Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Tidak Tertolong
Beberapa saat yang lalu, di Scott City …
“Tuan, Nyonya sedang tidak ada di sini. Perawat mengatakan dia pergi sore tadi, dan saya sudah menyelidiki—Nyonya berada di rumah barunya.” Suara seorang pria dari saluran telepon membuat Alex sedikit menarik napas lega.
“Lakukan rencananya. Aku tidak punya banyak waktu lagi. Setelah ini, aku akan melakukan pengalihan dana dan menyerahkan semua informasinya padamu. Ingat, lakukan ini cepat. Setelah siap, hapus semua riwayat kita,” kata Alex tegas.
“Ini sebenarnya mudah bagi saya, Tuan. Saya tahu ini langkah terbaik dan saya mendukung Anda. Tapi … bagaimana dengan Nyonya? Kondisinya sedang lemah,” balas suara di telepon dengan hati-hati.
“Aku hanya butuh beberapa jam. Kirim seseorang untuk mengantar dia ke rumah sakit nanti. Dan, bergegaslah! Mereka akan mengambil kesempatan begitu tahu istriku tidak ada. Aku mengandalkanmu,” jawab Alex, nada suaranya tegang.
“Baik, Tuan. Saya akan bergerak secepat mungkin.”
Panggilan terputus. Alex menaruh ponselnya di atas meja, lalu membuka laptop, tangannya bergerak cepat. Banyak hal harus dilakukan dalam waktu singkat, memastikan semua rencana berjalan tanpa membahayakan anak-anaknya di masa depan.
Mengingat Eve ada di rumah, Alex kembali mengambil ponselnya dan menghubungi Elly.
“Iya, Tuan?” Elly menjawab cepat.
“Apa istriku di sana?”
“Ya, Nyonya tertidur di sini. Apa … apa ada masalah dengan Tuan Muda? Maaf, saya tidak berani membangunkannya tadi. Saya melihat Nyonya sangat lelah dan lesu saat datang. Jika ada masalah, saya bisa membangunkannya sekarang,” kata Elly terbata.
“Tidak, tunggu.” Alex menahan ucapannya, tahu Eve tertidur dan apa pun yang akan terjadi nanti pasti akan membuat istrinya terkejut.
“Tidak perlu membangunkan dia. Tapi … tolong, beberapa jam ke depan, temani istriku. Di mana dia sekarang?”
“Nyonya … Nyonya ada di ruang tengah, tertidur di sofa,” jawab Elly.
“Pergilah ke sana, jaga dia. Jika ada sesuatu, ikutlah dengannya dan pastikan dia aman sampai aku datang.”
Alex berharap Eve bisa bertahan—hanya sebentar saja—sampai ia tiba dan menjelaskan semuanya.
Ia tidak bisa mempercayai siapa pun di sekitarnya. Bahkan Nic, yang selama ini setia, tetap bukan jaminan. Bukan berarti dia tidak mempercayai Nic, tapi dia tidak bisa percaya orang-orang di sekitar pria itu.
Semakin sedikit orang yang tahu, semakin besar peluang Damien lolos malam ini.
Dia tidak bisa mengendalikan semua ancaman yang mungkin muncul, tapi dia pasti memastikan keselamatan Damien dan istrinya, apa pun yang terjadi.
Satu jam berlalu ….
Dua jam berlalu ….
Alex terus bekerja mengejar waktu, fokusnya kini bukan lagi pada Laura atau Shania. Seberapa keras dia mengejar mereka, selalu ada kemungkinan orang lain terlibat, ancaman lain yang mengintai entah dari arah mana.
Tak ada waktu untuk menyelidiki satu per satu, apalagi memastikan keberadaan mereka. Bahkan jika berhasil, hal seperti ini tak akan pernah benar-benar berhenti. Orang-orang seperti mereka akan terus muncul, dengan motivasi dan faktor yang tak bisa diprediksi.
