NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 13

Malam di Pondok Nurul Falah tidak pernah benar-benar sunyi. Dari luar, orang mungkin hanya melihat barisan bangunan kayu dan tembok yang sederhana, dengan cahaya lampu minyak yang temaram di beberapa sudut. Tetapi di dalam, setiap lorong, setiap kamar, dan setiap hati santri masih bergemuruh setelah peristiwa siang tadi.

Kabar tentang terbongkarnya kebohongan Wulan dan Rani menyebar lebih cepat daripada angin yang berhembus. Dari kamar depan hingga ke asrama paling ujung, semua orang membicarakan hal yang sama. Nama Dilara kembali jadi sorotan, kali ini bukan lagi sebagai tertuduh, melainkan korban fitnah. Namun rasa lega itu masih bercampur dengan kegelisahan, karena semua tahu—Wulan bukan tipe yang mudah menyerah.

Di kamar santri putri, Dilara duduk termenung di pojok ranjangnya. Wajahnya pucat, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Salsa duduk di sebelahnya, memegangi tangan sahabatnya erat-erat. Dewi dan Mita menggelar sajadah kecil, membaca wirid dengan suara lirih, berharap suasana kamar mereka kembali teduh.

“Lar, jangan nangis lagi… sudah, ya. Semua orang sekarang tahu kamu nggak salah,” bisik Salsa lembut.

Dilara menoleh dengan mata berkaca. “Tapi Sal… kenapa aku merasa kayak masih dicurigai? Waktu aku jalan ke kamar mandi tadi, aku lihat ada yang bisik-bisik sambil melirik ke arahku. Rasanya kayak… kayak mereka masih ragu.”

Salsa menggigit bibir. Ia tahu apa yang Dilara rasakan benar. Tidak semua santri bisa begitu saja menghapus keraguan yang terlanjur tumbuh. Fitnah memang cepat menempel, sementara kebenaran butuh waktu lebih lama untuk dipercaya.

“Biarlah, Lar. Yang penting Allah tahu, Ummi tahu, Gus Zizan juga tahu. Kamu nggak sendirian.”

Dilara terisak, menutup wajah dengan tangan. “Aku capek, Sal. Rasanya… aku ingin pulang saja. Aku nggak kuat kalau harus terus begini.”

Salsa langsung meraih bahunya. “Jangan ngomong begitu! Kalau kamu pulang sekarang, berarti Wulan menang. Dia pasti senang banget lihat kamu nyerah. Jangan kasih dia kesempatan itu.”

Ucapan Salsa menusuk hati Dilara. Benar, kalau ia pergi sekarang, fitnah Wulan akan dianggap berhasil. Tapi hatinya yang rapuh benar-benar goyah.

Dewi menghentikan bacaannya, lalu mendekat. “Lar, aku tahu kamu masih sakit hati. Tapi ingat, Allah nggak tidur. Setiap fitnah, setiap air mata kamu, semua dicatat. Jangan pernah berpikir kamu sendirian.”

Dilara hanya bisa menangis pelan.

Di sudut lain, Mita berbisik pada Salsa. “Aku takut, Sal. Kalau Wulan dendam, bisa bahaya buat Dilara. Kamu lihat tadi, tatapan matanya kayak mau makan orang.”

Salsa mengangguk. Ia sendiri merasa hal yang sama. Malam ini mungkin hanya permulaan.

Sementara itu, di kamar lain yang lebih sepi, Wulan duduk di ranjang dengan wajah tegang. Rambutnya ia kepang seadanya, matanya merah karena menahan amarah. Di depannya, dua orang santri yang selama ini dikenal dekat dengannya—Siska dan Malika—duduk bersila, menatapnya penuh penasaran.

“Wul, kamu beneran mau balas dendam?” tanya Malika ragu.

“Bukan mau lagi. Aku harus,” jawab Wulan dingin. “Rani sudah hancurin rencana aku. Kalau dia bisa berkhianat sekali, dia bisa berkhianat lagi. Dan Dilara… dia nggak boleh hidup tenang setelah semua ini. Aku akan pastikan dia tetap jadi bahan omongan di pondok ini.”

Siska menelan ludah. “Tapi… Ummi Latifah sudah tahu kejadian sebenarnya. Kamu nggak takut, Wul? Kalau kamu ketahuan lagi, bisa-bisa kamu beneran dikeluarin.”

Wulan menatap Siska tajam. “Makanya kita harus lebih hati-hati. Aku sudah ada cara. Kalian mau ikut atau tidak?”

Malika dan Siska saling pandang. Mereka tahu Wulan licik, tapi juga pintar memanipulasi keadaan. Kalau mereka menolak, bisa-bisa mereka jadi target berikutnya.

“Aku ikut, Wul… tapi jangan keterlaluan,” bisik Malika.

Wulan tersenyum miring. “Sudah terlambat untuk itu.”

Di sisi lain, Rani masih terisak di kamar kecil dekat dapur. Ia sengaja menjauh dari kamar asrama karena tidak tahan mendengar bisik-bisik teman-temannya. Sejak pengakuannya tadi siang, banyak yang mulai menjauhinya. Ada yang kasihan, tapi lebih banyak yang menganggapnya sebagai pengkhianat.

