Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Tuduhan Arbelista.
Bab 13. Tuduhan Arbelista.
Dalam keheningan yang mengikuti proklamasi kemenangan Jeno, sebuah aura yang berbeda mulai mengalir di arena, aura kemarahan yang dimurnikan oleh keyakinan fanatik. Di antara penonton yang masih terdiam dalam syok, seorang pria bangkit dari tribun kehormatan dengan gerakan yang penuh kekuatan primordial.
Kesatria Suci Arbelista, nama yang pernah bergema sebagai Pedang Terang Kerajaan Lumina, ia tidak bisa menahan amarah yang mendidih dalam jiwanya ketika melihat idolanya dipermalukan. Tubuhnya yang tinggi dan tegap bergetar dengan kemarahan yang bukan hanya personal, tapi menyangkut harga diri. Ini bukan sekedar kekalahan seorang rekan, ini adalah penghinaan terhadap tatanan ilahi yang ia sumpahi untuk lindungi.
Mata birunya yang biasanya tenang kini menyala dengan api suci yang dapat membakar jiwa. Rahangnya mengencang sampai otot-otot pipinya terlihat menonjol. Napasnya berubah menjadi uap panas yang mengepul di udara sore.
"Kemenangan tidak sah!" suaranya membelah udara seperti guntur yang turun dari langit. "Ini penghinaan terhadap kekudusan itu sendiri!"
Dengan satu lompatan yang menantang gravitasi, Arbelista meluncur dari tribun ke arena. Jubah tempurnya yang ditenun dengan benang perak yang diberkati seribu imam, berkibar dengan keanggunan yang menakjubkan. Setiap lipatan kain seolah bergerak dalam gerakan yang telah diperhitungkan oleh takdir.
Pedang sucinya, Lumina Sanctitas, berkilau dengan cahaya yang bukan berasal dari matahari, melainkan dari dimensi yang lebih tinggi. Logam blessed mithril yang menjadi dasar bilahnya beresonansi dengan harmoni surgawi, menciptakan dengungan halus yang membuat jantung para penonton berdetak lebih cepat.
"Pertarungan yang baru saja berakhir," serunya dengan suara yang menggetarkan seluruh arena, "tidak memiliki validitas di mata Dewa Aetherian! Amelia Silverleaf, Penyihir Agung Kerajaan Lumina, tidak kalah karena kekuatan... Beliau kalah karena kecelakaan yang direkayasa!"
Jari telunjuknya menunjuk ke arah Jeno dengan akurasi yang mengandung seluruh kebencian yang terpendam. "Kau, iblis bertubuh manusia, telah menghina kemurnian duel suci dengan trik kotor dan manipulasi realitas yang melanggar hukum alam!"
Jeno Urias berdiri di tengah arena dengan ekspresi yang bahkan tidak bisa disebut sebagai ketidakpedulian. Seolah tuduhan yang kembali dilemparkan Arbelista adalah bunyi angin yang berlalu tanpa meninggalkan jejak.
Namun di balik ketenangan yang menipu itu, pikiran Jeno bekerja dengan kalkulasi yang dingin dan metodis. Sistem kognitifnya yang beroperasi di luar hukum realitas normal mulai menyusun strategi yang tidak hanya untuk mengalahkan, tapi untuk menghancurkan, tidak hanya tubuh, tapi juga jiwa, kehormatan, dan seluruh fondasi kepercayaan yang membangun identitas musuh-musuhnya.
"Kerajaan Lumina", pikirnya dengan ketenangan yang menakutkan, "membutuhkan pelajaran tentang tempat mereka yang sesungguhnya dalam hierarki eksistensi. Arbelista dan Amelia akan menjadi contoh yang sempurna."
Mata Jeno yang terlihat seperti kolam air tenang namun menyimpan kedalaman yang tak terbatas, menatap kedua representasi Kerajaan Lumina itu dengan analisis yang dingin. Bukan dengan kebencian, karena kebencian menandakan bahwa musuh adalah ancaman yang setara. Ini adalah tatapan seorang entomolog yang mengamati serangga di bawah mikroskop.
Para penonton meledak dalam kekacauan suara yang memecah keheningan mistis:
"Benar! Tidak ada yang bisa mengalahkan Penyihir Agung dengan cara yang wajar!"
"Tapi bukankah kita sudah menyaksikan sendiri? Kekuatan itu nyata!"
