NovelToon NovelToon
Candu Istri Klienku

Candu Istri Klienku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: N_dafa

"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

*

*

Ajeng terus memandangi cincin berlian yang diberikan oleh Biantara tadi siang.

Saat ini dia sudah sampai di rumah lagi, bersama teman-temannya yang lain, berikut Rendy dan Sabrina.

Tentu saja, Ajeng hanya berada di kamarnya sendiri—tanpa Rendy, seperti apa kata lelaki itu jika sudah pulang, Ajeng akan mendapatkan waktunya satu minggu penuh.

Namun, alih-alih dia merasa badmood seperti biasanya, wanita itu justru asyik sendiri dengan kegiatannya.

“Apa sih maksudnya? Apa ini bayaran buat tidur kemarin? Atau bayaran buat tidur bareng lagi?”

Ajeng memutar-mutar tempat cincin emas putih 18k dengan satu berlian besar di tengahnya, dan taburan berlian lain yang mengelilingi tangkai cincin.

“Bagus banget. Mengkilap.” Ajeng tersenyum melihat itu. “Pasti harganya mahal.”

Jujur saja, sebagai wanita, dia pun menyukai perhiasan. Hanya saja, karena Ajeng tak terlalu senang berganti-ganti aksesoris, wanita itu lebih sering tampil minimalis dengan barang itu-itu saja. Dia hanya punya dua cincin di tangannya, dan kalung emas di lehernya.

Dan ya, itu dia beli dari hasil usaha mereka selama ini. Tentu saja, Rendy pun punya reward nya sendiri dengan membeli barang-barang branded kesukaannya.

Lain halnya dengan Rendy yang konsumtif, Ajeng lebih senang menabung uang. Mungkin, memang benar apa yang Rendy katakan, jika milik Ajeng lebih banyak dari miliknya, karena wanita itu tidak terlalu konsumtif untuk hal-hal yang tidak penting.

“Kapan Mas Rendy beliin aku kayak gini?” Ajeng tersenyum miris. “Aku kalau beli apa-apa, juga dari uang bersama. Kayaknya, jarang sekali aku dikasih hadiah pakai uang Mas Rendy sendiri. Nggak kayak Sabrina. Perasaan, tiap melek mata, langsung aja minta aneh-aneh.”

Sedetik kemudian, Ajeng menghembuskan nafas panjang.

Bukan terfokus pada suami dan madunya lagi, tapi pada cincin yang belum beranjak dari tempatnya itu.

“Apa ya maksud Pak Biantara? Nggak mungkin kan, dia sampai ganti logam mulia yang diambil Sabrina cuma karena aku kesel? Kalau emang ini sebagai bayaran buat hubungan terlarang kami, seharusnya nggak apa-apa. Tapi, kalau dia sengaja memberiku harapan, aku harus gimana?”

“Huh, dasar lemah! Baru diperhatikan gitu aja udah baper.” Selanjutnya, wanita itu meluruhkan bahunya pasrah. “Tapi, Mas Rendy aja bahkan nggak pernah benar-benar peduli aku udah makan apa belum. Tapi, Pak Bian malah bela-belain bawain aku cereal biar langsung bisa dimakan. Pakai acara manjat dinding segala lagi."

Ajeng memukul-mukul kepalanya sendiri. “Duh, Ajeng… nggak boleh baper! Nggak boleh baper.”

Wanita itu meyakinkan dirinya sendiri. Namun, baru sesaat Ajeng berlagak sok tak terpengaruh, sekarang dia malah tersenyum lagi menatap cincin itu.

“Ah, coba ah!”

Ajeng mengambil cincin itu, lalu memasang di jarinya yang kosong tak berpenghuni.

“Eh, kok sempit?” Wanita itu tertawa sendiri saat berusaha memaksa cincin itu di dua jari tengahnya karena dua jari manisnya sudah ada pemiliknya.

“Ya ampun, ada-ada aja. Mana tahu dia ukuran jariku?”