Rani menggenggam tangannya erat-erat. “Ya Allah… aku nggak sanggup… aku salah besar…”

Ia masih bisa merasakan tatapan penuh kebencian dari Wulan tadi. Tatapan itu menempel di benaknya, membuatnya sulit tidur. Dalam hatinya, ia tahu Wulan tidak akan tinggal diam. Dan ia takut—sangat takut.

Langkah kaki terdengar dari arah lorong. Rani cepat-cepat menghapus air mata, tapi terlambat. Gus Zizan sudah berdiri di depan pintu, menatap lurus ke depan dengan sorot prihatin.

“Rani,” ucapnya lembut.

Rani menunduk. “Maaf, Gus… saya sudah bikin kekacauan besar.”

Gus Zizan berjalan, duduk di jarak yang satu meter padanya. “Kesalahanmu memang besar. Tapi lebih besar lagi kalau kamu nggak mau bertobat. Aku lihat tadi siang, kamu sudah berani jujur meski terlambat. Itu langkah pertama.”

Rani menggigit bibir. “Tapi saya takut, Gus. Wulan pasti benci saya. Kalau dia balas dendam, bagaimana?”

Gus Zizan menghela napas panjang. “Rasa takut itu wajar. Tapi jangan biarkan rasa takut membuatmu kembali berbohong atau tunduk pada ancaman. Kalau kamu benar-benar ingin berubah, kamu harus siap menghadapi akibatnya.”

Rani terisak lagi. “Saya… saya nggak tahu bisa sekuat itu atau nggak.”

Gus Zizan menganggukkan kepalanya. “Kalau kamu mau, saya akan bantu. Tapi keputusan ada di tanganmu, Rani.”

Rani menatapnya dengan mata sembab. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit harapan.

Malam semakin larut. Hanya suara jangkrik dan angin malam yang terdengar dari balik jendela. Di kamar rahasianya, Wulan masih belum bisa tidur. Ia duduk menulis sesuatu di kertas kecil, matanya penuh perhitungan.

“Kalau aku bisa bikin Dilara kelihatan salah lagi… meskipun cuma sekali… semua orang bakal ragu lagi. Sekali orang ragu, selamanya mereka nggak akan percaya penuh.”

Ia melipat kertas itu, lalu menyelipkannya ke bawah bantal. “Besok malam, aku harus mulai. Dan Rani… dia juga harus dapat pelajarannya.”

Wulan tersenyum dingin, lalu memejamkan mata. Namun di dalam hatinya, api dendam semakin menyala.

Pagi datang dengan suara ayam berkokok dan langkah-langkah santri menuju masjid untuk shalat Subuh. Kabut tipis masih bergelayut, seolah pondok ini diselimuti rahasia yang belum selesai.

Dilara ikut berjalan ke masjid bersama Salsa. Beberapa santri menatapnya dengan wajah penuh rasa bersalah, sebagian lagi masih menyimpan keraguan. Tapi setidaknya, tidak ada lagi yang terang-terangan menuduhnya.

Setelah Subuh, Ummi Latifah memberikan pengumuman. “Mulai hari ini, setiap kegiatan santri akan diawasi lebih ketat. Tidak boleh ada yang keluar malam tanpa izin, tidak boleh ada yang menyimpan barang aneh di gudang. Dan ingat, siapa pun yang coba-coba membuat fitnah lagi, hukumannya berat.”

Santri-santri mengangguk, meski beberapa wajah tampak tidak puas.

Di barisan belakang, Wulan menunduk dalam-dalam. Dalam hatinya, ia mencibir. Pengawasan ketat tidak akan menghentikanku.

Hari itu berjalan seperti biasa—belajar, mengaji, membersihkan halaman. Tapi di antara rutinitas itu, ketegangan masih terasa. Dilara mencoba menata hati, meski masih sering merasa was-was. Rani lebih banyak menyendiri, takut didekati siapa pun.

Di sore hari, ketika matahari mulai condong ke barat, Salsa melihat sesuatu yang aneh. Ia sedang mengambil air wudhu ketika melihat Wulan berbisik-bisik dengan Siska di dekat sumur. Wajah mereka serius, seperti sedang membicarakan sesuatu yang tidak biasa.

Naluri Salsa langsung curiga. Ia kembali ke kamar, lalu berbisik pada Dewi. “Aku curiga Wulan lagi nyusun rencana.”

Dewi mengernyit. “Rencana apa lagi?”

“Aku nggak tahu. Tapi kita harus jaga Dilara baik-baik.”

Dewi mengangguk setuju.

Malam berikutnya, kejadian aneh kembali mengguncang pondok. Sekitar pukul dua dini hari, beberapa santri mendengar suara gaduh dari arah musholla kecil di belakang pondok. Ketika mereka berlari ke sana, mereka mendapati sebuah kain putih terbentang di lantai, penuh dengan noda merah seperti darah.

Santri-santri menjerit, sebagian lari memanggil Ummi. Dalam hitungan menit, seluruh pondok sudah geger lagi.

Dan seperti yang sudah bisa diduga, nama Dilara kembali disebut-sebut.

“Jangan-jangan ini ulah dia lagi…” “Aku sudah bilang, aura dia itu beda…”

Dilara sendiri kaget setengah mati. Ia bahkan baru bangun ketika Salsa mengguncang tubuhnya dan memberitahu kabar itu.

“Lar, ayo cepat! Ada yang taruh kain berdarah di musholla!”

Wajah Dilara langsung pucat. “Ya Allah… ini pasti kerjaan Wulan lagi…”

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!