"Tiang arena jatuh tepat pada waktu yang mencurigakan! Ini pasti manipulasi!"
"Kalau dia memang iblis, kenapa Kesatria Suci tidak bisa membuktikannya?"
Suara-suara pro-kontra itu bergema dan saling bertabrakan, menciptakan simfoni kekacauan yang mencerminkan ketidakpastian eksistensial yang menghantui setiap jiwa: setiap orang telah menyaksikan peristiwa yang menantang pemahaman mereka tentang realitas.
Di antara kerumunan, para petualang veteran saling bertukar pandangan penuh keraguan. Mereka telah menyaksikan berbagai keajaiban dan anomali, namun tidak pernah melihat sesuatu yang begitu sistematis dalam menantang hukum alam.
Amelia Silverleaf, yang semula terduduk di tanah dengan perasaan campur aduk antara malu, marah, dan ketakutan existensial, tiba-tiba merasakan secercah harapan yang menghangat dalam dadanya. Kedatangan Arbelista seperti jawaban doa yang tidak pernah ia ucapkan.
Senyum tipis yang mencuat di sudut bibirnya bukan senyum kegembiraan, tapi senyuman seseorang yang menemukan cara untuk menyelamatkan harga dirinya dari kehancuran total.
"Kau benar sekali, Kesatria Arbelista," katanya dengan nada yang dirancang untuk terdengar reflektif namun sebenarnya penuh dengan manipulasi yang halus. "Seharusnya aku menunjukkan kekuatan penuh dari awal. Jatuh karena tiang arena yang 'kebetulan' runtuh... bukankah ini terlalu mencurigakan untuk disebut sebagai pertarungan yang sah?"
Matanya kini berkilat dengan perhitungan yang dingin. "Seorang Penyihir Agung Kerajaan Lumina tidak pantas kalah dengan cara yang begitu... tidak terhormat."
Kata-kata terakhirnya diucapkan dengan penekanan yang membuat setiap suku kata terdengar seperti pisau yang mengoyak udara. Ini bukan hanya upaya untuk memulihkan harga diri, ini adalah deklarasi perang yang dibungkus dalam retorika kehormatan.
Jeno menatap kedua representasi Kerajaan Lumina itu dengan ekspresi yang bahkan tidak bisa disebut sebagai ketidakpedulian, seolah mereka adalah fenomena cuaca yang tidak layak untuk diperhatikan secara serius.
Namun ketidakpedulian itu sendiri mengandung ancaman yang lebih mengerikan dari amarah yang paling berapi-api. Seperti keheningan sebelum badai, atau ketenangan permukaan laut sebelum tsunami menghantam.
"Kalian berdua," suaranya mengalir dengan ketenangan yang hampir hipnotis, "seperti anak-anak yang menangis karena tidak mendapatkan mainan yang diinginkan."
Tidak ada nada mengejek dalam suaranya. Tidak ada kemarahan atau frustrasi. Hanya pernyataan fakta yang disampaikan dengan objektivitas yang menakutkan.
"Tapi jika kalian memang membutuhkan demonstrasi yang lebih... definitif... aku tidak keberatan menggunakannya."
Dari pinggir arena, suara protes yang penuh emosi meledak seperti gunung berapi:
"ITU TIDAK ADIL!" Rinka berteriak dengan suara yang hampir serak. Mata emasnya berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena kemarahan yang membakar jiwa. "JENO SUDAH MENANG DENGAN CARA YANG SAH! KALIAN TIDAK BISA MENGUBAH PERATURAN HANYA KARENA HASILNYA TIDAK SESUAI KEINGINAN!"
Kael, sang Archer, memegang busur Ironwood-nya dengan begitu erat sampai buku-buku jarinya memutih. "Ini kekanak-kanakan! Kerajaan Lumina tidak terima kekalahan?"
Ren sangat marah, berkobar seperti api, berteriak: "PENGECUT! DUEL SUDAH BERAKHIR!"
Toma sang pelacak bergumam dengan nada yang dingin: "Politisi. Selalu mengubah permainan ketika kalah."
Doru, yang biasanya tenang dan analitis, kini bergetar dengan kemarahan yang jarang ia rasakan: "Ini... ini penghinaan terhadap seluruh sistem duel yang sudah berlaku selama berabad-abad!"
Namun suara-suara protes mereka tenggelam dalam kegaduhan massa yang lebih besar, seperti tetesan air hujan yang hilang dalam badai.
