Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.
Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.
"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.
Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8
Zamara celingak-celinguk, langkahnya pelan tapi pasti. Matanya menelusuri halaman pesantren yang senyap, hanya ada suara angin beradu dengan ranting dan daun.
“Aku sudah sampai dititik ini, aku nggak bakalan menyerah. Aku nggak mau rencana aku gagal total hanya karena ulah ustadzah Aisyah sang mantan ta'aruf calon suamiku,” batinnya Zamara.
Dari kejauhan, dia melihat lelaki berjubah putih itu tersenyum ramah pada fotografer yang sedang menunjukkan hasil jepretan prewedding mereka.
Ustadz Yassir Qayyim terlihat tenang, bersahaja, tetap bersinar dengan kesederhanaannya. Zamara menatapnya sesaat, ada rasa hangat, namun juga bara yang masih tertahan.
Perlahan Zamara membalikkan badan. Dia melangkah ke arah bangunan asrama putri. Langkahnya tegap. Wajahnya tenang, tapi hatinya sedang menimbang-nimbang kalimat yang akan dilontarkan.
“Aku harus bicara, walau cuma sebentar,” gumamnya.
Begitu tiba di depan aula kecil, dia melihat Aisyah sedang duduk di bawah pohon jambu, dikelilingi beberapa santri.
Suasana terlihat santai, tapi tatapan Aisyah langsung berubah begitu melihat Zamara datang mendekat. Para santri beranjak pergi, memberi ruang yang mulai menghangat meski belum ada kata yang terlontar.
Zamara berdiri tegak di depan ustazah itu. Sorot matanya tak gentar.
"Assalamualaikum," sapa Zamara pelan.
Aisyah menjawab singkat, “Waalaikumsalam.”
Zamara menarik napas, lalu duduk perlahan di hadapan Aisyah. Ia tidak ingin ribut, tapi luka di hatinya harus disampaikan, meski dalam bentuk ucapan yang berselimut tenang.
“Tadi aku dengar yang kamu bilang, di depan orang-orang. Katanya aku nggak pantas mendampingi ustadz Yassir. Karena aku cuma dokter dan kamu mungkin lebih tahu dalil,” katanya lembut, tapi jelas menusuk.
Aisyah menegakkan badan. “Aku cuma bilang yang sebenarnya. Seorang ustadz, apalagi sekelas beliau harus didampingi oleh wanita yang sejalan dalam jalan dakwah.”
Zamara tersenyum kecil, miring.
"Jalan dakwah itu bukan soal seragam yang sama atau panggilan ustazah. Tapi bagaimana saling dorong menuju Allah, bukan saling tindih pakai standar sendiri."
Aisyah mendengus. “Kamu terlalu percaya diri.”
Zamara menyilangkan tangan.
"Bukan percaya diri, tapi tahu diri. Aku tahu dari mana aku berangkat, dan aku tahu aku akan berdiri di sisi lelaki yang menerima aku bukan karena label, tapi karena keyakinan."
Aisyah menatap sinis. "Kamu sombong."
Zamara mendekat sedikit suaranya tetap pelan, tapi nadanya berubah.
“Kalau kamu pikir kelembutanku bisa diinjak, kamu salah. Aku memang biasa bicara dengan bahasa medis, tapi jangan lupa, aku juga punya logika, punya rasa, dan punya cara untuk menjaga orang yang kuanggap layak diperjuangkan.”
Aisyah membuka mulut, tapi Zamara berdiri lebih dulu. Dia tersenyum namun matanya dingin.
"Tenang aja, aku nggak datang buat rebut posisi siapa-siapa. Tapi kalau kamu mau main sindir di depan banyak orang lagi, aku bisa jawab di tempat juga. Dan aku bukan tipe yang pakai bahasa bunga-bunga.”
Lalu Zamara membalikkan badan, melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Beberapa langkah sebelum meninggalkan halaman aula, Zamara masih bisa merasakan tatapan tajam di belakang punggungnya. Tapi dia tidak peduli. Dia sudah mengatakan yang perlu dikatakan.
Di balik tiang-tiang kayu aula, sekelompok santri putri berkumpul, menahan napas sejak tadi. Mereka menyaksikan semua tanpa suara, hanya saling lirikan. Ada yang memegangi dada karena tegang, ada yang menggigit bibir supaya tak tertawa. Bahkan beberapa di antaranya mencatat diam-diam kejadian tadi di dalam hati seperti sedang menonton drama kolosal.
"Masya Allah... barusan kayak nonton film tapi nyata," bisik Nuraini pada sahabatnya.
"Barbar sekali, Kak Zamara. Tapi tetap anggun pantas dia jadi dokter. Kalimatnya tajam tapi nggak kasar," tambah Sintia pelan matanya berbinar.
"Tadi yang soal ‘logika dan rasa’ itu duh, nusuk banget," sahut Fatma sambil memeluk sajadahnya erat-erat.
Yang lain cuma mengangguk cepat, takut ketahuan oleh Aisyah yang kini duduk mematung dengan wajah pucat.
Salah satu santri senior yaitu Rifda berdehem pelan lalu membetulkan kerudungnya. Ia berkata setengah berbisik, “Pelajaran hari ini bukan cuma dari ustazah. Tapi dari seorang perempuan yang tahu caranya menegur tanpa menjatuhkan.”
Seorang lainnya menimpali, “Tapi jelas kok, Kak Zamara nggak mau dicaci sembunyi. Dia datang ngomong langsung Itu gentle loh.”
“Iya, dan aku yakin beliau nggak cuma cantik di luar. Tapi berani, berpendirian, dan tetap sopan,” ujar Nuraini.
