Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. RENCANA BURUK ALDO.
Aldo mengemudi dengan kecepatan tinggi menuju gudang tua di pinggiran kota — tempat yang sudah disepakati bersama anak buahnya. Jalanan sepi, hanya terdengar deru mesin mobil yang membelah panasnya mentari siang. Pikirannya dipenuhi rencana tentang bagaimana ia akan menuntaskan semua ini sebelum keadaan semakin rumit.
Sesampainya di lokasi, dua pria berpakaian hitam sudah menunggunya di depan pintu gudang. Salah satunya segera membukakan pintu mobil untuk Aldo.
"Dimana perempuan itu?" tanya Aldo dingin tanpa basa-basi.
"Dia ada di dalam, Tuan." jawab salah satu anak buahnya.
Aldo mengangguk pelan, lalu melangkah masuk ke dalam gudang. Cahaya lampu redup menyorot sosok perempuan yang duduk di kursi, tangan dan kakinya terikat, rambutnya terurai berantakan.
Aldo mendekat perlahan, menatap wajah perempuan itu dengan tatapan menusuk. Keningnya berkerut dalam, napasnya berat menahan amarah yang mulai membuncah.
“Siapa namamu?” suaranya rendah tapi penuh tekanan.
Perempuan itu hanya diam. Matanya menatap ke arah lantai, tubuhnya gemetar ketakutan.
Aldo kehilangan kesabaran. Ia membanting meja kecil di depannya hingga menimbulkan suara keras yang menggema di seluruh ruangan.
“Aku bertanya siapa namamu!” bentaknya dengan suara menggelegar.
Perempuan itu terlonjak kaget, air matanya menetes tanpa bisa ditahan, wajahnya pucat menahan takut.
“Saya… Ayu, Tuan,” jawabnya pelan dengan suara bergetar.
Aldo menyipitkan mata, menatap tajam seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar.
“Ayu? Jadi kamu yang mengandung anak Luis?” suaranya berat dan penuh tekanan.
Mata Ayu membesar. Ia terkejut mendengar nama Luis.
“Saya tidak tahu siapa Luis, Tuan,” suaranya nyaris tak terdengar.
Aldo mencondongkan tubuhnya dan tiba-tiba mencekik leher Ayu dengan keras. Perempuan itu meronta, napasnya tersengal, wajahnya memucat.
“Jangan membohongiku! Aku tahu anak dalam kandunganmu itu anak Luis!” bentak Aldo, nadanya menggema di ruangan.
“Saya benar-benar tidak Tahu siapa Luis!” Ayu berusaha bicara di sela napasnya yang hampir habis.
“Suami saya bernama Lois, bukan Luis! Tolong lepaskan saya, Tuan!”
Air mata Ayu mengalir deras, tubuhnya gemetar hebat di bawah cengkeraman kasar Aldo. Ia tak mampu berbuat banyak, hanya bisa meronta lemah sambil terisak, memohon belas kasihan pada Aldo.
Aldo melepaskan cengkeramannya perlahan, namun tatapannya tetap menusuk tajam. Ia kemudian menoleh ke arah dua anak buahnya yang berdiri di dekat pintu gudang, memastikan bahwa perempuan di depannya benar target yang dimaksud. Dahi Aldo berkerut, rasa ragu perlahan muncul di benaknya. Tatapan matanya beralih ke wajah Ayu yang ketakutan.
“Interogasi dia. Pastikan kita tidak salah—jangan sampai target yang sebenarnya masih berkeliaran di luar sana.”
Aldo langsung keluar gedung dan masuk kedalam mobil. Di dalam mobil, Aldo duduk termenung sebelum menyalakan mesin. Pandangannya kosong menatap ke depan, pikirannya berputar cepat menimbang apa yang baru saja terjadi.
“Tidak mungkin dia orangnya,” gumam Aldo lirih, menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Bayangan Luis muncul di benaknya — pria berpendidikan, berwibawa, dan berasal dari keluarga terpandang.
“Level Luis terlalu tinggi. Dia tidak mungkin menanam benihnya pada perempuan sembarangan,” ucapnya pelan seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Mobil melaju pelan meninggalkan area gudang. Di tengah perjalanan, Aldo merogoh ponsel dari saku jasnya, menekan nomor Isabel.
“Isabel, temui aku di rumah sakit. Kita akan menjenguk Angelina. Sekalian, aku ingin memastikan sesuatu,” katanya singkat.
Di ujung sana, Isabel langsung mengiyakan tanpa banyak bertanya. Ia tahu, jika suaminya berbicara dengan nada seperti itu, berarti sesuatu penting yang sedang dia rencanakan.
