Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.
Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!
Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”
Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
0 Prolog 3
Perjalanan menuju desa memakan waktu hampir setengah hari.
Tuan Bao berjalan tanpa banyak bicara. Setiap langkahnya tenang, mantap, dan entah bagaimana… tidak meninggalkan jejak.
Aku berusaha mengimbangi, tapi jalannya penuh akar dan bebatuan. Beberapa kali aku hampir jatuh, tapi pria tua itu tak sekalipun menoleh.
Di sepanjang jalan, aku melihat hal-hal yang sebelumnya hanya kubaca di novel atau game.
Pepohonan tinggi menjulang, beberapa mengeluarkan cahaya samar di batangnya. Serangga berukuran sebesar kepalan tangan melintas di udara, membawa butiran cahaya dari bunga ke bunga.
Dan di kejauhan, gunung-gunung raksasa berdiri dengan kabut berputar di puncaknya — seolah dunia ini tak pernah tidur.
Sesekali aku bertanya, tapi jawabannya selalu singkat.
> “Apa itu tadi, yang terbang di atas?”
“Burung Roh. Jangan dekati.”
> “Tanaman yang menyala itu bisa dimakan?”
“Kalau kau ingin perutmu meledak, silakan.”
Aku mulai mengerti: pria ini tidak banyak bicara, tapi tahu banyak hal.
Dan meski wajahnya tampak keras, ada sesuatu di balik matanya yang terasa… tenang.
Menjelang sore, kami keluar dari hutan dan menuruni lereng yang terbuka.
Dari atas bukit, aku melihatnya — desa kecil di lembah, diapit sungai yang mengalir jernih dan sawah hijau berundak. Asap tipis mengepul dari cerobong-cerobong kecil, dan di kejauhan, anak-anak berlari di jalan tanah sambil tertawa.
“Selamat datang di Muqing,” kata Tuan Bao datar.
“Kalau kau ingin hidup, mulai dari sini.”
Aku menatap pemandangan itu lama, mencoba memahami bahwa semua ini nyata.
Dunia baru. Orang baru. Hidup baru.
Dan untuk pertama kalinya sejak truk itu menabrakku — aku merasa… mungkin, aku diberi kesempatan kedua.
Awal di Desa Muqing
Hari-hari pertamaku di Desa Muqing berjalan lambat tapi damai.
Tuan Bao memberiku tempat di rumahnya — rumah kayu sederhana di pinggir desa, penuh dengan rak berisi ramuan, botol kaca, dan gulungan bambu.
Pekerjaannya adalah tabib, tapi dari cara orang-orang menghormatinya, aku tahu dia bukan sembarang tabib.
Setiap pagi, kami berjalan keluar untuk mencari tanaman obat di sekitar hutan.
Aku membawa keranjang, dia membawa pisau kecil dan pengetahuan yang seolah tak ada habisnya.
Kadang ia menjelaskan sesuatu, dan entah kenapa aku bisa mengerti walau banyak istilah yang terdengar asing.
“Setiap tumbuhan di sini hidup dari qi dunia,” katanya suatu hari sambil menunjuk daun yang berkilau halus.
“Tanah, udara, dan langit—semuanya bernafas. Kau akan tahu, kalau mulai mendengarnya.”
Aku tidak benar-benar paham, tapi aku mulai merasakannya.
Setiap kali aku diam, aku bisa mendengar bunyi halus, seperti dengungan yang datang dari jauh — dari dalam bumi, mungkin dari dalam diriku juga.
Malam-malam di Muqing sunyi tapi indah. Langit penuh bintang besar yang berputar pelan, seolah alam semesta di sini punya ritme sendiri. Kadang aku duduk di depan rumah, menatap cahaya itu sambil memikirkan kehidupanku yang dulu… dan betapa jauhnya aku telah pergi.
Sudah hampir seminggu aku tinggal di Muqing.
Penduduknya ramah, sederhana, dan tidak banyak bertanya tentang masa laluku. Mereka hanya tahu aku “diselamatkan oleh Tuan Bao di hutan”, dan itu sudah cukup bagi mereka.
Namun entah kenapa, setiap malam saat angin berembus di antara pepohonan, aku merasa ada sesuatu yang memanggil dari kejauhan.
Bukan suara, bukan bisikan—lebih seperti perasaan.
Sebuah tarikan halus yang membuat dadaku sesak setiap kali aku menatap arah hutan itu.
Rumah tua tempat aku pertama kali terbangun…
Tempat di mana aku hampir mati, tapi juga tempat pertama kali aku merasa hidup di dunia ini.
Suatu malam, setelah makan malam bersama Tuan Bao, aku memberanikan diri untuk bicara.
“Tuan Bao… kalau boleh, aku ingin tinggal di rumah itu saja. Yang di hutan.”
Ia menatapku lama, tanpa berkata apa pun.