Namun Alex tahu satu hal: tujuan mereka sama. Selama tujuan itu belum tercapai, konflik takkan selesai.
Dan kali ini, Alex akan membiarkan mereka “mendapatkan” tujuan itu—hanya agar mereka puas dengan keberhasilan semu yang ia ciptakan.
Setelah semua hal dipastikan, ponselnya bergetar lagi. Sebuah pesan masuk dari Simon Slade, orang yang paling diandalkan Alex saat ini.
[Tuan, saya sudah siap]
Alex memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, sebelum membalas:
[Lakukan]
Dia meletakkan ponsel kembali, menyandar di kursi, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya tetap berdebar kencang, dadanya terasa sesak, penuh rasa takut yang tak bisa dihapus.
Pukul tiga pagi. Gelisahnya semakin menekan. Dia tidak bisa lagi duduk tenang.
Satu jam kemudian ….
“Alex ….”
Pintu ruang kerja terbuka keras. Nic masuk dengan wajah pucat, napas tersengal seperti baru berlari menuruni gunung.
Alex menatapnya, keningnya berkerut.
“Alex, Damien … kita harus segera ke Regalsen. Damien … dia tidak tertolong.”
Alex memejamkan mata rapat-rapat, kedua tangannya menumpu di atas meja kerja, mencoba menahan rasa sakit yang mulai menyeruak.
“Dokter sudah melakukan semua yang mereka bisa untuk menyelamatkannya, tapi … mereka tidak bisa mengembalikan detak jantung Damien lagi. Dan juga ….”
Kata terakhir Nic membuat Alex spontan memutar badan. Wajahnya pucat seketika.
“Dan apa?”
“Dan Eve … dia ditemukan di dalam lift, dengan pendarahan hebat. Sepertinya dia keguguran. Saat ini dia berada di ruang gawat darurat.”
Jantung Alex seolah dipukul keras. Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya, membuat pandangannya kabur.
Bagaimana mungkin?
Eve … keguguran di lift? Bukankah dia sudah mengatur agar Elly menemaninya? Sopir juga diperintahkan untuk mengawasinya, kan?
Bagaimana mereka bisa meloloskan Eve begitu saja, hingga kejadian tragis ini terjadi?
Alex bergerak cepat, tapi langkahnya terhenti saat melihat Daisy berdiri di tengah pintu, air matanya bercucuran. Bagian putih bola matanya memerah sepenuhnya, seperti akar yang menjalar, menandakan kesedihan yang murni dan mendalam.
Nic, yang mengikuti, ikut terkejut. Daisy telah mendengar semuanya—segala pembicaraan yang mereka kira rahasia.
Alex mendekatinya perlahan, hati-hati. “Daisy, Ibu sedang tidak sehat. Kita harus segera ke Regalsen sekarang.”
Tangannya terulur, ingin menggenggam tangan putrinya, tapi Daisy menariknya kembali dengan kasar.
“Damien tidak selamat, kan?” Suaranya bergetar hebat, penuh rasa takut dan luka.
“Tidak, bukan begitu ….” Alex mencoba menenangkan, tapi kata-katanya tertahan oleh amarah yang meledak dari anaknya.
“Kau berbohong! Aku sudah mendengar semuanya, Ayah!” Daisy berteriak, suaranya serak dan menyayat. “Damien sudah menderita selama ini, dan itu semua gara-gara kau! Kau kejam pada orang-orang di luar sana!”
Wajah Alex menegang. Keningnya berlipat, matanya membulat, tidak mengerti dengan ucapan anaknya.
Namun itu belum cukup untuk melepaskan semua kesedihan Daisy.
Dia berteriak lagi, “Damien tidak seharusnya menanggung kejahatanmu, Ayah! Dia tidak seharusnya menderita seperti ini kalau kau tak menolak ketika teman Ibu meminta bantuanmu! Kau … kau sangat jahat! Kau membiarkan orang itu mati karena tidak mau menolongnya! Aku benci padamu! Aku tidak mau melihatmu!”
