"Aku tidak bisa mencintainya, karena sejak awal hatiku tidak memilihnya. Semua berjalan karena paksaan, surat wasiat ayah, janji ayah yang harus aku penuhi."
"Semua yang terjadi bukan atas kemaunku sendiri!"
"Dengarkan aku, Roselyn... hanya kamu yang mampu membuatku merasakan cinta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qireikharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Mama Mau Cucu.
Jayden menghela napasnya, sebelum melangkah kembali ke dalam ruangan rumah sakit, untuk memastikan kondisi sang mama. Dari ambang pintu, matanya menangkap pemandangan Naeira dan Stefani yang sedang berbincang santai.
“Bagaimana keadaan mama,?” tanyanya sambil menatap ke arah Stefani dan Naeira sekilas.
Stefani menoleh dan tersenyum hangat pada Jayden. “Mama sudah siuman, om Jayden. Sekarang mama sedang tidur. Tadi sempat ngobrol sama tante Naeira. Katanya, mama ingin segera punya cucu.”
Perkataan itu meluncur polos dari mulut Stefani, dan seketika menciptakan keheningan.
Naeira dan Jayden sama-sama terdiam, tubuh mereka menegang. Tatapan dingin Jayden langsung tertuju pada Naeira yang sedang menarik napasnya dalam, menenangkan kegelisahan yang menyeruak dalam dadanya.
Stefani yang tadinya sedang tertawa langsung terdiam dengan raut wajah terheran, melihat keduanya.
"Apa aku salah ngomong ya?, Om sama Tante langsung terdiam nggak ikutan tertawa," jawabnya dengan polos menatap ke arah Naeira dan Jayden.
Jayden langsung tersenyum tipis ke arah Stefani sambil menggelengkan kepalanya. "Nggak, ko, Stef, Om hanya kaget saja. Nanti jika sudah waktunya, mama akan punya cucu," jawabnya santai.
Seketika dada Naeira berdebar tak menentu, saat mendengar ucapan Jayden. Ia melihat ke arah Jayden dengan tatapan serius.
"Benarkah, perkataanmu Jay?" Suara itu membuat Jayden menoleh dan langsung melangkah ke arah sang ibu yang sudah terbangun, tersenyum ke arahnya.
"Mama? Syukurlah mama sudah siuman. Mama harus jaga kesehat ya, jangan buat aku khawatir lagi," ucap Jayden lembut sambil menggenggam tangannya.
"Kamu beneran, mau kasih mama cucu?" tanyanya sambil menatap mata Jayden penuh arti.
Seketika Naeira terdiam, lalu beranjak dari tempat duduknya dan mengajak Stefani untuk keluar, membiarkan Jayden dan ibunya mengobrol berdua.
“Ma, aku keluar dulu sama Stefani, ya,” ucapnya pelan.
Mama hanya mengangguk dengan senyum hangat, sementara Jayden menoleh sekilas ke arah Naeira, lalu kembali fokus pada ibunya. Mereka pun melanjutkan obrolannya kembali.
"Betul, kamu mau kasih mama cucu?" tanyanya lagi dengan nada yang menekan menatap lekat pada Jayden. Ia terdiam seperti tak bisa berkata.
"Mama tahu Jayden, sejak awal kamu tidak pernah tertarik sama Naeira. Kalau bukan karena janji dan surat wasiat mendiang ayahmu, kamu gak bakal menikahi Naeira kalo mama paksa. Kamu terikat dengannya hanya sebatas tanggung jawab karena ayahmu saja, kan?" Sontak Jayden menarik napasnya, dan langsung menganggukan kepalanya, meyakinkan bahwa perkataan sang mama benar.
"Lalu bagaiman kamu memberi mama cucu?" sang mama tersenyum, menahan tawa. Pertanyaan itu seolah mendesak Jayden.
"Aku akan menikah lagi ma, dengan wanita yang aku cinta," jawabnya serius dengan penuh keyakinan. sedangkan mama mengernyit penasaran.
"Siapa dia?, Apa dia menerimamu dengan statusmu saat ini?" Mama mengangkat alisnya menatap mata Jayden, seolah sedang menginterogasinya.
"Roselyn, Ma. Dia mahasiswi, sedang kuliah di universitas milik ayah."
Sang mama tersenyum, "Roselyn?, Ko bisa?" sahutnya penasaran.
"Aku jadi dosen ma, kebetulan Roselyn mahasiswiku di kelas," jawabnya santai.
"Kamu jadi Dosen? Serius?" tanya sang mama tak percaya. Jayden hanya tersenyum tipis.
"Aku akan menikahinya ma, meskipun sekarang aku masih mengejarnya. Egonya masih tinggi. Dia masih belum mau mengakui perasaannya padaku," Jelas jayden sambil tersenyum-senyum, bayangan Roselyn berputar di kepalanya, tanpa sadar sang mama memperhatikannya.
"Mana mama lihat potonya?, penasaran sampai kamu sejatuh hati itu sama dia."
"Andaikan perasaan kamu pada Naeira seperti ini, pasti mama akan lebih bahagia," gumamnya dalam hati, namun tak berani menunjukan sedikit rasa kecewanya agar tak melukai perasaan Jayden.
Jayden mengeluarkan ponselnya, lalu memperlihatkan photo Roselyn pada sang mama sambil masih tersenyum.
"Pantas saja, kamu cinta sama Dia. Cantiknya kebangetan." puji sang mama, matanya berbinar.
