NovelToon NovelToon
SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi / Permainan Kematian / Sistem
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: chiisan kasih

Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERSIAPAN MISI UTAMA

Senter itu jatuh ke lantai dan berguling. Cahaya redupnya berputar, menerangi dinding studio dengan pola zigzag. Mata-mata SPU, yang bertubuh gempal, menjerit kecil. Itu bukan jeritan kesakitan, melainkan keterkejutan murni.

Kinara tidak bermaksud menyakitinya. Tendangan yang kulayangkan hanya bertujuan mematahkan fokus dan membuat senjata utamanya cahaya lenyap.

Aku mundur satu langkah, posisi Amara tetap waspada. Citra Amara sudah buruk, dan perkelahian di tengah malam adalah berita buruk bagi misi akademik Seri 1.

“Apa-apaan ini, Amara? Berkelahi lagi?” bentak pria itu, mengusap bahunya yang kaku, mengenali siapa yang baru saja menendangnya.

“Ini bukan berkelahi, Bung,” jawabku tenang, mengatur napas.

“Ini adalah pertahanan diri terhadap pengusiran paksa. Sekarang, pergilah. Atau kau mau aku telepon media kampus dan melaporkan bagaimana Penjaga Data favorit Mastermind menggunakan preman sekuriti untuk mengancam mahasiswi tahun pertama agar berhenti sekolah?”

Gertakan itu berhasil. Wajah pria itu memucat, berganti antara marah dan takut. Ia hanyalah boneka yang diperintah. Nama Serena dan SPU, ditambah dengan ancaman media, membuatnya langsung menyadari bahwa ini bisa menjadi bumerang PR yang jauh lebih buruk daripada perkelahian fisik.

“Sialan!” umpatnya, tetapi ia tidak berani mendekat lagi. Ia meraih senternya, dan tanpa kata, berlari kembali ke lorong, meninggalkan studio Desain yang kini hening.

Kinara menarik napas dalam-dalam. SPU selangkah lebih maju, menggunakan intimidasi fisik setelah retorika gagal. Aku berbalik ke arah Nila yang masih meringkuk ketakutan di bawah meja.

“Dia pergi,” kataku, mendekatinya.

Nila merangkak keluar, air matanya kini lebih sedikit, digantikan oleh ekspresi bingung. “Kak Amara, kenapa kamu membantuku? Mereka bilang kamu adalah…”

“Antagonis Terbuang?” Kinara menyelesaikan kalimatnya sambil tersenyum tipis.

“Tepat sekali. Aku tahu rasanya menjadi sasaran SPU. Hanya saja, bedanya, aku punya utang judol yang nyata, sementara kamu cuma punya masalah dengan ego BEM dan manipulasi Serena.”

Kinara duduk di samping Nila, menyalakan lampu ponselnya. Aku mengaktifkan Deteksi Pola Sosial lagi. Meskipun tidak ada orang lain di ruangan, pola-pola jaring yang tipis di sekeliling Nila menunjukkan simpul yang rumit antara rasa takut Nila dan otoritas BEM (melalui Guntur) yang berujung pada titik fokus SPU (Serena).

“Dengarkan aku, Nila. Kakak Serena yang cantik itu menggunakanmu untuk memamerkan kekuatannya. Dia ingin semua orang tahu bahwa dia bisa menghancurkan karir siapa pun di kampus ini hanya dengan sentuhan jari,” jelasku, menjaga nadanya agar terdengar persuasif namun tidak memaksa.

“Tapi dia bilang aku mencuri…” Nila terisak.

“Pencurian data adalah alasan paling mudah untuk mengusir mahasiswa tanpa harus melibatkan proses administrasi formal. Itu taktik SPU untuk membuang yang tidak patuh,” Kinara menimpali.

“Aku tahu kamu tidak mencuri, dan aku punya bukti atau setidaknya, kerangka berpikir yang kuat untuk membuktikan Serena yang bersalah karena intimidasi, bukan kamu.”

“Lalu aku harus bagaimana, Kak? Aku sudah menandatangani surat pengunduran diri.”

Kinara merobek-robek surat yang ada di tangan Nila, membuat Nila terperangah.

“Kau harus menarik kembali semua itu. Besok, aku ingin kau pergi ke Biro Administrasi Mahasiswa, dan ajukan surat pengaduan balik: Tudingan pencurian logo tidak berdasar, dan diikuti oleh ancaman fisik (oleh sekuriti yang disewa Serena) yang memaksamu mundur.”