Tangisnya semakin keras, wajah mungilnya memerah seperti bara api yang menyala.
Kemarahan, kesedihan, dan rasa kehilangan bercampur menjadi satu, memenuhi tubuhnya yang kecil.
“Dengarkan aku, Daisy!” Alex berusaha memanggilnya, tapi Daisy menepis semua perkataannya.
“Aku membencimu! Aku tidak mau mendengar apa pun darimu!”
Tanpa menoleh lagi, Daisy berlari. Alex sempat berpikir dia akan turun ke lantai bawah, tapi langkahnya terus melaju. Ia keluar dari rumah, menembus halaman, berlari kencang, tangisnya memecah malam yang sunyi.
“Daisy, berhenti! Daisy!” Alex berteriak, mengikuti langkah putrinya, namun sia-sia.
Hatinya hancur saat mendengar semua berita—kematian Kakaknya, keguguran Ibunya—tertumpu di pundak Daisy, dan ia menyalahkan Ayahnya sepenuhnya.
Di benaknya, ucapan Diana kembali terngiang, sumpah yang mengatakan bahwa penderitaan saudaranya adalah karma dari Ayahnya sendiri.
Sekarang dia membenci Ayahnya. Ia menolak mendengar apapun darinya. Ia tidak mau kehilangan Kakaknya. Ia tidak mau kehilangan calon Adiknya.
Daisy sangat sakit hati dan kacau. Ia berlari tak terkendali, menembus jalan raya yang sepi di dini hari. Meski jalan tampak lengang, itu tidak menjamin aman. Lampu mobil yang melintas dari sisi lain tiba-tiba menyilaukan matanya.
Ia hanya sempat mendengar satu teriakan panik dari Ayahnya:
“Daisy …!”
Sebelum sempat menghindar, suara tabrakan keras mengguncang udara. Tubuh Daisy tersungkur dengan keras, keningnya menghantam aspal. Di antara kesadarannya yang perlahan memudar, bibir kecilnya gemetar, memanggil Ayahnya.
Ya, Ayahnya. Mobil itu memang tidak menyentuh Daisy, dia jatuh karena dorongan keras dari Ayahnya.
Namun sebagai gantinya, mobil itu membuat tubuh Alex terpelanting keras, berguling di atas aspal.
Nic yang mengejar mereka tadi tersentak kaget. Pak Frans, yang usianya membuatnya tak mungkin bergerak cepat, hanya bisa terpaku, matanya membulat menatap tubuh Tuan-nya.
Nic segera sadar dan berlari sekuat tenaga.
“Alex, kau mendengarku? Alex ….” Nic sangat panik hingga untuk beberapa detik dia hampir kehilangan akal sehat. Dengan cepat dia memanggil ambulan dan melakukan pertolongan pertama.
Darah melumuri wajah Alex, mengalir seperti aliran air sampai menggenangi aspal.
Sementara Pak Frans pergi ke Daisy dan memastikan bahwa anak itu masih bernapas. Bahkan Pak Frans pun ikut gelagapan melihat semua kejadian ini yang terjadi begitu cepat.
Ia mencoba mengangkat Daisy, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menahan anak itu sendiri. Segera ia memanggil bantuan.
Alex dan anaknya dilarikan ke rumah sakit. Karena kondisi Alex cukup parah, Nic segera melakukan tindakan operasi dengan bantuan dokter lain.
Daisy segera diperiksa dengan cepat. Meskipun dokter menyatakan bahwa kemungkinan ia hanya pingsan akibat benturan, mereka tak bisa memastikan sepenuhnya sebelum Daisy sadar untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Edgar tiba, berlari dari pelataran rumah sakit, hanya menemukan Pak Frans yang masih berdiri gemetar.
“Ada apa, Pak?” tanya Edgar, khawatir.