Ada sekitar tiga puluh menit perjalanan hingga mobil Aldo berbelok masuk ke area rumah sakit. Begitu kendaraan mewah itu berhenti di depan lobi utama, Isabel yang sudah menunggu Sejak tadi segera melangkah cepat menghampiri. Ia berdiri di sisi mobil, menatap suaminya yang baru keluar dengan ekspresi serius dan sedikit cemas.
Aldo menatap istrinya sekilas, lalu menutup pintu mobil tanpa sepatah kata pun. Ekspresinya dingin, pikirannya masih dipenuhi banyak hal. Isabel bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dari tatapan suaminya itu.
“Kita langsung ke kamar Angelina,” ucap Aldo datar sambil melangkah masuk ke gedung rumah sakit. Isabel mengangguk dan mengikuti di belakang.
Langkah mereka teratur menyusuri koridor rumah sakit, sesekali terdengar suara roda brankar melintas. Aroma antiseptik menusuk hidung, menambah suasana tegang di antara keduanya.
Sesampainya di depan kamar rawat VIP, Aldo mengetuk pintu perlahan lalu masuk. Di dalam, Nyonya Angelina sedang duduk di tempat tidur, ditemani oleh perawat yang tengah mengganti infusnya.
Sementara tuan Alex masih seperti biasa duduk di sofa menghadap kearah istrinya.
Melihat kedatangan mereka, Nyonya Angelina tersenyum ramah, tanpa sedikit pun curiga.
“Aldo... Isabel... akhirnya kalian datang juga,” ucapnya hangat.
Isabel segera menghampiri dengan senyum penuh kepura-puraan, lalu menggenggam tangan kakak iparnya dengan lembut.
“Bagaimana kondisi Kakak hari ini? Kami sangat khawatir,” ucapnya manis, seolah benar-benar tulus.
“Sudah lebih baik. Mungkin minggu depan aku sudah bisa pulang,” jawab Nyonya Angelina dengan nada lega.
Aldo yang sedari tadi diam melangkah mendekat tuan Alex yang duduk di sofa, ia tersenyum ramah yang terasa dipaksakan.
“Alex, apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu,” sapanya dengan nada tenang.
Tuan Alex menatap sekilas, lalu menjawab datar
“Baik.”
Balasannya singkat, dingin, tanpa sedikit pun senyum di wajah. Tatapan matanya menunjukkan ketidaksenangan yang sulit disembunyikan.
“Syukurlah kalau begitu,” ujar Aldo, mencoba menjaga suasana tetap terlihat akrab. Ia berpura-pura berbicara santai, namun perlahan nada suaranya berubah lebih serius.
“Aku dengar kabar… ada seorang perempuan yang katanya sedang mengandung anak Luis. Apa itu benar?”
Aldo menatap Tuan Alex tajam, memperhatikan setiap gerak halus di wajah pria itu—setiap kedipan, setiap tarikan napas. Ia ingin membaca reaksinya.
Dalam pikirannya, Aldo yakin Alex tidak akan membiarkan sembarang orang masuk dan mengotori garis keturunan keluarga mereka.
“Betul. Garis keturunan keluarga kami akan segera lahir. Penantian yang begitu panjang akhirnya terbayar. Aku harap, secepatnya kami bisa memboyong menantu kami ke rumah, dan memperkenalkannya secara resmi pada seluruh keluarga.”
Nada suaranya tenang, tapi sarat dengan kebanggaan—seolah keyakinannya tak tergoyahkan.
Aldo terpaku sesaat. Kata-kata itu menghantam keras di kepalanya. Bukan hanya karena isinya, tapi karena keyakinan penuh dalam suara Alex.
Aldo kembali memutar otak bagaimana memancing Alex agar tidak secepat itu mempercayai orang baru.
“Apa kalian sudah tahu dari keluarga mana dia berasal? Takutnya dia cuma memanfaatkan keluarga kalian demi harta,” tanya Aldo waspada.
Alex tersenyum tipis, walau sedikit dipaksakan.
“Untuk apa kamu sibuk memikirkan hal itu? Setelah bayi itu lahir, kami akan menyerahkan semua harta kami atas namanya,” jawab Alex tenang, penuh keyakinan.
Aldo terdiam. Harapannya untuk menguasai harta keluarga Alvaro seolah kian menjauh.
Tak lama kemudian Aldo dan Isabel berpamitan. Mereka berjanji akan datang lagi bila ada waktu luang. Setelah masuk mobil, suasana berubah. Aldo menepikan nafas, lalu menggeram pelan.
“Kurang ajar. Kalian kira semudah itu menyerahkan harta pada bayi itu? Sebelum dia melihat dunia, Dia akan kukirim ke neraka terlebih dulu,” ucap Aldo penuh amarah, suara seraknya menguap di udara saat mobil melaju meninggalkan rumah sakit.
.