Matanya tajam seperti sedang membaca pikiranku. Akhirnya ia menarik napas panjang dan berkata,
“Tempat itu… bukan rumah biasa. Tapi kalau kau merasa tenang di sana, pergilah. Dunia ini akan mengajarkanmu dengan caranya sendiri.”
Aku membungkuk dalam-dalam sebagai tanda hormat, lalu keesokan paginya, aku kembali ke hutan.
Rumah itu masih sama.
Atapnya miring, dindingnya kusam, tapi ada sesuatu di dalamnya yang terasa… hangat, seperti menyambutku pulang.
Burung-burung aneh kembali berkicau di kejauhan, dan cahaya matahari pagi menembus celah dedaunan, menciptakan garis-garis emas di lantai kayu yang berdebu.
Aku tersenyum kecil.
“Yah… sepertinya, mulai hari ini ini rumahku.”
Hari-hari berikutnya berjalan perlahan.
Aku membantu Tuan Bao di desa saat siang, lalu kembali ke hutan saat sore.
Kadang aku duduk di beranda, memandangi kabut yang menari di antara pepohonan.
Kadang aku berbicara sendiri, atau mencatat hal-hal kecil tentang dunia ini di potongan kayu, seolah menulis jurnal yang tak akan dibaca siapa pun.
Namun setiap malam, ketika langit Tianxu memancarkan cahaya ungu lembutnya, aku selalu merasa dunia ini… menyimpan sesuatu yang besar.
Seolah menungguku untuk menemukan jawabannya.
Dan di sanalah, di tengah hutan yang tenang dan penuh misteri itu—
seorang pemuda dari dunia lain mulai menulis kisah barunya, perlahan tapi pasti.
(Narasi bergeser perlahan menjadi orang ketiga.)
Di lembah sunyi Tianxu, di antara kabut dan cahaya spiritual yang mengalir lembut di udara,
hidup seorang pemuda bernama Shen Hao, yang memilih kesunyian di tengah hutan sebagai tempat tinggalnya.
Ia belum tahu bahwa pilihan sederhana itu—untuk tetap di rumah tua yang “memanggil” dirinya—
akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar takdir seorang pendatang.
---
Di sebuah danau tenang di lembah barat Muqing, seorang pria duduk santai di atas batu besar yang menjorok ke air.
Ia mengenakan topi jerami usang, dagunya bersandar di telapak tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang sebatang pancing bambu sederhana.
Tali pancingnya menembus permukaan air yang jernih, memantulkan langit biru pucat Tianxu yang berhiaskan kabut tipis.
Di sebelahnya, sebuah ember kayu berisi tiga ekor ikan kecil yang masih menggeliat lemah.
Shen Hao menatap mereka dengan pandangan datar, lalu mendesah pelan.
“Haaah… tiga ekor ikan setelah dua jam. Dunia ini sungguh luar biasa, tapi hasil pancingannya tetap menyedihkan.”
Angin lembut berembus, membuat permukaan danau beriak kecil.
Rambut hitamnya yang sedikit panjang bergerak mengikuti arah angin, sementara mata ungunya — aneh dan tidak umum di antara penduduk Muqing — menatap jauh ke air.
Sudah dua tahun ia tinggal di dunia ini.
Dua tahun sejak “truk klasik” itu menabrak dan mengirimnya ke tempat yang bahkan tak bisa ia bayangkan.
Sekarang, di usia dua puluh dua tahun, Shen Hao sudah terbiasa dengan kesunyian ini.
Ia menepuk-nepuk batu di bawahnya pelan.
“Dulu aku cuma ingin hidup tenang, gak nyangka benar-benar bisa tenang sampai begini…” gumamnya dengan nada setengah malas.
Seekor ikan besar tiba-tiba melompat dari air, percikan beningnya membasahi wajah Shen Hao.
Ia hanya berkedip sekali, lalu menatap ikan itu yang kembali menghilang ke dalam air.
“…Tapi bukan berarti aku minta hiburan kayak gitu.”
Ia menyandarkan pancingnya di samping batu, lalu berbaring telentang, menatap langit Tianxu yang perlahan berubah warna karena kabut spiritual sore.
Awan-awan tipis tampak berkilau samar, seperti butiran perak yang mengambang di udara.
Setiap kali melihat pemandangan itu, Shen Hao selalu diingatkan bahwa dunia ini bukan Bumi.
Udara di sini terlalu bersih, warna-warnanya terlalu hidup, dan semuanya terasa… terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Seekor kupu-kupu bercahaya melintas di atas wajahnya.
Shen Hao menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Kalau dunia ini memang nyata… mungkin aku harus mulai hidup beneran di sini.”
Ia bangkit perlahan, meraih pancingnya, dan menatap air yang memantulkan bayangan dirinya.
Di permukaan itu, ia melihat bukan lagi pemuda bumi yang biasa, tapi seseorang dengan mata ungu yang dalam — seperti menyimpan sesuatu yang lama tertidur.