tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Para bandit amatir
kami memakan lodeh itu dan membuang wedang dengan diam-diam, paman pemilik kedai tidak sederhana kelihatannya.
" Tuan, apakah kami boleh menyeberang hutan bersama rombongan tuan, saya bersama putri saya hendak ke kota raja mencari kerabat, kami berjanji tidak akan merepotkan tuan" kata Guru kepada seorang paman gemuk yang kami pikir adalah pemilik dari pedati berisi kain-kain itu, juragan itu melihat kami sekilas kemudian mengangguk.
" ya " jawabnya singkat
" Terimakasih tuan " kata Guru dan aku bersamaan,
" Kau tanyakan pada dia kapan kita berangkat " katanya lagi sambil menunjuk kepada seorang pemuda karena aku melihat pada dasarnya paman juragan tidak terlalu suka berbicara.
" Baik tuan, terimakasih " jawab Guru
kami menghampiri pemuda yang dimaksud tuan saudagar,
" Kau bicaralah denganya, seorang pemuda akan lebih memperhatikan gadis, itu sudah hal lumrah " kata guru
" tuan muda, kami ibu dan anak bermaksud ikut dalam rombongan menyeberang, kami sudah menanyakan kepada tuan besar, dan tuan besar menyuruhku menemuimu untuk tahu jadwal keberangkatan " Guru bertanya kepada pemuda yang ditunjuk oleh paman juragan.
" oh .. baiklah bibi, panggil saja saya Dipa, kami masih menunggu beberapa orang pengawal, bibi dan putri bibi istirahatlah dulu " kata pemuda bernama Dipa itu,
" Terimakasih Tuan muda " kataku
" panggil saja namaku Dipa, aku adalah putra Ki Sadewa dari Kadiri, kami berdua pedagang, kelihatannya kamu bukan dari sini " kata Dipa kepadaku
" iya Tuan muda, saya dari Madura " jawabku, setelah bertahun di Madura logatku tidak bisa dibohongi bawa aku berasal dari sana, aku sudah lama melokal.
Tidak lama kemudian datang dua orang lagi yang berjalan dan ikut juga dalam rombongan dua orang lelaki , semakin banyak orang semakin kuat sebuah rombongan menyeberang hutan, kami akan terlihat sebagai kawanan besar dan membuat orang yang berniat jahat akan mengurungkan diri.
Paman Juragan sendiri mempunyai tujuh orang yang bersamanya, dua pedati dengan masing-masing padati berisi kusir dan dua orang pengawal, anaknya yang bernama Dipa itu berkuda di belakangnya, aku dan Guru dan dua orang yang bergabung belakangan, rombongan ini bisa dikatakan cukup.
Dengan pelan kami mulai membelah hutan, awalnya hutan Jati itu masih cukup terang, semakin masuk kedalam cahaya semakin berkurang, pohon dengan ketinggian tidak masuk akal, rumput liar yang menjulang juga tidak kalah seram hari mulai suram walaupun masih sangat siang,
" berhenti " kata Dipa sebagai pemimpin rombongan, tanah itu sedikit lapang tapi masih cukup rimbun, mungkin tempat pejalan kaki beristirahat,
" kita beristirahat sebentar " katanya kemudian turun dari kudanya dengan kaki gemetar, apakah pemuda itu minum wedang yang dibelinya dari kedai sebelum ini , aku dan Guru saling pandang.
aku menyelonjorkan kaki, Guru sedikit mengeluh
" punggungku berasa mau patah saja, ternyata menjadi tua itu rasanya seperti ini " katanya sambil menertawakan diri sendiri kemudian Guru merebahkan tubuhnya di rerumputan tanpa mengndahkan hal lainya.
aku menggosok punggung Guru dengan obat yang kubawa, memberikan efek hangat dan membuat nyaman,
sepertinya kekacauan akan segera datang, beberapa orang merasa kaki mereka lemas dan sulit digerakkan, termasuk Dipa, pada minuman wadang jahe yang aneh di kedai tadi aku hanya melihat sedikit racun yang diberikan kepadaku, mungkin karena aku adalah perempuan yang dianggap lebih remeh,
" sedikitlah berpura-pura juga" kata guru dan aku akhirnya memasang wajah tidak nyaman,
" Apakah kalian baik-baik saja " tanya Dipa, walaupun keringat mengucur di keningnya dia adalah pemuda yang cukup bertanggung jawab,
" tuan muda kakiku lemas, tapi kedua saudaraku baik-baik saja " kata paman Maryo, mungkin kedua saudaranya tidak suka minum jahe.