“Aku takut, Kak Amara,” kata Nila jujur.

“Ketakutan itu adalah alat yang digunakan sistem untuk mengontrolmu. Jangan biarkan mereka menguasai data, apalagi jiwamu,” kataku. Kinara merasa seperti mengulang khotbah sosiologi Pak Arka.

“Jika kau maju, aku akan berada di belakangmu. Aku akan mencari data BEM, mencari celah di mana Serena mengatur penyingkiranmu. Kamu akan menjadi panggung pertamaku di Seri 2. Kamu setuju?”

Nila menatapku, melihat tekad Kinara di mata Amara yang biasanya sinis. Mungkin dia melihat kesempatan, atau mungkin dia melihat seorang gila yang lebih berbahaya daripada sekuriti kampus. Entah apa pun alasannya, Nila mengangguk.

“Aku akan mencoba, Kak.”

Kinara menghabiskan sisa malam itu untuk merumuskan serangan akademik dan politiknya. Pagi harinya, alih-alih menghindari kampus setelah konfrontasi semalam, aku langsung menemui Pak Arka.

Ruangan Pak Arka diisi dengan tumpukan buku yang nyaris menembus langit-langit. Dosen itu sedang menyesap kopi hitam tanpa ekspresi, tetapi matanya menunjukkan bahwa ia sudah mendengar rumor mengenai konflik di fakultas Desain.

Pak Arka telah dipanggil oleh administrasi kemarin sore terkait esai Sosiologi Kritis milikku yang terlalu provokatif.

“Selamat pagi, Amara,” sapa Pak Arka, menunjuk kursi di hadapannya.

“Atau harus kukatakan, Nasywa yang sudah meraih nilai A?”

“Selamat pagi, Pak. Tentu saja Nasywa, agar bapak tidak mendapat teguran dua kali,” candaku, duduk. Aku memutuskan untuk bersikap terbuka.

“Serena?” tanyanya, langsung ke intinya.

“Serena,” balasku.

“Rendra benar, dia adalah Penjaga Data. Tadi malam, saya berhadapan dengan sekuriti yang dikirim untuk memaksa Nila, mahasiswi tahun pertama yang dituduh mencuri logo BEM, untuk mundur dari kampus.”

Pak Arka meletakkan cangkirnya dengan gerakan lambat. “Saya sudah menduga SPU akan bergerak cepat. Nasywa, presentasi akhir ini bukan lagi hanya ujian mata kuliah Sosiologi Kritis. Ini adalah arena perang terakhirmu di Seri 1.”

“Saya tahu. Makanya saya datang menemui Bapak. Saya perlu tahu bagaimana cara membongkar Serena tanpa terlihat seperti saya sedang merengek tentang pengkhianatan saudara angkat saya,” jelasku.

“Saya ingin menyerang sistemnya, bukan karakternya.”

“Tepat sekali,” kata Pak Arka, raut wajahnya tampak gembira dengan kerangka berpikirku.

“Sosiologi Kritis adalah senjata terhebat dalam perang melawan struktur kekuasaan. Serena bukan hanya orang jahat, dia adalah manifestasi ideal dari ‘Kekerasan Struktural’ di kampus ini.”

Aku mengambil buku catatan Amara. “Kekerasan Struktural. Bagaimana cara saya mengkontekstualisasikannya, Pak?”

“Mahasiswa yang ‘dibuang’ seperti Amara yang dulu, atau Nila saat ini, bukanlah korban kebetulan atau individu yang lemah. Mereka adalah korban yang diproduksi secara sistematis,” Pak Arka menjelaskan, mulai bergerak dalam mode mengajar favoritnya.

“Serena dan SPU menciptakan narasi tentang ‘mahasiswa ideal’ (IPK sempurna, patuh, organisatoris) untuk mengesahkan tindakan mereka membuang mahasiswa yang tidak masuk dalam kriteria itu.”

“Jadi, Mastermind (Mantan Dekan) menggunakan trauma kegagalannya untuk menciptakan sistem ranking yang sebenarnya adalah mekanisme untuk melanggengkan kekerasan,” aku menyimpulkan, mencatat poin-poin itu dengan cepat.