Sambil terkikik, Ajeng mencoba seluruh jarinya, termasuk melepaskan cincin kawinnya dan cincinnya sendiri.

“Lah, kok pas?” Dia terkejut karena ternyata cincin itu berhasil mendesak tempat cincin kawinnya dengan Rendy. “Kok bisa?”

Ajeng memandangi heran benda di tangannya itu. Tapi, tentu  saja hanya sesaat, karena setelahnya dia malah tersenyum.

“Cantik. Kayaknya, abis ini aku akan suka sama berlian.” Gumamnya menimang-nimang benda itu. "Besok beli lagi ah. Kayaknya, gelang juga lucu. Aku nggak punya."

Angan-angan Ajeng sudah cukup menghibur dirinya sendiri. Sampai akhirnya, dia merasa mulai mengantuk dan cukup lelah.

“Ah, lepas, ah! Kalau ketahuan Mas Rendy, bisa jadi perkara nanti.”

Sayangnya, saat Ajeng hendak mengeluarkan cincin di jari manisnya itu, dia malah kesulitan hingga menimbulkan panik.

“Loh. Kok nggak bisa? Duh, gimana ini?”

Ajeng terus berusaha, tapi lucunya cincin itu tetap tak mau lepas. Bahkan, sampai jarinya memerah dan perih pun, benda itu tetap tak mau keluar.

Karena benar-benar tak bisa melepaskan sendiri, Ajeng lantas keluar dari kamarnya, bermaksud mencari bantuan seseorang.

“Monik! Mon!” Panggilnya mencari asistennya.

“Ya, Mbak? Ada apa?” Monik langsung mendekat, saat mendengar suara Ajeng

“Bantu aku yuk! Aku nggak bisa buka cincin ini.” Ajeng menunjukkan tangan kanannya.

“Wah, cantik banget. Cincin Mbak Ajeng baru?” bukannya fokus dengan permintaan Ajeng, Monik malah takjub dengan cincin itu.

“Em, i—iya.” Ajeng selalu gugup saat berbohong. “Cuma, tadi pas aku pakai kok nggak bisa dilepas lagi ya, Mon? Pakai apa ya?”

“Ngapain dilepas, Mbak? Kayaknya, nggak sempit banget kok. Bagus lagi di tangan Mbak Ajeng.”

“Ini kan tempat cincin kawinku sama Mas Rendy, Monik. Seharusnya, aku pakai cincin ini di jari manis kiri aja."

“Oh, kalau gitu ke rumah sakit aja, Mbak, lepasnya. Apa mau panggil damkar? Cuma, kalau nanti harus dirusak kan sayang Mbak cincinnya.”

“Terus, gimana dong, Mon?” Ajeng terlihat cemas.

“Ya udah sih pakai aja. Itu juga lebih bagus dari cincin kawin kalian. Besok deh, aku antar ke rumah sakit. Tapi, kalau sekarang aku lagi masih meriksa pengiriman, Mbak. Orderan masuk hari ini banyak banget.”

“Oh ya udah kalau gitu. Aku ke dokter sendiri aja.”

“Ya ampun, Mbak, nggak sabaran amat sih? Nggak sakit kan?” Monik justru menyayangkan.

“Tapi, kalau Mas Rendy protes gimana?”

“Ya bilang aja yang sebenarnya. Lagian, yakin dia mau perhatiin Mbak Ajeng?”

Melihat ekspresi Ajeng yang mendadak berubah, Monik salah tingkah.

“Em, maaf, Mbak. Tapi, aku cuma nggak mau Mbak Ajeng terlalu berharap, yang ujung-ujungnya bakal nyakitin Mbak Ajeng sendiri.” gadis belia itu menunduk tak enak hati.

Tapi, tepukan di bahunya, membuat gadis itu mendongak lagi.

“Nggak apa-apa, Mon. Makasih ya… disini, kamu yang paling peduli sama aku.”

Monik tersenyum bangga, pura-pura malu.

“Ya sudah, kalau gitu, besok sambil ke dokter, kamu temani aku ya?”

