"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
“Halo, sayang. Bagaimana, apakah kita akan melakukan pra-wedding?” tanya Sinta.
Riko memegang kepalanya, terlihat sangat pusing.
“Sinta, kamu kan kuliah di Manajemen Bisnis. Kamu pasti mengerti laporan keuangan, bukan? Kamu bisa kesini nggak? Aku pusing banget dengan laporan keuangan tokoku,” ucap Riko.
“Aku nggak bisa … aku pusing lihat angka-angka,” jawab Sinta enteng.
“Loh, emangnya kamu kuliah ngapain saja? Biasanya Hana yang mengerjakan, tapi sekarang Hana sudah tidak mau lagi mengurusnya,” jelas Riko kesal.
“Sudahlah, toko itu urusan kamu. Sekarang bagaimana dengan persiapan pernikahan kita? Kamu sudah menghubungi pihak hotel belum? Biasanya harus dibooking jauh-jauh hari. Belum lagi catering, dekorasi, penata rias, gaun pengantin, baju keluarga … semua sudah kamu urus belum?” tanya Sinta, memberikan pertanyaan membabibuta pada Riko.
“Stop, Sinta … aku pusing dengarnya. Tokoku sedang banyak masalah, kamu malah memberiku masalah,” ucap Riko kesal.
“Terus kenapa? Apa kamu mau lari dari tanggung jawab? Kalau kamu seperti itu, aku akan bilang rahasia kita ke adikmu!” ancam Sinta.
“Sudahlah, Nani, aku kabari,” jawab Riko.
Akhirnya sambungan terputus.
“Aku harus cari accounting kalau begini … pusing aku menghitung laba-rugi kalau seperti ini terus. Tapi bayarnya pasti mahal juga,” gumam Riko.
Sekarang dia baru merasa bahwa kehilangan Hana adalah kerugian terbesarnya. Semuanya terasa mentok … seolah tidak menemukan jalan kelua
..
Riko kembali ke rumah orang tuanya. Pas saat Riko sampai, Mila dan Heri tampak akan keluar rumah.
“Mau kemana, Pak?” tanya Riko.
“Mamak dan Bapak mau kondangan,” jawab Heri.
“Pak … pinjamilah aku uang, Pak. Pusing kepalaku, Pak … pernikahanku sebentar lagi,” ucap Riko dengan nada melas.
“Ah, kau ini, jangan banyak bergaya. Kalau nggak ada uang, nikah saja di KUA,” jawab Heri dengan ketus.
“Yah, malu dong, Ayah … Ayah kan kaya, banyak duit. Masa nikah di KUA saja? Apa kata dunia?” ucap Riko kesal.
“Hey … ku tanya pada kau, kaya mana kau sama Mak Jumbeg?” tanya Heri.
“Siapa itu, Pak? Ngarang saja, Bapak,” jawab Riko.
“Itu loh, yang punya Facebook,” jelas Heri.
“Ya, kaya dia, ah … Bapak ini ada-ada saja,” ucap Riko sambil menggeleng.
“Nah … dia saja menikah di belakang halaman rumah, dengan tenda sederhana. Kau siapa, ha? Kalau nggak punya uang, kebon Bapak masih luas, tinggal kau pasang tenda, suruh orang kampung masak, panggil itu artis dangdut … jadilah nikah. Ngapain kau nikah di hotel? Habis duit saja … kenyang enggak, pusing iya!” ucap Heri kesal.
“Sudahlah … Bapak mau pergi. Kalau mau tetap nikah di hotel, suruh keluarga Sinta yang bayar semuanya. Kalau nggak mau keluar uang, nikah saja di KUA. Nanti Bapak yang bayar kalau nikah di KUA,” ucap Heri tegas.
“Ih … Bapak nyebelin!” ucap Riko kesal.
Heri dan Mila melangkah menuju mobilnya. Mereka sebenarnya mampu membuat acara di hotel, namun bagi mereka itu adalah pemborosan. Hanya sekadar resepsi, buat apa mewah-mewah? Heri dan Mila adalah tipikal orang kaya yang nggak mau banyak gaya. Andai mereka tidak menggunakan mobil mewah, mungkin orang akan melihat mereka seperti orang yang tidak punya apa-apa.
Riko kesal. Ia masuk ke rumah orang tuanya sambil bergumam, “Pelit … pelit.”
Riko menghempaskan tubuhnya di sofa. Toko yang banyak masalah, Sinta yang terus menerus menuntutnya … semua membuat kepalanya terasa seperti mau pecah.
Kemudian Riko melihat ke kamar orang tuanya yang tidak terkunci.
“Ah, ini kesempatan,” ucap Riko.