“Lebih dari itu, Nasywa. Kenapa mereka harus membuang mahasiswa seperti Amara yang lama? Karena jika mahasiswa dengan IPK 0.9 ternyata mampu melakukan kritik filsafat setajam milikmu, maka seluruh sistem evaluasi mereka—yang dipertahankan mati-matian oleh konglomerat (Target 4)—akan runtuh,” tekan Pak Arka.

“Serena mewakili ketaatan pada status quo. Kamu, saat ini, adalah representasi dari kegagalan yang berani berargumen.”

Kinara merasakan insight baru ini. “Artinya, presentasi akhir saya harus membuktikan bahwa Kegagalan (Amara) memiliki integritas moral dan intelektual yang lebih tinggi daripada Kesempurnaan yang Diciptakan (Serena).”

“Perfecto,” Pak Arka tersenyum. “Tapi bagaimana kau akan melakukannya? Judul presentasimu tidak boleh terdengar seperti pembalasan pribadi. Judul itu harus menjadi manifesto reformasi.”

Kami mulai berdiskusi selama hampir dua jam, dengan proporsi 90% dialog intens. Kinara melemparkan ide-ide konfrontatif, dan Pak Arka memfilternya menjadi kritik yang valid dan berbasis data.

“Saya ingin menggunakan studi kasus nyata, Pak. Tentang kasus Nila,” usulku.

“Dan bagaimana BEM yang otoriter di bawah Rendra (Target 2) adalah produk dari Sistem Ranking ini. BEM harus patuh pada SPU agar mendapat pendanaan dan legitimasi. Itu lingkaran setan, Pak.”

“Mengangkat Nila sangat bagus, itu kasus yang nyata dan baru,” setuju Pak Arka.

“Namun, kamu harus menyusun argumentasi yang tidak bisa dibantah oleh Serena, meskipun dia adalah Penjaga Data.”

“Jika saya menyerang integritas SPU, dia bisa memanipulasi data akademis Amara lagi,” kataku, mengingat ancaman Rendra dan masa lalu Amara.

“Lalu, bagaimana cara melindunginya?” Pak Arka menantangku.

“Data yang paling tidak bisa dimanipulasi bukanlah data kuantitatif, Nasywa. Itu adalah data kualitatif. Ceritamu. Perubahanmu. Esaimu. Dan kini, presentasimu.”

Kinara mencondongkan tubuh. “Jadi, saya tidak hanya mempresentasikan teori. Saya harus menggunakan tubuh dan pengalaman Amara Nasywa sebagai studi kasus paling konkret tentang kebobrokan sistem yang mengklaimnya sebagai sampah, namun gagal menghancurkan saya saat saya memilih untuk melawan.”

“Itu adalah ‘Kritik Eksistensial’ yang mendalam,” puji Pak Arka.

“Namun, Nasywa, risikonya besar. Jika kamu berhasil, kamu tidak hanya mendapatkan nilai A. Kamu akan mengklaim Amara sebagai milikmu sepenuhnya, membersihkan utang moral dan akademik. Tetapi jika gagal, Serena akan menganggap ini sebagai deklarasi perang total, dan saya mungkin tidak bisa melindungimu lagi di lingkungan akademik ini.”

“Itu risiko yang harus saya ambil. Misi Kinara adalah mengoreksi jiwa Amara, dan untuk itu, Kinara harus mengoreksi sistem yang merusaknya,” aku memantapkan hati.

Pak Arka menyandarkan punggungnya di kursi. Matanya menatap Kinara bukan lagi sebagai murid, tetapi sebagai rekan sejawat yang setara dalam kritik ideologi. “Baiklah. Judulnya?”

Aku tersenyum tipis. Judul ini harus elegan, mengintimidasi, dan sangat Sosiologis.

“Judul Presentasi Akhir Sosiologi Kritis: Struktur Kekerasan dalam Pendidikan Tinggi: Antara Antagonis Terbuang dan Malaikat yang Diciptakan,” kataku, menggunakan diksi yang sengaja memojokkan Serena.

Pak Arka tertawa kecil, suara keringnya jarang terdengar. “Amara Nasywa yang lama akan takut menyebut nama ‘malaikat yang diciptakan’. Tapi Amara yang baru, yang bersembunyi di dalam tubuhmu… dia memang layak mendapat panggung.”