"Kayanya bukan hanya kamu deh, pasti Roselyn ini banyak yang deketin, banyak yang suka," jelas sang mama, membuat hati Jayden tidak tenang. Ia menelan ludahnya.
"Bagaimana jika Naeira tahu?" ucapnya pelan dengan sorot mata meredup. Seolah menahan kesedihan.
"Bukankah aku juga berhak bahagia ma?. mama sudah mengerti kan, sejak awal aku di paksa menikahinya karena wasiat itu!." Mama mengangguk mengusap punggung Jayden dan mengusap tangannya lembut, terlihat sorot mata Jayden menampakan begitu banyak emosi, suaranya bergetar.
"Ya, sudah. Mama mengerti Jayden. meskipun mama kasihan pada Naeira, tapi mama juga ingin kamu bahagia dengan wanita pilihanmu." ucap mama dengan begitu perhatian.
Tidak lama kemudian Stefani dan Naeira datang dengan membawa beberapa kantong makanan.
"Ma, aku bawain buah-buahan untuk mama. Mama suka anggur kan, lihat ma besar-besar kan anggurnya, aku cuci dulu ya ma. Mama harus cepat sehat." ucapnya tersenyum.
Sedangkan Jayden hanya diam. Lalu melangkah pergi keluar meninggalkan mereka, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Naeira, meski ia dari tadi sorot matanya terus memperhatikannya.
-------
Sedangkan di kampus, Roselyn, Clara, Reina dan Fifi sedang berada di perpustakaan. Mereka masing-masing sedang fokus mencari bahan materi untuk mempersiapkan sidang proposal.
Tiba-tiba seorang mahasiswa datang mendekati Roselyn yang sedang sibuk mencari beberapa novel untuk bahan penelitiannya.
"Lyn, Andreas tuh kesini, kayanya mau nyamperin kamu deh," clara berbisik pelan, sehingga membuat Roselyn mendongakan kepalanya, dan mereka berdua saling beradu pandang, tersenyum ramah.
"Cieeee, ehm." Goda Fifi pelan, sambil menahan tawa. Mereka yang mendengar ikut menahan tawa juga. Andreas berjalan ke arah Roselyn sambil tersenyum dan duduk di kursi kosong di dekatnya.
"Lyn, nonton yu sore nanti," ujarnya pelan. Roselyn berpikir sejenak.
"Ayo Lyn, jangan kebanyakan mikir, nanti pusing," timpal Fifi menepuk lengannya pelan, menahan tawa.
"Nanti pulang bareng ya," ujar Andreas sambil jari tangannya sedang pura-pura membuka buku di atas meja, seolah menyembunyikan kegugupannya.
Roselyn masih terdiam, di satu sisi pikirannya terusik oleh bayangan Jayden, hatinya seolah ada yang menahan untuk tidak menerima ajakan Andreas.
Namun, ia sadar kalau kali ini menolak ajakan Andreas teman-temannya akan curiga. Apalagi sejak dulu mereka tahu Andreas cukup dekat dengannya, bahkan menyimpan perasaan lebih. Hanya saja, bagi Roselyn, Andreas tak lebih dari seorang sahabat.
Roselyn mengangguk. “Ya sudah, ayo. Lagi pula sudah lama aku nggak nonton," jawabnya pelan sambil tersenyum ke arah Andreas.
Clara langsung berseru sambil tersenyum,“Akhirnya! Setelah sekian lama."
Sedangkan Fifi menutup mulutnya sambil tertawa, “Duh, Andreas, jaga Roselyn ya.”
"Ya, jaga baik-baik, s cantik ini. Jangan sampai kenapa-kenapa." Timpal Reina dengan nada menggooda.
Sementara itu, Andreas tersenyum senang wajahnya berbinar. “Oke, Lyn sampai ketemu nanti sore.”
Roselyn hanya mengangguk, meski dalam hatinya masih bimbang. Bayangan Jayden tetap tak mau pergi, membuat hatinya kacau, meskipun ia sudah berusaha mengalihkan perhatiannya pada Andreas.
------
Sedangkan Di Apartemennya, Jayden bersandar di kursi dengan wajah lelah. Laptopnya masih terbuka, dokumen perusahaan berserakan di meja, meski tubuhnya lelah, jika menyangkut urusan perusahaan ia tak pernah bisa mengabaikannya. Lalu ia menatap layar ponselnya yang berdering.
Rama, asisten pribadinya. Ia baru saja menerima laporan mengenai salah satu cabang perusahaannya yang tengah menghadapi permasalahan serius, Ia langsung melaporkannya pada Jayden.
“Rama, Saya belum sempat memeriksa dokumen laporan yang kamu letakkan di meja kerja saya waktu lalu," ucap Jayden tegas melalui sambungan telepon.
"Cari tahu siapa pelakunya, Siapa yang berani menggelapkan dana perusahaan cabang, sungguh keterlaluan!" suara Jayden terdengar berat, rahangnya mengeras, giginya menggertak menahan amarah, sebelum akhirnya ia menutup ponsel dengan kesal.
Hening sejenak, Jayden kembali bersandar pada kursinya sambil memejamkan matanya sekejap.
"Roselyn saya ingin bertemu kamu," gumamnya pelan sambil menarik napas berat. Jayden berharap berada di pelukan Roselyn untuk saat ini. "Bahkan saat saya marah pun, ingat kamu, amarah saya langsung hilang," desisnya.
Bayangan Roselyn kembali menguasai pikirannya. Ia tidak bisa sekejap pun terlepas, bahkan sejak awal bertemu dengannya, pesona Roselyn sudah menjerat hati Jayden.
Lanjut Part 14》