NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KINGSGUARDS : CAMELLIA' WHAT I CAN DO?

Angin senja menerpa helai-helai rambut keemasan, membuatnya menari-nari lembut. Camellia berdiri di ambang hutan, matanya yang ungu memancarkan ketenangan yang mendalam. Ia menyentuh sampul buku catatannya yang lusuh, sebuah benda yang telah menemaninya sejak hari-hari ia menjelajahi hutan di pinggiran ibu kota. Kehidupan di Ibu Kota, di tengah gemerlap dan hiruk-pikuk politik, terasa seperti gaung asing dibandingkan kedamaian hutan yang ia kenal.

Ia telah menerima penugasan baru: misi eksplorasi solo ke wilayah Utara, jauh dari markas Kingsguard. Sebuah kesempatan untuk kembali pada panggilan jiwanya—penelitian. Namun, kali ini, ada lapisan makna yang berbeda. Perpisahan singkat dengan dirinya—sosok yang selalu menjadi pendamping setianya, baik dalam keheningan perpustakaan maupun bahaya rimba—meninggalkan kekosongan yang samar. Ia tahu, dalam diam, ia juga merasakan hal yang sama.

Menghela napas perlahan, ia melangkah masuk ke dalam lindungan pepohonan kuno. Cahaya matahari mulai meredup, menyisakan bayangan panjang dan siluet misterius.

Setelah tiga hari perjalanan yang senyap, Camellia tiba di dataran tinggi yang diselimuti kabut. Di sana, di antara reruntuhan kuno yang dipercaya sebagai tempat pemujaan para leluhur, ia bertemu dengan seorang penunggu. Sosok itu, dengan jubah berwarna tanah dan mata yang memancarkan kebijaksanaan masa lalu, sedang menyortir beberapa ramuan kering.

"Selamat datang, Pengelana," sapa sosok itu dengan suara serak namun hangat, tanpa mengangkat pandangan. "Tempat ini jarang dikunjungi oleh mereka yang membawa pedang."

Camellia merapikan gaunnya, tangannya secara refleks memegang gagang pedang di pinggang. "Saya bukan sekadar prajurit. Saya datang untuk mempelajari ekosistem kuno di sekitar reruntuhan ini. Flora dan fauna di sini... mereka unik."

Sosok itu akhirnya mendongak, matanya menatap langsung ke mata ungu Camellia. "Prajurit yang mencari pengetahuan. Sebuah perpaduan yang langka. Apa yang kau cari, Nak? Spesies baru? Atau ada hal lain yang lebih dalam?"

Camellia terdiam sejenak, menatap ke kejauhan di mana kabut menyelimuti puncak bukit. "Saya mencari ketenangan yang saya rasakan saat tumbuh besar di tengah alam, Tuan. Di Ibu Kota, identitas saya selalu dikaitkan dengan lencana yang saya kenakan, dengan peran yang saya mainkan... Saya lupa siapa saya tanpa semua itu."

Sosok itu tersenyum tipis, melanjutkan pekerjaannya. "Lencana hanyalah cermin, Nak. Cermin memantulkan cahaya, tetapi tidak menciptakan cahaya itu sendiri. Katakan padaku, apa yang membuatmu tertarik pada dedaunan, pada serangga kecil, pada keheningan yang dalam ini?"

"Mereka jujur," jawab Camellia mantap. "Mereka tidak memakai topeng atau menyembunyikan intrik. Sebuah tanaman beracun akan menunjukkan racunnya; bunga yang indah tidak berpura-pura menjadi pedang. Saya menyukai kejelasan itu. Di tengah mereka, pikiran saya menjadi jernih. Saya... saya merasa utuh."

Sosok itu mengangguk perlahan. "Keterbatasan peran dan harapan orang lain sering membatasi sayap kita. Kau seorang peneliti, seorang pelindung, seorang wanita dari pinggiran kota. Semua itu adalah kebenaran, tetapi tidak ada yang menjadi keseluruhan dirimu."