" kami berdua merasa lemas tapi masih bisa digerakkan " kata Guru
" yang lemas segera ke pedati dan berlindung disana, sedangkan yang sehat segera membentuk barisan bersama empat orang pengawalku, jangan tinggalkan senjata kalian " , rupanya keempat pengawal itu datang sedikit terlambat dan paman juragan mengomel membuat mereka tergesa-gesa dan mereka berangkat tanpa mampir di kedai.
" untunglah keempat pengawal itu sehat" kata guru, kemudian kami saling memapah untuk berlindung di pedati.
" Kau tidak punya senjata ?" Tanya Dipa kepadaku
" jangan kuatir, aku selalu membawa celurit kemanapun aku pergi" kataku sambil menunjukan celurit besar mengkilap, karena bagi kaum lelaki di rumah kami, celurit bukan lagi senjata ini merupakan pakaian, tapi memang tidak berlaku untuk perempuan, tapi dalam perjalanan tentu kami akan membawanya.
aku adalah pengobat, dan tahu dengan jelas apa yang bisa kulakukan, aku mencairkan obat yang kubawa dengan air di bubung bambu,
" putriku meramu obat di desa kami, tuan muda minumlah, ini akan memperlancar peredaran darah" kata guru setelah sebelumnya meminum ramuanku sebagai contoh dan jaminan bahwa yang kami berikan sebenarnya aman, akupun menegak minuman itu, tapi tetap berjalan sempoyongan ke pedati untuk berlindung dan mengintai sebenarnya apa yang terjadi.
" terima kasih bibi, lindungi diri kalian masing-masing, semoga tidak ada hal yang buruk " kata Dipa.
benar saja beberapa saat setelah kami membentuk kelompok orang sehat dan sakit, guru dan aku masuk kelompok sakit, datanglah empat orang dengan senjata berupa pedang yang mengkilap, berjalan dengan santai ke arah rombongan kami, mereka tertawa terbahak, sungguh lucu apa yang mereka tertawakan.
" ini adalah seni menggertak musuh " bisik guru, ini adalah pertama kali aku keluar rumah berbeda dengan guru yang telah makan asam garam kehidupan, aku merasa kali ini aku tidak keluar dengan sia-sia.
" Apakah mereka punya ilmu yang bagus guru " tanyaku, selama ini latihanku hanya dengan guru, walaupun guru cukup menggembleng tenaga luar dan dalamku, aku belum pernah benar-benar berhadapan dengan musuh, kalaupun paman atau teman di padepokan menyerangku tapi mereka tidak pernah sekalipun sungguh-sungguh.
Guru menggeleng " mereka hanya kelompok anak muda yang tidak punya pekerjaan, lihatlah dari caranya membawa pedang, mereka tanpa obat pelumpuh di kedai itu akan menjadi bulan-bulanan para pengawal, tapi kemungkinan mereka salah lawan kali ini, pengawal itu nampak sehat, kita jangan bergerak kecuali pengawal itu terdesak " kata guru menjelaskan lebih rinci.
aku mengangguk paham dan mulai memikirkan analisa guru yang masuk akal.
" serahkan semua yang kalian punyai " kata salah satu dari mereka menggertak.
" keberanian kalian mencegatku sungguh pantas kuacungi jempol " sahut Dipa lantang, anak itu bersandar di pedati, tenaganya mungkin masih dalam pemulihan, tapi seharusnya obatku segera bereaksi.
" guru apakah dia pemimpinya " tanyaku kepada guru, guru menggeleng
" lihatlah lelaki tanpa baju itu, dia sepertinya lebih berkuasa atas gerombolan ini " kata guru lirikan matanya mengarah kepada orang yang guru maksudkan.
" Apa kita akan menyerahkan barang-barang kita " tanyaku
" Kau butuh apa tidak " guru malah mengajaku diskusi
" ikuti saja dulu, lihat nanti " kata guru lagi, kembali aku mengangguk dan mulai mengumpulkan apa yang kupunya.