“Mau kemana, Mbak? Makan-makan sama shopping?” Tebak gadis itu dengan ceria.

“Ke notaris.” Ajeng tersenyum. “Kamu ini, pikirannya makan sama belanja terus.”

“Eh, ke notaris mau apa, Mbak?”

“Mau konsultasi pembagian usaha kita. Kalau udah selesai, aku mau gugat cerai Mas Rendy ke pengadilan.”

“Apa?!”

Jangan kira, yang memekik itu adalah Monik. Pasalnya, wanita itu baru saja membuka mulutnya, tapi belum sempat bersuara.

“Apa maksudmu, Dek?” Lanjut suara itu lagi.

Ya. Itu adalah Rendy. Tapi kali ini, Rendy datang bersama Sabrina.

“Mbak Ajeng nggak serius kan?” Belum sempat Ajeng menjawab, Sabrina sudah lebih dulu bertanya dengan suaranya yang mendayu.

“Aku serius. Kenapa?” Meskipun Ajeng sempat gugup, tapi dia tidak menunjukkan keterkejutannya.

“Jangan macam-macam kamu, Dek!” Mata Rendy melotot sampai bola matanya menonjol. Tangannya menuding istri pertamanya dengan geram.

“Kenapa, hem? Kenapa aku nggak boleh cerai dari kamu?” Tantang Ajeng, membalas pelototan Rendy.

“Kamu akan tetap jadi istriku selamanya. Aku nggak akan ceraikan kamu sampai kapanpun juga.”

“Dasar egois! Laki-laki bajingan  yang nggak punya hati!”

Rendy sudah siap mengangkat tangannya, tapi urung karena Ajeng justru memasang wajahnya. Padahal, Mobil dan Sabrina sudah sempat berteriak refleks.

“Kenapa nggak jadi mukul? Bukankan itu bisa aku jadikan bukti untuk mempermudah perceraian kita?”

“Sejak kapan kamu seperti ini? Sejak kapan kamu  berani melawan Mas, Ajeng?” Teriak Rendy sepenuh emosi.

“Sejak kamu mengingkari janjimu untuk berlaku adil. Aku menyesal membiarkanmu menikah lagi sebelum menceraikan aku.”

“Kita sudah bicara ini berbulan-bulan, Ajeng. Dan kamu setuju.”

“Aku setuju karena aku muak sama permintaanmu. Aku juga berharap banyak sama kamu untuk benar-benar berlaku adil ke aku sama ke dia.” Tunjuk Ajeng dengan geram, kepada Sabrina.

“Sudah aku bilang, Sabrina—”

“Karena dia hamil, iya?” Potong Ajeng cepat.

“Kamu tahu itu.”

“Tapi, sekarang aku nggak peduli sama alasanmu. Mau dia hamil kek, dia pingsan kek. Atau bahkan dia sekarat pun aku nggak peduli. Aku cuma mau kita bercerai!”.

“Jaga ucapanmu, Ajeng!” Rendy berteriak sama kuatnya dengan Ajeng.

1
Yunita aristya
ren2 nanti Ajeng sudah pergi baru tau rasa kamu. mau liat kamu nyesal dan jatuh miskin gara2 istri muda mu yg suka foya2😁😂
Nana Colen
luar biasa aku suka sekali karyamu 😍😍😍😍😍
Yunita aristya
lanjut kak
Nana Colen
lanjut thooooor❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍
Nana Colen
benar benar ya rumput tetangga lebih hijau 🤣🤣🤣🤣
Nana Colen
dasar laki tak tau diri 😡😡😡😡
Yunita aristya
lanjut
Nana Colen
lanjut thooooor❤❤❤❤❤
Fitri Handriayani: lanjut
total 1 replies
Nana Colen
iiiih kesel bacanya dongkol sama si ajeng.... cerai jeng cerai banyak laki yang kaya gitu mh 😡😡😡😡
Keisya Oxcel
penasaran
Yunita aristya
lnjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!