Pak Frans masih terengah, dadanya sesak, suara gemetar. “Aku … aku tidak tahu. Aku hanya mendengar Tuan meneriaki nama Daisy. Saat aku keluar, dia dan Nic mengejar Daisy … lalu ada tabrakan … dan Tuan, dia … dia ….”
Edgar menenangkan Pak Frans, membantunya duduk.
Di jam seperti ini, Nic di rumah Alex? Pasti terjadi sesuatu di Regalsen.
Hanya itu satu-satunya kesimpulan yang bisa diambil Edgar, meski kepalanya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk.
Segera dia menghubungi Eve, karena tidak tahu siapa lagi yang bisa dia mintai kejelasan. Namun, dia tidak mendapat jawaban.
Edgar beralih ke nomor Rayyan, meminta dia segera datang ke rumah sakit.
Pria itu datang dengan cepat hanya dengan piyama yang memang saat itu dia kenakan.
“Apa yang terjadi?” Rayyan bertanya dengan cemas. Dia melihat genangan darah di jalanan saat akan ke sini tadi, dan dia tidak berharap bahwa itu milik Alex atau pun Daisy.
“Tuan kecelakaan, dan Daisy juga pingsan. Pak, sepertinya terjadi sesuatu di Regalsen. Nic datang ke rumah, lalu semua ini terjadi. Nic masih di dalam sedang melakukan operasi pada Tuan. Saya sudah mencoba menghubungi Nyonya, tapi saya juga tidak mendapat jawaban. Saya tidak tahu harus menghubungi siapa lagi.”
Wajah Rayyan semakin pucat. Ia segera mencari nomor dokter yang menangani Damien, tapi hasilnya sama—tak ada jawaban.
“Ray,” panggil Nic, baru keluar dari ruang operasi.
“Nic, ada apa?” Rayyan bertanya cemas.
“Alex butuh donor darah. Darah kalian sama, kan? Persediaan rumah sakit sangat terbatas untuk golongan darah kalian,” ujar Nic singkat.
“Ambil yang kau butuhkan.” Rayyan menanggapi, menahan pertanyaan yang ingin ia lontarkan mengenai situasi sebenarnya.
Nic tidak menjawab lagi, hanya menyerahkan perawat untuk mengambil darah Rayyan.
“Bagaimana keadaan teman saya?” Rayyan akhirnya bertanya.
“Pasien kehilangan banyak darah dan luka di kepala cukup parah. Kami sedang berusaha menyelamatkan nyawanya,” jawab perawat itu singkat.
Rayyan seperti jatuh ke jurang mendengarnya.
Setelah mereka selesai mengambil darahnya, Nic masih belum keluar. Pintu operasi juga belum terbuka.
Yang bisa mereka lakukan sekarang hanyalah menunggu—menunggu Daisy sadar, berharap berita yang akan mereka dengar tak seburuk dugaan mereka.
Untungnya, Daisy tidak pingsan terlalu lama. Ia mulai menangis sebelum membuka matanya. Suaranya lirih memanggil Damien.
“Damien … Ibu ….”
“Daisy, kau sudah sadar? Bangunlah!” Rayyan mengusap pipi gadis itu dengan lembut, menenangkan.
Kelopak mata Daisy bergetar, terbuka perlahan. Rayyan menatapnya dengan cemas. “Daisy, kau mendengarku?”
Daisy tak bisa bicara, tangisnya pecah kembali, lebih keras dari sebelumnya.
“Apa yang terjadi? Katakan padaku, Daisy!” Rayyan mendesak lembut.
“Nic … Nic bilang … Kakakku tidak tertolong … dan Ibu … dia … dia keguguran ….” Gadis itu tersedu-sedu, tubuhnya gemetar hebat.
Tiba-tiba, ingatan tentang tabrakan dan suara mobil yang menghantam Ayahnya melintas cepat di matanya. Daisy menoleh dengan panik.
“Ayah! Bagaimana dengan Ayah? Di mana Ayah?”
***