Pernikahan seharusnya membuka lembaran yang manis. Tapi tidak bagi Nayara, dia menyimpan rahasia kelam yang akhirnya merenggut kebahagiaannya.
Suaminya membencinya, rumah tangganya hampa, dan hatinya terus terjerat rasa bersalah.
Hingga suatu hari sumber masalahnya sendiri datang dan berdiri dihadapannya, laki-laki yang kini memperkenalkannya sebagai sopir pribadi.
“Sudah aku katakan bukan. Kamu milikku! Aku tidak akan segan mengejarmu jika kau berani meninggalkanku.”
Apakah Nayara akan mempertahankan rumah tangganya yang hampa atau kembali pada seseorang dimasa lalu meski luka yang ia torehkan masih menganga dihatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila_Anta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Tanpa aba-aba Bian menarik tengkuk Mona dan melahap bibirnya begitu rakus. Untuk seperkian detik wanita itu tertegun, tidak menyangka dengan apa yang atasannya lakukan.
'Apa ini? Kenapa pak Bian seperti ini.' Mona tidak berusaha menolak, karena sejujurnya dia begitu mengagumi atasannya itu sejak pertama kali bekerja dengannya.
Wanita itu pasrah, membiarkan tubuhnya dijelajahi Bian sesukanya. Hingga akhirnya keduanya benar-benar polos. Kabut gairah dan pengaruh alkohol membutakan mata dan pikiran seorang Bian hingga ia berani menyentuh wanita lain dan mengkhianati pernikahannya dengan Nayara.
Mona wanita normal dimana ia juga ikut bergairah dengan sentuhan tangan Bian yang mengeksplor disetiap jengkal tubuhnya.
Sampai akhirnya wanita itu memekik kesakitan saat Bian mulai memasuki nya. "Pak, ini sakit," rintihnya.
Bian tersentak. Ia berusaha mengumpulkan sisa kesadaran. Bayangan istrinya kini berubah menjadi sekretaris pribadinya. "Kau," cicit Bian berusaha menarik diri.
Mona terhenyak saat laki-laki yang sudah setengah jalan memasukinya itu berusaha melepaskan pusakanya yang sudah tertancap di area intinya. Dengan gerak cepat, wanita itu menarik tengkuk Bian dan melayangkan ciuman yang cukup beringas.
'Tidak bisa. Ini sudah setengah jalan. Aku tidak akan melepasmu begitu saja.'
Mona cukup lihai membangkitkan kembali hasrat Bian yang tadi sempat meredup. Akhirnya pergulatan haram mereka tidak bisa dihindari lagi.
Untuk saat ini Mona hanya bisa mengcengkram seprei dengan kuat untuk mengalihkan rasa sakit saat Bian benar-benar mengoyak mahkota yang begitu ia jaga sebelumnya.
Lelehan air keluar dari ujung mata tapi sudut bibirnya tersenyum menyeringai.
Bian yang berada di atas tubuh Mona sudah tidak perduli dengan siapa ia saat ini. Yang jelas ia begitu menikmatinya. Sensasi yang berbeda benar-benar membuatnya dimabuk kepayang.
"Kau benar-benar nikmat," desisnya dengan suara serak.
Tentu saja Mona menyunggingkan senyumnya. Ia rela menyerahkan mahkotanya untuk tujuan yang menguntungkan dirinya nanti.
Hingga beberapa saat Bian terkulai lemas saat berhasil menggagahi seorang wanita dan menyemburkan benihnya.
Malam itu keduanya tertidur dengan suasana hati yang berbeda. Malam semakin larut hingga kejutan esok pagi akan mengguncang mereka.
* * *
Berbeda dengan tempat lain. Malam ini Nay tidak bisa tidur setelah ia terbangun karena mimpi yang membuatnya gelisah.
"Ya Tuhan, aku bermimpi. Dan kenapa hatiku menjadi gelisah seperti ini." Keringat dingin bercucuran di keningnya. Nafasnya memburu dengan dada naik turun.
Ia mengambil air minum yang berada tidak jauh dari jangkauannya. Dalam sekali tegukan, air putih itu tandas tak bersisa.
Nay termenung mencoba mengingat mimpi yang seperti benang kusut. Mencoba mengurai dan menelaah artinya.
"Tadi aku bermimpi sedang naik perahu dengan suamiku. Dan tiba-tiba perahunya hampir tenggelam. Kami selamat karena seseorang membantu kami tapi sendal kaki kananku hanyut terbawa arus. Tapi. . . Siapa seseorang itu?"
Nay mencoba mengingat wajah seseorang yang membantunya agar tidak terjatuh dari atas perahu. Nihil, wajahnya terlihat samar tapi yang jelas dia seorang laki-laki.
"Semoga ini bukan pertanda buruk." Gadis itu menengadahkan kedua tangannya. "Tuhan. Tolong jaga suamiku di manapun ia berada dan selamatkan dia dari marabahaya," pintanya tulus.
Nay mengusap dada untuk menetralkan debaran jantung dan mengalihkan prasangka buruknya. Gadis itu tertegun sekian lama.