Riko mengendap-ngendap berjalan menuju kamar tersebut. Ia membuka satu per satu lemari, dan di salah satu lemari ia melihat tumpukan sertifikat.
“Ah, dasar pelit kali kau, Pak. Kalau Bapak tidak mau meminjamkan aku, maka aku akan mencurinya,” gumam Riko.
Kemudian Riko mengambil satu sertifikat dan memasukkannya ke balik bajunya. Setelah itu, ia mengendap-ngendap keluar dari kamar orang tuanya.
….
Kehidupan Hana berjalan santai akhir-akhir ini, tidak seperti biasanya. Setiap hari, Hana harus bangun lebih pagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah, belum lagi pikirannya yang selalu berputar mengelola uang agar bisa membiayai kebutuhan ayah, ibu, dan adiknya.
Sore hari, Hana keluar dari showroom, dan Andri sudah menunggunya.
“Hana, jalan yuk?” ajak Andri.
“Jalan ke mana?” tanya Hana.
“Ya, ke mana saja … ada hal yang harus aku sampaikan sama kamu,” ucap Andri.
“Baiklah, aku pulang dulu ke kosan, ya,” jawab Hana. Lagipula, dia sekarang tidak ada kegiatan; hidupnya jadi lebih santai setelah memilih ngekos.
“Tidak usah. Kamu taruh saja motor di sini. Di sini ada penjaganya, kan?” ucap Andri.
“Kenapa buru-buru sekali?” ucap Hana.
“Ya, aku nggak mau kamu kecapekan,” jawab Andri.
“Baiklah, kalau begitu,” ucap Hana.
Hana melangkah mengikuti Andri. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata perempuan yang menyaksikan semuanya dengan tatapan tajam.
Di sebuah taman, Andri berhenti.
“Mau ke mana kita?” tanya Hana.
“Kita nikmati senja terbenam, Hana, di tepi danau,” jawab Andri.
“Hana …” ucap Andri.
“Ya?” jawab Hana.
“Hana … bukankah kita satu nasib? Bagaimana kalau kita menjalin hubungan serius?” ucap Andri.
“Kamu nembak aku?”
“Hehe … mungkin begitu ya. Salah ya?”
“Enggak … lucu aja. Kita baru saja dikhianati, masa kita sudah menjalin hubungan saja,” ucap Hana sambil tersenyum.
“Hana, aku mohon sama kamu, jangan senyum,” ucap Andri.
“Kenapa, emang?” tanya Hana.
“Nanti malam aku nggak bisa tidur karena ingat senyum kamu.”
“Hahaha … kamu kebanyakan baca novel, ya?”
“Iya … tapi tak pernah tamat.”
“Kenapa? Setiap mendekati akhir, aku takut hubungan kamu dan aku juga berakhir.”
“Hahaha … kamu belajar gombal dari mana?” tanya Hana.
“Dari senyum kamu … senyummu selalu membuatku bertanya pada Google,” ucap Andri.
“Tanya apa?” Hana penasaran.
“Rayuan apa hari ini untuk Hana.”
“Ah, kamu tidak orisinal … nanti kamu nggak lulus oleh tim editor loh.”
“Tak masalah, yang penting aku lulus di hatimu,” ucap Andri.
“Hahaha … kamu lucu ya,” ucap Hana.
“Hana … bagaimana? Kita sama-sama terluka. Bagaimana kalau kita saling mengobati?” ucap Andri, sekarang sudah mulai serius.
“Maaf, Andri … tolong beri aku waktu. Untuk sekarang, aku hanya ingin sendiri. Kita belum saling mengenal. Aku takut kamu hanya jadi pelarianku, begitu juga kamu ke aku. Aku takut kamu menjadikan aku sebagai pelarian karena kamu kecewa,” ucap Hana.
“Baiklah, Hana … sudah magrib, ayo kita pulang,” ucap Andri.
Hana diantar andri ke kosannya,
“Loh, kok motorku sudah ada di sini?” tanya Hana.
“Hehe, tadi supirku yang bawa,” jawab Andri.
“Loh … kuncinya kan aku yang pegang,” Hana heran.
“Hehe … aku punya kunci duplikatnya,” jawab Andri.
“Wah, gawat nih … kalau motorku hilang, pasti pencurinya kamu,” Hana tersenyum pada Andri.
“Kalau hatiku yang hilang, pasti kamu yang mencurinya,” ucap Andri.
“Hahaha, kenapa, emang?”
“Karena separuh hatiku sudah ada di kamu.”
“Mulai gombal … sudahlah, selamat malam,” ucap Hana.
“Selamat malam, sayang,” jawab Andri.
Hana memutar matanya malas, namun ada senyum samar di wajahnya