Ia membuka laci dan menyerahkan beberapa berkas kepadaku. “Ini, beberapa literatur tambahan tentang Kritik Fungsionalis dan Hegemoni Media di Institusi. Pakailah untuk menyusun slide-mu. Aku tidak akan memberimu panduan lebih jauh. Ini adalah ujian keaslianmu, Nasywa.”

“Terima kasih, Pak Arka.”

Aku meninggalkan kantor Pak Arka dengan energi yang membara. Konfrontasi semalam dan ancaman dari Serena telah menyuntikkan realisme ke dalam idealisme sosiologi Kinara. Aku tahu bahwa presentasi ini akan disaksikan tidak hanya oleh Pak Arka, tetapi juga oleh mata-mata BEM, Serena, dan mungkin, Mastermind itu sendiri.

Sisa waktu seminggu Kinara habiskan untuk merangkum dan memvisualisasikan data, menghubungkan teori Kekerasan Struktural milik Galtung dengan kasus Nila dan sejarah Amara. Deteksi Pola Sosial terus berputar di otakku, membantu Kinara memilih kata-kata dan visualisasi yang akan menunjukkan jaring-jaring manipulasi SPU secara transparan.

Selama persiapan ini, Rendra sempat mengirim pesan teks singkat, yang menunjukkan ia memang menepati janjinya untuk "mengawasi" dan tidak sepenuhnya memusuhi.

Rendra: “Serena tahu tentang kasus Nila yang batal mundur. Dia sedang sibuk membersihkan Guntur. Kau bermain api. Presentasi finalmu nanti… jangan buat dia punya alasan untuk membunuhmu di hadapan publik.”

Kinara hanya membalas: “Itu tergantung. Apakah api itu yang akan membakarku, atau api itu yang akan membakar sistem yang melindungi Guntur?”

Jawabannya hening. Target 2 masih bimbang.

Tiba hari presentasi. Ruang kuliah Sosiologi Kritis terasa sesak. Selain mahasiswa kelas kami, terlihat banyak wajah asing: beberapa anggota BEM yang mengenakan jas almamater resmi (termasuk Guntur, si antek Serena), dan yang paling mengganggu, dua orang berpakaian formal yang Kinara yakini adalah anggota administrasi tinggi.

Dan di barisan tengah, duduklah Pak Arka, mengenakan kacamata bacanya, siap mendengarkan. Ia menatap Kinara sekilas, dan hanya memberikan anggukan kecil, yang mengartikan, '’Semoga sukses. Kita berdua ada di sini sekarang.’'

Jantung Amara berdebar, tetapi Kinara menenangkan sistem sarafnya. Aku berdiri di podium, mengambil remote clicker presentasi.

Aku menatap ke sekeliling, mencari sosok yang kucari. Serena. Aku tidak melihatnya. Tetapi di samping Guntur, Kinara melihat seorang wanita muda berwajah tegang, sibuk mencatat sesuatu di tablet digital. Kemungkinan besar itu adalah salah satu antek SPU yang diperintah Serena untuk memantau.

Aku tersenyum kecil. Ketidakhadiran Serena justru lebih baik. Itu berarti Kinara bisa menyerang tanpa perlawanan langsung, tetapi serangan itu tetap akan sampai padanya.

Aku menarik napas dalam-dalam, memegang podium erat-erat, membiarkan tubuh Amara merasakan ketegangan panggung. Misi Kinara: menyelesaikan Seri 1, meraih nilai A, dan membersihkan debit Amara dengan harga mahal.

Layar proyektor menyala. Presentasi final yang akan menentukan takdir Amara dimulai.

Kinara mulai berbicara dengan suara lantang, mengaktifkan semua kemampuan retorikanya.

“Selamat siang, Bapak Arka, rekan-rekan mahasiswa, dan tamu-tamu tak diundang yang terhormat. Saya, Amara Nasywa, akan menyajikan presentasi final tentang bagaimana pendidikan tinggi, di bawah lapisan ‘ideal’ yang diciptakan, secara sistematis menghancurkan mahasiswa demi stabilitas korporat.”

“Judul presentasi saya adalah: Struktur Kekerasan dalam Pendidikan Tinggi: Antara Antagonis Terbuang dan Malaikat yang Diciptakan.”

Aku mengklik remote. Slide pertama muncul. Itu bukan kutipan teori sosiologi. Itu adalah gambar sederhana: Wajah Amara Nasywa dengan IPK 0.9, disandingkan dengan skor kredit yang menunjukkan utang judi online yang fantastis.

