Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22 Suasana didalam rumah
Adinda yang masih merah bak udang rebus buru–buru masuk kamar mandi. Di depan cermin, ia menatap wajahnya yang memanas.
“Benar-benar memalukan…” gumamnya sambil menepuk-nepuk pipi sendiri.
Sementara itu, Vikto duduk di tepi ranjang dengan wajah berbinar tak karuan. Senyum kecil terus muncul tanpa bisa ia tahan.
“Adinda… istriku… terima kasih untuk yang semalam. Kamu bikin aku nyaman… dan makin jatuh cinta,” bisiknya pada diri sendiri, hampir seperti orang sedang mabuk bahagia.
Takut membuat istrinya makin salah tingkah, Vikto segera keluar kamar, mencuci muka, dan sibuk merapikan diri. Ia lalu duduk di ruang tamu sambil berpura-pura serius membaca buku.
Beberapa menit kemudian, Adinda keluar dari kamar dengan wangi lembut yang langsung memecah konsentrasi Vikto. Tanpa sadar, ia menoleh cepat.
Adinda kaget dan salah langkah kakinya menginjak sesuatu yang mengakibatkan tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.
“Kya—!”
“Dinda!” Vikto langsung menangkap tubuhnya. Posisi mereka condong, nyaris seperti adegan drama romantis.
Dan di saat itulah…
“Ekheem.”
Ziro berdiri di ambang pintu, terpaku dengan mata membelalak melihat adegan yang tak pernah ia bayangkan.
Adinda dan Vikto kontan menjauh, wajah sama merahnya.
“Ziro! Kau datang di waktu yang sangat tidak tepat!” bentak Vikto spontan, lupa kalau istrinya ada di sebelah.
Ziro melotot tak terima. Lalu ia memberi kode halus, atau lebih tepatnya lirikan-lirikan aneh ke arah Adinda.
Adinda Cuma bingung dan ikut bengong.
“Dinda, dia Ziro. Orang kepercayaan Kakak,” jelas Vikto cepat.
Adinda mengangguk kikuk. “Oh… eh… Dinda ke dapur dulu ya, Kak. Mau buat kopi… buat Kakak dan… Zi–Ziro.”
“Jangan pakai gula!” sahut Vikto. “Sudah sana. Bahaya kalau ngobrol lama sama Ziro. Mulutnya itu suka ngawur.”
Ziro menatap bosnya dengan ekspresi “kau sungguh manusia durhaka, bos.”
Adinda segera kabur ke dapur. Begitu ia hilang dari pandangan, Ziro mengembuskan napas kasar.
“Sialan, dibilang bahaya segala. Eh tapi—Nona Dinda udah bisa jalan? Wah, kabar bagus itu, Bos!”
Vikto tersenyum kecil. “Bukan cuma itu.” Ia duduk, memberi kode Ziro untuk ikut duduk. “Adinda sudah sah jadi istriku. Tinggal urus legalitas negara.”
Mata Ziro hampir copot. “Apa?! Bos Vikto… udah nikah sama Nona Dinda?!”
Vikto mengangguk tenang. “Warga menyergap semalam. Mau tak mau kami menikah.”
Ziro memicing curiga. “Bos nggak ngapa-ngapain yang aneh-aneh, kan?”
Ctakk!
“Ow! Sakit, Bos! Main jitak aja!” protesnya sambil mengusap kepala. “Tapi… selamat ya Bos… eh—maksud saya, selamat untuk Nyonya Vikto!”
Kini Vikto gantian melotot.
Ziro kembali serius. “Lalu… Bos nggak bawa Nona—eh—Nyonya Dinda ke kediaman? Terus bagaimana soal perjodohan sama Nona Kaira?”
Vikto mengibaskan tangan santai. “Buat kamu saja.”
Ziro langsung mengangkat kedua tangan, panik. “Ampun Bos, bukan tipe saya Nona Kaira!”
Ziro mengangkat kedua tangannya, seolah menyerah sebelum dituduh macam-macam lagi.
“Bos, saya cuma nanya… takutnya pihak keluarga besar kaget kalau tiba-tiba Bos bawa pulang istri baru.”
Vikto memijat pangkal hidungnya, lelah hanya membayangkan reaksi orang tuanya. “Belum saatnya. Dinda masih butuh waktu buat tenang. Dan aku… belum siap lihat Nyonya Wirna ngamuk di depan pintu.”
Ziro terkekeh kecil. “Ya, itu benar juga sih.”
Di dapur, Adinda yang sedang menyiapkan kopi terus menunduk, menenangkan degup jantungnya yang tidak karuan sejak hampir terpeleset tadi.
“Aduh… kalau begini terus, bisa pingsan aku setiap hari,” gumamnya sambil menepuk pipinya pelan. Aroma kopi memenuhi dapur, tapi wajahnya sudah lebih merah dari air rebusan.
Ketika ia kembali ke ruang tamu membawa dua gelas, Vikto dan Ziro langsung menoleh.
Dan lagi-lagi, Vikto seperti orang yang baru menemukan matahari terbit.
Wangi dari tubuh Adinda masih menguar lembut, membuat wajah Vikto kembali memerah.
“Ini… kopinya,” ucap Adinda gugup, meletakkannya di meja.
“Terima kasih, Istri—eh, Dinda,” kata Vikto terbatuk-batuk malu.
Ziro langsung menahan senyum lebar.
“Wah, wah… Bos kikuk begini baru sekali saya lihat.”
Ctak!
Kepala Ziro kena jitak lagi.
“Aw! Bos! Ini sudah nikah, tapi tangan masih sama sadisnya!”
Adinda menahan tawa, agar tidak terlalu kentara.
Ziro kemudian menatap Adinda penuh penasaran. “Oh iya, Nyon—eh, Nona Dinda, saya ikut senang sekali lihat Anda sudah sembuh. Dulu saya lihat Anda di kursi roda… ehm… jadi yang semalam itu—”
“Ziro.”
Nada Vikto langsung turun satu oktaf.
Ziro langsung menegakkan tubuh. “Iya, iya, maaf Bos. Gak jadi nanya.”
Adinda yang tidak terlalu paham hanya tersenyum polos, membuat Vikto buru-buruh meneguk kopinya agar Ziro tidak melihat wajahnya yang kembali memanas.
Ziro memperhatikan kedua orang itu, lalu menghela napas panjang sambil menggeleng.
“Wah… rumah sederhana, tapi auranya udah kayak pasangan pengantin baru banget.”
Ctak!
Untuk ketiga kalinya, jitakan mendarat.
“Aduh! Bos! Ini jitakan berkali-kali bisa bikin saya lupa ingatan!”
Vikto berdiri, melirik tajam. “Bagus kalau lupa. Kamu kebanyakan ngomong.”
Adinda menahan tawa lagi, pipinya memerah melihat tingkah suaminya.
Suasana yang tadi kaku kini berubah hangat ketika Vikto duduk kembali di sebelahnya, menjaga jarak… tapi tidak terlalu jauh.
Dan tanpa mereka sadari, Ziro mengamati keduanya dengan senyum puas.
“Hmm… kalau begini caranya, saya yakin Bos bakal jadi suami posesif tapi sayang kelewat dalam.”
Ctak!
“AW! BOS! SAYA BARU BUKA MULUT!”
Adinda tertawa kecil, kali ini tidak bisa menahannya.
Vikto hanya memalingkan wajah, menutupi rona merah yang sulit disembunyikan.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..