Ia mengambil selembar daun berwarna perak dari tumpukan ramuan dan menyodorkannya kepada Camellia. "Daun ini adalah Folia Veritas, 'Daun Kebenaran'. Ia tumbuh di tempat yang paling tinggi, menghadap langsung ke badai, dan akarnya menancap paling dalam di kegelapan. Ia tidak bisa menjadi bunga mawar atau pohon oak. Ia hanya bisa menjadi dirinya sendiri. Dan dalam keunikan itu, ia menemukan kekuatannya."

Camellia mengambil daun itu, teksturnya dingin dan lembut. Ia memutar-mutar daun itu di antara jari-jarinya, merenungkan perkataan sosok bijak itu.

"Jadi," lanjut sosok itu, "Carilah akar tergelapmu, Nak. Bukan ketakutanmu, bukan harapan orang lain, tetapi apa yang membuatmu tetap menancap di bumi ini. Setelah kau tahu akarnya, badai apa pun yang datang dari Ibu Kota atau dari dalam hatimu tidak akan bisa menggoyahkanmu."

"Dan bagaimana saya menemukannya?" tanya Camellia, suaranya dipenuhi ketulusan.

Sosok itu kembali tersenyum, kali ini lebih luas. "Kau sudah mulai mencarinya, bukan? Kau meninggalkan hiruk-pikuk itu, membawa pedangmu sebagai penjaga, dan buku catatanmu sebagai mata. Teruslah berjalan. Semesta akan menunjukkan jalannya, asalkan matamu tetap terbuka untuk segala yang jujur dan jernih, seperti daun ini."

Malam itu, Camellia duduk sendirian di tepi api unggun. Ia tidak mengeluarkan pedangnya, melainkan pena. Ia mulai menulis di buku catatannya, bukan tentang spesies baru, tetapi tentang pengamatannya terhadap dirinya sendiri. Ia menulis tentang kecerdasannya yang haus akan ilmu, kebaikannya yang terkadang disalahpahami, dan kerinduan tersembunyinya akan kehangatan dan ketenangan yang ia temukan saat berada di dekat rekannya.

Ia seorang peneliti, ya. Ia seorang pelindung, ya.

Tetapi malam ini, di bawah bintang-bintang yang jujur, ia menemukan bahwa ia juga seorang wanita yang berani untuk tumbuh, seperti Folia Veritas—siap menghadapi badai, asalkan akarnya tetap tulus dan dalam.

Keesokan paginya, ia melanjutkan perjalanannya, merasa lebih ringan. Ia tahu bahwa jati diri bukanlah sebuah penemuan tunggal, melainkan sebuah proses tumbuh yang berkelanjutan. Dan ia siap menjadi utuh, sehelai demi sehelai, seperti alam yang ia cintai.

.

.

.

.

.

.

.

.

Perjalanan Camellia membawanya jauh ke dalam kawasan pegunungan yang jarang terjamah. Misi resminya adalah memetakan sumber air bersih baru, tetapi dalam hati, ia mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh sosok bijak di reruntuhan: apa yang membuatnya tetap menancap di bumi ini?

Saat melintasi celah sempit di antara dua tebing batu, ia melihat ada sesuatu yang tidak biasa. Sebuah kafilah pedagang kecil tampak kesulitan. Salah satu gerobak mereka terperosok, dan roda kayunya pecah. Tiga orang dewasa terlihat kelelahan, mencoba menarik gerobak itu keluar tanpa hasil.

Camellia mendekat dengan langkah hati-hati. Ia tidak mengacungkan pedangnya, juga tidak langsung menawarkan kekuatan fisiknya. Ia mengamati.

"Selamat siang," sapanya dengan nada tenang.

Salah satu pria—berpakaian sebagai pedagang kain—menghela napas berat. "Selamat siang, Nona. Kami sedang dalam masalah besar. Roda ini hancur total, dan kita harus sampai di perbatasan sebelum senja."

Pria lainnya, yang tampak lebih muda, menimpali dengan frustrasi. "Kami sudah mencoba mengikatnya, menariknya, bahkan menggunakan tuas dari dahan pohon. Sia-sia. Kami butuh bantuan yang kuat, tetapi tidak ada desa di sekitar sini."