Mahasiswa di kelas terkesiap, termasuk Rendra yang duduk di barisan BEM. Mereka tidak menyangka Kinara akan menggunakan citra dirinya sendiri yang terburuk sebagai poin pembuka.

Kinara tersenyum penuh perhitungan.

“Hari ini, kita tidak akan membahas Max Weber atau Durkheim,” kataku, memandang lurus ke arah Guntur dan perwakilan administrasi.

“Kita akan membahas kasus konkret dari produk yang gagal dari sistem ini: Diri saya sendiri. Mengapa saya diciptakan, mengapa saya harus dibuang, dan mengapa sistem ranking kampus kita dirancang untuk menghasilkan kegagalan semacam saya, sementara secara simultan menciptakan kesempurnaan seperti saudara angkat saya, Serena.”

Aku mengklik slide berikutnya. Di slide itu, kini muncul infografis sederhana yang menunjukkan pola sosiometrik yang baru kulihat berkat Deteksi Pola Sosial : Sebuah grafik kecil yang menunjukkan hubungan Guntur ke SPU, SPU ke Administrasi, dan Administrasi ke donatur korporat. Dan di bagian bawah, kasus Nila sebagai ‘Korban Pembuangan’.”

“Saya tidak hanya akan menyerang argumen. Saya akan membongkar diagramnya,” kataku, mencondongkan tubuh ke podium, siap meledakkan sistem yang hampir merenggut segalanya dari Kinara.

“Saya akan menunjukkan bagaimana kampus ini—

Tiba-tiba, lampu ruangan padam. Bukan hanya lampu ruangan. Listrik seluruh gedung, bahkan seluruh blok fakultas, mati total.

Kegelapan menelan semua orang. Kengerian senyap menjalar, di tengah kegaduhan kecil. Sistem telah merespons serangan Kinara dengan cara yang paling fundamental.

Dalam kegelapan, sebuah pesan teks tiba di ponsel Kinara. Hanya satu kalimat. Kinara tahu itu bukan dari Rendra, karena nada pesannya sangat dingin, formal, dan kejam.

“Jangan serang Penjaga Data. Anda sudah mendapat nilai A. Misi selesai. Hentikan presentasi, Amara. Atau Sistem akan menyingkirkan Anda, tanpa jejak.”

Aku menyadari, itu pasti Serena, yang mengendalikan jaringan data kampus dan mematikan seluruh listrik gedung untuk membungkamku di saat klimaks presentasi. Ancaman itu nyata dan langsung.

Jika Kinara teruskan, konsekuensinya bukan lagi kegagalan akademik, melainkan kegagalan eksistensial. Aku berada di titik terdekat untuk dibuang sepenuhnya dari tubuh Amara.

Aku menyalakan senter ponsel, menerangi wajahku. Kinara tersenyum di tengah kegelapan yang menakutkan. Mataku terfokus pada perwakilan BEM dan administrasi yang terlihat panik.

“Mereka pikir mereka bisa menghentikan Kritik Eksistensial dengan mematikan lampu,” kataku, suara Amara terdengar menantang dan memecah keheningan.

Aku mengabaikan peringatan itu. Misi untuk membongkar kebobrokan telah dimulai, dan tidak ada lampu mati yang akan menghentikannya. Aku menoleh ke arah Pak Arka, yang juga menyalakan ponselnya, siap mendengarkan.

“Pak Arka,” panggilku. “Presentasi berlanjut. Tidak ada yang bisa membungkam kebenaran struktural. Bahkan bukan listrik. Jika saya harus mengajar sosiologi dalam kegelapan, maka itu adalah ilustrasi sempurna tentang hegemoni.”

Aku mengambil napas, mengabaikan ketakutan Nila, kemarahan Guntur, dan ancaman dari Serena. Kinara melangkah keluar dari podium, berjalan ke tengah ruangan, menggunakan senter ponselnya untuk menyinari tangannya yang kini menggenggam data di udara.

“Saya ulangi, Kampus ɪɴɪ…”

1
Tara
ini system kok kaga bantuin. kasih solusi kek bukan cuman ngancam aja🤭😱🫣
Tara: betul betul betul...baru kali ini ada system absurd😱😅🤔🫣
total 2 replies
Deto Opya
keren sekali
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!