Justus, Ketua Serikat Petualang yang telah menyaksikan ribuan konflik dan politik selama puluhan tahun, menghela napas dengan berat yang membuat dadanya bergetar. Tangannya yang memegang gelas anggur kini mencengkeram dengan kekuatan yang hampir memecahkan kaca.
Dalam hatinya, ia menyadari bahwa situasi ini telah melampaui batas-batas duel biasa dan memasuki wilayah yang lebih berbahaya, wilayah politik internasional yang dapat menghancurkan keseimbangan yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
"Ini akan menjadi kekacauan yang tak bisa dicegah," gumamnya dengan suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "Kerajaan Lumina tidak akan membiarkan dua representasi mereka dipermalukan di hadapan publik. Dan Jeno... dia pasti tidak akan mundur."
Matanya yang berpengalaman melihat tanda-tanda yang tidak terlihat oleh orang lain: cara Jeno berdiri, cara dia bernapas, cara dia menatap musuh-musuhnya. Ini bukan lagi duel antara individu. Ini adalah konfrontasi antara kekuatan yang melampaui pemahaman normal dengan sistem yang telah mapan selama berabad-abad.
Dalam keheningan yang tiba-tiba mencengkeram arena, seolah seluruh dunia menahan napas, Jeno angkat bicara dengan suara yang mengalir seperti sungai yang tenang, namun mengandung kekuatan yang dapat menggerus gunung:
"Kalau kalian memang percaya bahwa aku adalah iblis," katanya dengan ketenangan yang membuat setiap kata terdengar seperti hukuman yang diucapkan oleh hakim kosmik, "buktikan di arena ini."
Jeda sejenak. Udara seolah membeku.
"Tapi ketahuilah konsekuensinya."
Mata Jeno berubah, bukan secara fisik, tapi sesuatu di dalamnya berubah. Seolah kedalaman yang selama ini tersembunyi mulai terungkap sedikit demi sedikit. Penonton yang sensitif terhadap aura supernatural mulai merasakan sesak napas.
"Jika aku menang," lanjutnya dengan nada yang sama tenangnya, namun kini mengandung final yang absolut, "Arbelista harus menggorok lehernya sendiri. Di sini. Di depan semua orang."
Kalimat itu menghantam arena seperti meteor yang menghantam bumi. Keheningan yang mengikuti bukan hanya tidak adanya suara, ini adalah keheningan existensial yang membuat setiap orang mempertanyakan realitas yang mereka kenal.
Sebagian penonton tertawa, namun tawa mereka terdengar hampa, seperti tawa orang yang kehilangan kewarasan. Mereka tertawa bukan karena lucu, tapi karena otaknya tidak mampu memproses absurditas dari situasi yang sedang mereka saksikan.
"Hahaha... dia bilang apa? Bunuh diri? Ini... ini lelucon yang bagus!"
"Tidak mungkin dia serius..."
"Tapi lihat matanya... dia tidak bercanda..."
Sebagian lain terdiam dalam ketakutan. Sesuatu dalam suara Jeno, bukan kata-katanya, tapi sesuatu yang membuat setiap sel dalam tubuh mereka berteriak untuk lari.
Para penyihir di antara penonton mulai merasakan gangguan dalam aliran Mana di sekitar mereka. Sistem deteksi mereka memberikan reading yang tidak masuk akal, seolah realitas sendiri sedang berfluktuasi.
Arbelista tersenyum, namun senyuman itu tidak mencapai matanya yang mulai menunjukkan retakan pertama dalam kepercayaan dirinya yang absolut. Ini adalah senyuman seseorang yang berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dari meyakinkan orang lain.
"Kau pikir aku takut?" katanya dengan suara yang dirancang untuk terdengar menggelegar, namun sedikit bergetar di ujung-ujung nada. "Jika kalah dari makhluk rendahan sepertimu, aku memang tidak layak untuk hidup!"
Ia menoleh pada Amelia dengan gerakan yang penuh perhitungan, memberikan hormat singkat yang mengandung berbagai lapisan makna politik. "Nyonya Amelia, sebagai sesama utusan Kerajaan Lumina, kita harus saling mendukung. Wibawa kerajaan harus dipertahankan dengan menghancurkan musuh bersama."
Kata-kata itu diucapkan dengan nada formal yang mengandung ekspektasi, bahwa Amelia akan berpartisipasi dalam memulihkan kehormatan yang telah ternoda.
Situ Sehat ??!