Camellia mengabaikan pandangan mereka yang mengukur dirinya, melihat pada sosoknya yang ramping dan pedang yang disandangnya—seolah meragukan apakah ia mampu memberikan 'bantuan yang kuat'. Ia fokus pada gerobak dan sekelilingnya.

"Izinkan saya melihatnya sebentar," kata Camellia.

Ia berjongkok di samping gerobak yang miring, tangannya tidak menyentuh, tetapi matanya bergerak cepat. Ia mengamati sudut kemiringan, berat muatan yang tidak merata, jenis kayu roda yang pecah, dan kondisi tanah yang lembap. Ia lalu mengalihkan perhatiannya pada pepohonan di tebing di atas mereka dan tumpukan batu yang jatuh ke samping jalan.

Setelah semenit dalam keheningan yang intens, ia bangkit.

"Kekuatan fisik tidak akan menyelesaikan ini," ujarnya. "Jika kalian menariknya dengan tali di sudut ini, kalian hanya akan membuat porosnya semakin bengkok. Kalian harus menstabilkan beban, lalu mengubah titik tumpu."

Pedagang kain itu mengerutkan dahi. "Mengubah titik tumpu? Kami hanya ingin menariknya, Nona."

"Dengarkan saya sebentar," balas Camellia, suaranya tetap lembut namun tegas, didukung oleh otoritas pengamatan yang ia miliki. "Muatan gerobak ini lebih berat di bagian belakang, karena itu roda depan pecah akibat beban yang tiba-tiba saat terperosok. Kita harus memindahkan sebagian besar kotak-kotak yang ringan itu ke bagian depan gerobak ini. Kemudian, kita tidak akan menarik gerobak itu ke depan, melainkan kita akan mendorongnya dari sisi yang paling rendah."

Ia menunjuk ke sebuah batu pipih dan kokoh yang tergeletak di dekatnya. "Ambil batu itu. Letakkan mendatar di bawah poros, dekat dengan bagian yang patah, sebagai penopang sementara. Kita akan menciptakan permukaan licin di bawah sisi yang paling terperosok dengan lumut basah dan sedikit debu dari sini."

Ketiga orang itu saling pandang, tampak skeptis namun putus asa.

"Percayalah," desak Camellia. "Saya tidak akan meminta kalian membuang tenaga jika ada cara yang lebih efisien. Ini bukan tentang seberapa kuat kalian menarik, tetapi tentang bagaimana memanfaatkan apa yang sudah ada di sekitar kita."

Mereka akhirnya mengangguk. Camellia mulai mengarahkan.

"Kamu, pindahkan tiga kotak kecil ini ke dekat kuda. Kamu, ambilkan lumut tebal di bawah sana dan campurkan dengan air dari kantungmu. Sekarang, mari kita dorong perlahan, serentak. Jangan tarik dari depan!"

Sesuai instruksinya, mereka memindahkan barang, meletakkan lumut dan debu sebagai 'pelumas', dan menggunakan batu pipih sebagai titik tumpu. Saat mereka mendorong dari samping, mengikuti perhitungan Camellia mengenai berat dan sudut, gerobak itu tiba-tiba—dan tanpa memerlukan tenaga yang berlebihan—bergeser, lalu keluar dari lubang lumpur.

Ketiga orang itu terdiam sejenak, menatap gerobak mereka yang kini kembali stabil.

Pedagang kain itu tersenyum lebar dan tulus. "Demi para leluhur, Nona. Itu... itu luar biasa! Kami sudah menariknya selama hampir dua jam dengan seluruh kekuatan kami. Bagaimana... bagaimana Anda tahu semua itu?"

Camellia mengambil pedangnya yang ia sandarkan di pohon. Rasa damai menjalar di hatinya. Itu bukan kedamaian dari kemenangan dalam pertempuran, melainkan kepuasan dari melihat kejelasan dalam kekacauan.

"Saya adalah seorang pengamat," jawabnya singkat. "Saya menghabiskan hidup saya melihat bagaimana hal-hal di alam bekerja, bagaimana beban terbagi, dan bagaimana kekuatan paling kecil dapat menghasilkan hasil terbesar jika diterapkan dengan tepat."

