“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Raka pergi ke toko Kue miliknya. Disana, dia duduk termenung memandang foto Andin. Didalam hatinya dia merasa menyesal meninggalkan Andin demi Ratna.
Setelah meninggalkan Andin dan menikah bersama Ratna, kehidupannya menjadi berantakan.
Ternyata, setelah menikah, Ratna mulai menunjukkan sifat aslinya. Sering menghamburkan uang, tidak suka memasak atau ikut menjaga toko kue lagi. Semua modal habis tak tersisa.
Ratna bahkan tidak peduli jika toko kue itu menjadi bangkrut. Disaat Raka pulang dari Toko kue, Ratna tak pernah memasak. Berbeda dengan Andin.
Andin sangat perhatian, bahkan mendukung apapun yang dia ingin kerjakan. Andin tak pernah menuntut atau memaksanya bekerja keras. Setiap pulang bekerja, selalu siap makanan di atas meja. Andin penuh perhatian dan bahkan menunggunya hingga pulang.
Tapi kini semuanya berbanding terbalik. Ratna bahkan tak seperti ketika dia ingin mendapatkan dirinya. Ratna lebih mementingkan diri sendiri. Lebih menuntut semua keperluan, sering keluyuran dan bahkan pernah ketahuan selingkuh dengan Om Om yang bahkan lebih tua darinya.
Raka menyesal telah meninggalkan perempuan yang begitu berharga, bahkan menyakitinya dengan berselingkuh dengan ibu kandung istrinya sendiri.
Kehidupannya kini seperti tak bearti, hampa tanpa ada tujuan yang tersisa.
Malam itu. langkah Raka terdengar berat di jalanan yang basah oleh hujan.
Hanya cahaya lampu jalan yang menemaninya berjalan menuju gedung tinggi yang terpampang besar papan nama:
“StarVision Entertainment” — tempat Andin kini bekerja dan bersinar.
Sudah berhari-hari ia mencari informasi, mengikuti berita, menanyakan pada kru film, bahkan menyamar hanya agar bisa melihat sosok wanita yang dulu ia sakiti.
Dan kini, di depan gedung itu, jantungnya berdetak cepat.
Ada rasa takut, rindu, dan penyesalan yang menyesakkan dada.
Ketika pintu kaca terbuka, dari dalam keluar beberapa orang kru membawa berkas dan alat shooting. Raka berdiri tegang. Di antara mereka, berjalan seorang wanita anggun dengan setelan blazer putih, rambut tersanggul rapi, dan tatapan tajam penuh wibawa.
Raka terpaku sesaat.
Langkahnya membeku di tempat.
Wanita itu adalah Andin.
Namun bukan Andin yang dulu ia kenal—bukan perempuan lembut yang selalu menunduk dan tersenyum penuh kasih.
Yang berdiri di hadapannya kini adalah sosok yang dingin, berwibawa, dan begitu berjarak.
Tatapannya tajam seolah tak tersentuh oleh masa lalu.
“Andin…” panggil Raka pelan, hampir tak bersuara.
Andin berhenti, menoleh sekilas.
Alisnya sedikit berkerut, matanya menyipit seolah berusaha mengenali sosok di depannya.
“Raka?”
Nada suaranya datar, tanpa emosi.
Satu nama itu keluar dari bibirnya, tapi tanpa getaran rindu, tanpa air mata, tanpa sisa cinta.
Raka melangkah mendekat, “Andin, aku… aku sudah lama mencarimu. Aku ingin bicara.”
Andin tersenyum tipis, senyum yang dingin dan sopan — bukan seperti dulu, melainkan seperti seorang profesional kepada orang asing.
“Untuk apa, Raka? Apa yang belum kau hancurkan dariku hingga kau datang mencarinya lagi?”
Raka menunduk, suaranya parau.
“Aku menyesal, Andin. Aku... aku bodoh. Aku kehilanganmu, kehilangan anak kita. Aku tidak bisa hidup dengan rasa bersalah ini.”
Andin terdiam beberapa detik.
Tatapannya perlahan turun ke wajah lelaki yang dulu pernah menjadi dunianya. Tapi kini, yang ia lihat hanyalah seseorang yang asing — seorang pengkhianat yang telah mencabut nyawanya di masa lalu.
“Andin yang dulu mungkin akan memaafkanmu,” ucapnya lembut namun tegas.
“Tapi Andin yang berdiri di depanmu sekarang… sudah mati bersama anaknya malam itu.”
Raka terdiam. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada apa pun.
Andin melangkah melewatinya, tanpa menoleh.
Namun langkah Raka cepat menahan pergelangan tangannya.
“Tolong, beri aku kesempatan memperbaiki semuanya.” ucapnya memohon dengan mata mengiba.
Andin menatap tangannya yang digenggam, lalu menatap Raka lurus dengan tatapan tajam yang membuat lelaki itu menggigil.
“Lepaskan,” suaranya dingin. menarik penggalangan tanganya kasar.
“Aku tidak akan pernah memberi kesempatan kedua kepada orang yang bahkan tega menghancurkan darah dagingnya sendiri.”
Raka langsung melepaskannya, wajahnya hancur.
Andin berjalan pergi tanpa sedikit pun menoleh ke belakang, meninggalkan Raka yang berdiri di tengah hujan — seperti pria yang kehilangan seluruh dunia untuk kedua kalinya.
Di dalam mobilnya, Andin menarik napas panjang, menatap bayangannya di kaca jendela.
Wajahnya tenang, tapi hatinya bergetar hebat.
“Dulu aku menangis karena kamu, Raka,” bisiknya pelan.
“Sekarang aku tersenyum… karena aku sudah bisa hidup tanpa kamu.”
.
.
.
Bersambung.