"Dia memintaku untuk merenungi semua sikapku selama ini dan dia bilang ingin memulai semuanya dari awal. Apa dia benar-benar sudah memaafkanku? Dan menginginkan awal dari hubungan kami," gumamnya lirih dengan pandangan lurus ke depan.
Gadis itu menarik nafasnya panjang. "Baiklah. Jika itu yang ia inginkan. Aku juga menginginkan kehidupan yang normal. Membina rumah tangga yang layak dan bisa dicintai lagi," ucap Nay penuh harap.
Ia akan mencoba menaruh harapan untuk awal hubungannya kali ini dengan Bian. Senyum samar terbit dari sudut bibirnya dan ia kembali tertidur dengan perasaan yang sulit ia jabarkan sendiri.
* * *
Sinar matahari terasa hangat menerpa wajah salah satu penghuni kamar hotel. Bias cahayanya menembus celah tirai yang sedikit terbuka. Kelopak matanya mengerjap pelan hingga akhirnya benar-benar terbuka.
Bian terduduk memegangi kepalanya yang terasa pusing. Beberapa kali ia menggeleng sampai akhirnya tersentak saat melirik ke samping tempat tidurnya.
Seorang wanita yang masih tertidur pulas dengan posisi membelakangi. Punggung polosnya terekspos saat selimutnya tersibak.
"Sial! Apa yang sudah aku lakukan semalam," umpatnya.
Suaranya yang cukup keras mampu membangunkan Mona yang akhirnya ikut terbangun.
Wanita itu terduduk dengan mengucek kedua matanya. "Pak, anda sudah bangun?"
Bian mengerutkan kening. "Apa kau tidak merasa kita sudah melakukan kesalahan semalam?"
Wanita itu terlihat terkejut atau hanya pura-pura terkejut. Kedua tangannya mengeratkan selimut yang sengaja ia lilitkan di tubuhnya. Ia menunduk. "Bapak yang memulainya," gumaman yang hampir terdengar oleh telinganya sendiri.
"Kau tahu bagaimana keadaanku semalam. Kau yang waras. Seharusnya kau berusaha menolak," sentak Bian.
"Tapi, semua itu sudah terjadi. Apa bapak ingat, semalam anda begitu menikmatinya," cetus Mona yang tidak bisa disanggah oleh Bian sendiri. "Aku hanya ingin bapak bertanggungjawab."
Bian menajamkan matanya. "Aku sudah menikah. Aku tidak bisa bertanggung jawab untuk kejadian semalam, tapi jika uang, aku akan memberimu berapapun yang kamu minta," tegasnya.
Tatapan Mona terhunus. "Uang? Saya bukan wanita murahan yang biasa menjajakan tubuhnya untuk laki-laki hidung belang," ucapnya tajam. "Dan anda tahu sendiri, bahwa semalam saya masih perawan."
Laki-laki itu tidak mengelak, karena memang itu yang ia rasakan. Dan untuk pertama kalinya ia merasakan sensasi yang menurutnya luar biasa.
"Jadi, apa yang kau inginkan."
"Menikahiku. Bapak harus secepatnya menikahiku. Sebelum benih anda benar-benar bersemayam di dalam rahimku," tegas Mona.
"Arrrrghh, sial!" Bian mengacak rambutnya frustasi. "Aku tidak yakin kau akan hamil."
Tentu saja Mona naik pitam. "Berapa kali anda menyemburkan benih ke dalam rahim saya, pak. Dan anda tidak bisa menyangkalnya kali ini, karena semalam anda tidak memakai pengaman."
Bian tetap berusaha untuk menolak. "Aku sudah menikah, Mona! Dan aku tidak bisa mengkhianati pernikahan kami." Suara Bian memenuhi seluruh ruangan.
Mona tersenyum remeh. "Apa dengan kejadian semalam, anda tidak merasa sudah mengkhianati istri anda?"
Telak. Perkataan Mona membungkam mulutnya.
Bian menyibakkan selimutnya lebar, lalu ia turun dari ranjang dan memungut celananya yang sejak semalam teronggok di lantai.
"Kita harus segera pulang. Kita pikirkan jalan keluarnya nanti," ucapnya acuh.
Wanita itu terkesiap dengan reaksi acuh Bian. Mona ikut turun dari ranjang dan membenturkan kedua lututnya di lantai. Gadis itu kini bersimpuh dengan melingkarkan tangannya di kaki Bian.
"Tidak, pak. Jangan lakukan ini padaku. Kumohon, kasihanilah aku yang hanya sebatang kara ini. Jika bapak tidak mau bertanggungjawab, lalu bagaimana kehidupanku kedepannya. Hiks," bujuknya dengan lelehan air mata.
"Setelah ini, apa akan ada laki-laki yang mau menerima keadaanku yang sudah tidak suci lagi. Selama ini aku sudah menjaganya hanya untuk calon suamiku. Tapi, karena kejadian semalam, aku harus kehilangan satu-satunya harta berhargaku. Hiks. . . Hidupku sudah hancur saat ini." Kali ini disertai isakan yang mampu membuat Bian tertegun.