Ia tidak menggunakan pedang. Ia tidak menggunakan kekuatan otot. Ia hanya menggunakan apa yang selalu ia miliki sejak kecil: ketajaman mata dan pikiran yang mampu melihat pola di antara keacakan. Inilah yang membuatnya berbeda, yang membuatnya utuh.

"Saya berharap perjalanan kalian lancar," pamit Camellia, mulai melanjutkan langkahnya.

Pria muda itu berseru, "Terima kasih, Penjaga! Anda menyelamatkan kami!"

Camellia hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Ia kini tahu bahwa kekuatan sejatinya bukan terletak pada lencana Kingsguard atau pedang yang ia pegang, melainkan pada kemampuan untuk memahami dunia di sekitarnya. Kekuatan terbesarnya adalah kejelasan—kemampuan untuk melihat kebenaran yang tersembunyi, memecahkan masalah tanpa kekerasan, dan memanfaatkan apa yang ia amati.

Ia adalah Camellia, dan inilah yang sebenarnya yang ia bisa lakukan. Dengan hati yang lebih mantap dan senyum samar, ia melangkah masuk lebih dalam ke pegunungan, siap untuk mengamati apa pun yang disajikan oleh alam.

.

.

.

.

.

.

.

Camellia melanjutkan perjalanan di wilayah pegunungan yang semakin terpencil. Setelah penemuan dirinya sebagai seorang pengamat sejati, hatinya terasa lebih ringan. Ia tidak lagi berusaha membuktikan diri sebagai prajurit atau peneliti, melainkan hanya sebagai Camellia yang memanfaatkan kelebihan alaminya.

Di lembah tersembunyi, dekat dengan sumber mata air yang ia cari, ia menemukan sebuah gubuk kayu kecil. Asap tipis mengepul dari cerobongnya, mengisyaratkan keberadaan penghuni. Saat mendekat, ia mendengar suara isakan pelan.

Di dalam gubuk, seorang wanita tua berbaring lemah di atas ranjang jerami. Di sampingnya, seorang pemuda dengan wajah cemas sedang memegang secangkir teh herbal yang dingin.

"Saya sudah mencoba semua ramuan penyembuh yang ada, Nenek," bisik pemuda itu dengan suara bergetar. "Demamnya tidak mau turun. Apa yang harus saya lakukan?"

Wanita tua itu, dengan suara sangat lemah, hanya bisa merintih dan menunjuk ke sudut ruangan yang gelap.

Camellia mengetuk ambang pintu. "Permisi. Bolehkah saya membantu?"

Pemuda itu menoleh, matanya melebar melihat sosok Camellia yang membawa pedang, tetapi pakaiannya tertutup debu dan daun. "Siapa Anda? Kami tidak menerima tamu."

"Saya hanya seorang pengelana," jawab Camellia tenang. "Saya melihat ada yang membutuhkan bantuan. Mungkin mata yang berbeda bisa melihat apa yang terlewatkan oleh mata yang terlalu cemas."

Pemuda itu tampak ragu, tetapi keputusasaan mengalahkan kehati-hatiannya. "Baiklah. Ini Nenek saya. Ia demam tinggi selama dua hari. Saya sudah memberinya Rebusan Daudu dan Teh Lira, tapi tidak ada perubahan."

Camellia melangkah masuk. Ia tidak langsung menyentuh wanita tua itu. Sebagai seorang pengamat, ia tahu bahwa diagnosis yang terburu-buru adalah racun. Ia berdiri di sisi ranjang, memejamkan mata sejenak, menghirup aroma ruangan. Bau tanah yang lembap, kayu terbakar, dan yang paling penting, bau herba yang tidak biasa.

Ia lalu membuka matanya dan mengamati. Ia melihat urat biru samar di pergelangan tangan wanita tua itu, warna kulit yang kekuningan, dan tatapan mata yang sedikit kabur. Ia juga melihat pada secangkir teh herbal yang dipegang pemuda itu.

"Tunjukkan padaku ramuan yang kau gunakan," pinta Camellia.

Pemuda itu menunjuk ke tumpukan daun kering dan akar. Camellia mendekat dan mengambil beberapa daun Lira.

