiau Chen terhenti. Tatapannya menajam — bukan pada kabut, melainkan pada suara yang datang dari dalam pikirannya sendiri.
“Mo Tian… kau akhirnya muncul,” ucapnya datar.
Kabut berputar semakin cepat. Dari pusaran kelabu itu, muncul bayangan manusia — sosok berpakaian hitam, wajahnya identik dengan Xiau Chen, hanya saja matanya merah darah, dan auranya penuh kebencian.
“Berabad-abad aku menunggu,” kata Mo Tian, suaranya berat namun menggema lembut. “Dan akhirnya, jiwa kita kembali satu dunia. Kau pikir bisa menyingkirkan aku hanya dengan segel roh? Kau hanya menunda takdirmu, Xiau Chen.”
Xiau Chen menarik napas panjang.
“Takdir? Takdir hanyalah rantai yang diikatkan oleh mereka yang takut kehilangan kendali. Aku sudah mati sekali, dan hidup lagi bukan untuk tunduk pada takdir.”
Ia mengangkat tangannya. Cahaya keemasan muncul di telapak tangannya, lalu perlahan berubah menjadi bentuk pedang panjang dari qi murni. Pedang itu bersinar lembut, tapi dari sinar itu terpancar tekanan luar biasa yang membuat kabut di sekitarnya tersibak.
“Pedang Cahaya Abadi…” bisik Mo Tian, matanya menyipit. “Aku masih ingat rasa sakitnya saat senjata itu menembus jantungku.”
“Dan aku masih mengingat bagaimana dunia hampir hancur karena ambisimu,” jawab Xiau Chen tegas.
Mo Tian tersenyum miring. “Ambisiku? Tidak, Xiau Chen. Aku adalah bagian dari jiwamu. Jika aku adalah ambisi, maka kaulah sumbernya. Aku lahir karena keinginanmu menyelamatkan dunia dengan cara yang tak manusiawi.”
Ia melangkah maju. Setiap langkahnya menggetarkan tanah lembah, membuat kabut menjadi gelap pekat.
“Bukan aku yang ingin menghancurkan dunia… tapi kaulah yang dulu percaya bahwa hanya kehancuran yang bisa melahirkan keseimbangan.”
Xiau Chen diam.
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk jantungnya.
Ia tahu, sebagian dari ucapan itu adalah benar. Dulu, di masa Perang Suci, ia memang hampir menghapus satu benua hanya demi menghentikan kelahiran sekte kegelapan. Saat itu, ia percaya pengorbanan adalah jalan menuju keselamatan.
Tapi kini, setelah hidup kembali sebagai manusia biasa, ia mengerti — cahaya yang terlalu terang pun bisa membakar.
Tiba-tiba Mo Tian mengangkat tangannya, membentuk pusaran energi hitam yang berputar cepat.
“Jika kau menolak kegelapanmu sendiri, maka biarkan aku mengingatkan siapa kita sebenarnya!”
Ledakan besar mengguncang lembah. Gelombang qi hitam memancar ke segala arah, menyapu batu, tanah, dan jiwa-jiwa terperangkap. Jeritan panjang menggema, dan langit yang tadinya kelabu kini berubah menjadi ungu kehitaman.
Xiau Chen mengangkat pedangnya, menahan badai qi itu dengan satu tebasan.
“Jurus keempat Kitab Kuno — Pemecah Dimensi!”
Suara dentuman keras terdengar, dua energi bertabrakan. Tanah di bawah mereka terbelah sejauh ratusan langkah. Cahaya keemasan dan hitam beradu, membentuk pusaran energi yang memecah ruang di sekitar mereka.
Dalam benturan itu, Xiau Chen sempat melihat sekilas — bayangan masa lalunya, dirinya yang muda, penuh amarah, mengangkat pedang dan berteriak:
“Dunia ini tak pantas untuk diselamatkan!”
Ia mengerang, memaksa kesadarannya bertahan.
“Aku bukan lagi diriku yang dulu…” desisnya. “Aku bukan kau, Mo Tian!”
Dengan sisa tenaga, ia menyalurkan qi ke dalam inti roh barunya, mengaktifkan jurus segel yang hanya bisa digunakan sekali dalam hidup.
“Segel Jiwa Kedua — Rantai Roh Abadi!”
Dari tanah muncul untaian cahaya putih keperakan, berbentuk rantai yang melilit sosok Mo Tian dari segala arah. Bayangan itu menjerit, berusaha melepaskan diri, tapi setiap gerakannya justru membuat rantai itu semakin kencang menahan.
Mo Tian menatapnya, darah hitam menetes dari mulutnya. “Kau bisa menyegelkanku lagi, tapi tak bisa meniadakan aku. Aku adalah sisi gelap dari pengorbananmu, Xiau Chen. Setiap kali kau ingin melindungi seseorang, aku akan bangkit.”
Xiau Chen menunduk sedikit, menatap tanah yang retak, lalu menjawab lirih,
“Maka biarlah aku melindungi dunia… bahkan dari diriku sendiri.”
Ia menekan dua jarinya ke dada Mo Tian. Cahaya putih membesar, lalu menyelimuti seluruh lembah. Jeritan panjang terdengar — kemudian, keheningan.
Saat cahaya mereda, hanya Xiau Chen yang berdiri di tengah lembah. Wajahnya pucat, darah menetes dari bibirnya.
Namun di dalam matanya, sinar ketenangan tampak kembali.
Kabut perlahan sirna, dan roh-roh yang tersisa mulai menghilang dengan tenang, seolah bebas dari kutukan lama.
“Bagian keempat jiwa Mo Tian… telah tersegel,” ucapnya pelan. “Tapi masih ada lima pecahan lagi.”
Ia memejamkan mata sejenak, lalu membuka langkah menuju puncak lembah. Di punggungnya, cahaya qi suci berpendar lemah, namun di dalam dirinya… sesuatu telah berubah.
Bagian dari kegelapan itu tak sepenuhnya lenyap — ada setitik hitam kecil di dalam intinya, berdenyut pelan seperti napas.
“Kau pikir aku telah tiada, Xiau Chen…”
“…tapi kau sendiri yang menyisakan pintu bagiku untuk kembali.”
Suara Mo Tian bergema samar dalam hatinya, seolah hanya desiran angin.
Xiau Chen tidak menjawab. Ia tahu — pertempuran sejati baru saja dimulai.
Ia melangkah ke luar dari lembah, menatap matahari yang mulai terbit di ufuk timur.
Cahaya pertama pagi itu menyentuh wajahnya, dan untuk sesaat, bayangan “Pendekar Berwajah Giok” tampak kembali — seperti kenangan dari masa lalu yang menolak sirna.
“Aku akan menebus semua kesalahan… bahkan jika aku harus melawan langit itu sendiri.”