"Ramuan ini bagus untuk menurunkan demam. Tapi, apakah kau menggilingnya dengan benar?" tanya Camellia.

"Tentu saja. Saya menumbuknya sampai halus, persis seperti yang Nenek ajarkan," jawab pemuda itu.

Camellia menggeleng pelan. "Lihatlah urat daunnya. Daun Lira memiliki lapisan pelindung lilin. Jika kau menumbuknya terlalu halus, lapisan lilin ini akan hancur dan melepaskan minyak yang justru memperburuk peradangan. Lira harus dipecah, tidak dihancurkan."

Pemuda itu terkejut. "Saya tidak tahu! Saya pikir semakin halus, semakin baik."

"Itu berlaku untuk akar Daudu, tetapi tidak untuk Lira," jelas Camellia. "Kau juga mencampur terlalu banyak Daudu. Kedua ramuan ini saling menetralkan jika dosisnya tidak seimbang. Kau telah memberi Nenekmu campuran yang hampir tidak berguna, tetapi untungnya, tidak beracun."

Camellia lalu menoleh ke sudut gelap yang ditunjuk wanita tua itu sebelumnya. Ia melihat tanaman merambat berwarna ungu yang tumbuh liar di celah dinding kayu.

"Itu Vinea Sopor," kata Camellia. "Biasanya dianggap gulma, tapi akarnya adalah penenang. Kombinasinya dengan ramuanmu akan membantu menenangkan sistem saraf dan membuat tubuhnya beristirahat total, yang sangat dibutuhkan untuk melawan demam."

Pemuda itu memandang Camellia dengan takjub. "Bagaimana Anda tahu semua itu? Anda tidak terlihat seperti tabib."

"Saya tahu karena saya mengamati bagaimana setiap tanaman berinteraksi dengan lingkungannya, dan satu sama lain," kata Camellia, suaranya dipenuhi keyakinan. "Saya mempelajari kebenaran tentang setiap helai daun sebelum menggunakannya. Ilmu pengetahuan yang tenang jauh lebih ampuh daripada panik."

Camellia menginstruksikan pemuda itu untuk mengambil hanya sebagian kecil akar Vinea Sopor, merebusnya perlahan, dan mencampurnya dengan Lira yang hanya dipecah kasar.

Beberapa jam kemudian, saat Camellia memeriksa sumber air di lembah, ia kembali ke gubuk. Wanita tua itu tertidur nyenyak, keringat membasahi dahinya. Demamnya sudah turun.

Pemuda itu berlutut di depannya. "Anda telah menyelamatkan Nenek saya. Kami tidak punya emas, tetapi..."

"Saya tidak mencari imbalan," potong Camellia lembut. "Saya hanya memanfaatkan apa yang telah saya pelajari. Saya adalah seorang pelindung, tetapi hari ini saya menemukan bahwa cara terbaik saya melindungi bukanlah dengan pedang, melainkan dengan pengetahuan yang tenang."

Camellia meninggalkan lembah itu saat matahari terbit. Ia membawa peta baru dan sebuah kejelasan yang lebih mendalam di dalam hatinya. Ia adalah seorang Kingsguard, ya. Ia adalah seorang peneliti, ya. Namun, ia menyadari bahwa esensi dirinya tidak terbatas pada label-label itu.

Kekuatan sejatinya terletak pada kemampuan untuk melihat detail terkecil yang orang lain abaikan—kekuatan seorang pengamat. Ia bisa membaca urat daun, melihat beban yang tidak seimbang, dan menemukan kebenaran di balik penampilan. Ia bisa menenangkan kekacauan, menyembuhkan tanpa sihir, dan mengatasi hambatan tanpa kekerasan, hanya dengan memanfaatkan pengetahuan yang ia kumpulkan dari keheningan alam.

Ia kini siap kembali. Bukan sebagai prajurit yang mencari pengakuan, melainkan sebagai sosok yang utuh, dengan keyakinan yang tertanam dalam, siap menggunakan kecerdasannya dan hatinya yang penuh kasih untuk melengkapi rekannya yang tenang, dan melayani kerajaannya dengan cara yang paling jujur dan ampuh: melalui kejelasan dan ketenangan.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!