Aisyah yang masih duduk sendiri hanya bisa menunduk. Matanya menatap rumput di bawah kakinya yang bergetar. Ia tidak menyangka serangannya tadi dibalas sehalus itu, tapi menusuk jauh lebih dalam.
Dan para santri pun perlahan beranjak pergi. Ada yang sambil mengangguk-angguk, ada juga yang mulai berdiskusi serius soal bagaimana adab dalam menyampaikan kritik karena sore itu, mereka baru saja belajar satu hal penting yaitu kebenaran tetap bisa disampaikan dengan anggun dan luka bisa dijawab dengan keberanian.
Mobil sport merah itu melaju pelan di tengah lalu lintas Bandung yang ramai menjelang sore. Langit mulai merona jingga, sementara dari kejauhan, tampak deretan bangunan ikonik yang jadi ciri khas kota Kembang itu.
Di kursi pengemudi, Ustadz Yassir Qayyim tampak khusyuk menyetir sambil sesekali melirik ke arah penumpang di sampingnya. Zamara dengan kacamata hitam dan senyum nakalnya, sibuk memotret suasana jalanan lewat jendela.
"Kita jadi makan di sana, kan?" tanya Zamara sambil mengusap pelan jilbabnya yang tersusun rapi.
"Kalau di sana maksudnya tempat yang viral banget itu iya, insya Allah," jawab Ustadz Yassir datar, tapi matanya menyiratkan senyum kecil.
Zamara mengangguk puas, lalu bersandar dengan gaya manja yang tetap sopan. “Aku udah riset. Katanya tempat itu instagramable banget. Ada view kota Bandung dari ketinggian, makanannya halal, tempat duduknya lesehan, ada lampu-lampu gantung kayak di film-film Turki.”
Ustadz Yassir tertawa kecil. “Yang penting tempatnya syar’i, ya, bukan karena viral doang.”
Zamara mengedip satu mata. “Tenang, calon suamiku yang saleh, kamu bawa dokter yang nggak cuma paham estetika tapi juga tahu adab dan halal-haram.”
Senyap sejenak. Lalu Zamara mulai lagi dengan gombal khasnya.
“Ustadz, kamu tahu nggak kenapa aku suka liatin kamu dari samping kayak gini?” tanyanya sambil pura-pura serius.
Ustadz Yassir melirik singkat. “Kenapa?”
“Karena kamu kayak stetoskop makin dekat, detak jantungku makin teratur padahal biasanya deg-degan,” katanya dengan senyum jail.
Ustadz Yassir hampir tersedak udara, tapi tetap mengangguk dengan wajah tenang.
“Zamara…”
“Iya, ustadz?”
“Boleh aku yang gombal sekali aja?”
Zamara membelalakkan mata. “Serius? Boleh dong!”
Ustadz Yassir memejamkan mata sesaat di lampu merah, lalu berkata pelan, “Kamu itu kayak obat penenang, tapi efek sampingnya bikin kangen terus.”
Zamara terdiam sontak mulutnya terbuka sedikit. Kali ini dia yang kehabisan kata-kata.
Lampu hijau menyala mobil kembali melaju. Tapi atmosfer di dalam kabin sehangat sore di kota Bandung yang temaram.
Meski duduk berjarak, dan tak ada sentuhan sedikit pun, tapi hati mereka seolah berjalan seiring melintasi jalanan menuju tempat makan yang bukan sekadar tempat, tapi saksi kecil bagaimana dua insan yang saling menjaga bisa saling jatuh hati dengan cara yang Allah ridai.
Dalam hati Zamara, bunga-bunga mekar seketika. Empat hari hanya empat hari sejak pertama kali mereka duduk bersama di ruang tamu pesantren, membicarakan ta’aruf dengan penuh kehati-hatian.
Empat hari yang dilalui dengan bahasa santun, kalimat-kalimat to the point, tanpa basa-basi. Tapi hari ini satu gombalan itu, cukup membuat jantungnya berdetak seperti baru saja selesai naik tangga sepuluh lantai.
“Kamu itu kayak obat penenang, tapi efek sampingnya bikin kangen terus.”
Zamara menggigit pelan ujung jilbabnya. Kalau saja bukan karena menjaga wibawa dan malu sama langit-langit mobilnya sendiri, mungkin ia sudah menjerit kecil dan menepuk-nepuk dashboard.
“Empat hari, Ya Allah… baru empat hari dan dia udah begini. Ini tandanya, kan? Tandanya ustadzku yang kaku dan suka ngingetin adab makan itu mulai goyah. Mulai terpesona sama satu-satunya dokter yang sering gombal di sela ta’aruf.”
Zamara melirik ke samping, pura-pura cuek. Tapi dalam dada, rasa girang itu nggak bisa dibohongi. Mulutnya berusaha netral, tapi pipinya hangat. Senyum kecil terus nyangkut di ujung bibir. Dia tahu benar, gombalan Ustadz Yassir barusan bukan gombalan asal-asalan dan juga bukan basa-basi.
Itu bentuk perhatian yang artinya dia sudah mulai mengizinkan hatinya membuka pintu. Dan buat Zamara, itu lebih dari cukup.
Zamara melirik sekilas ke arah Ustadz Yassir yang sedang fokus menyetir, wajahnya seperti biasa tenang, teduh dan nyaris tanpa ekspresi. Tapi bagi Zamara, barusan itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan satu hal penting.
Dalam hati, ia langsung berseru pelan, "Yes! Berhasil!"
Seketika ia membayangkan dirinya berdiri di podium juara satu lomba debat nasional, angkat piala sambil senyum lebar, lalu ada kembang api meledak di belakangnya. Ya, begitulah rasa senangnya yang dirasakannya saat ini.
Gombalan pertama dari seorang ustadz bukan hal kecil, apalagi dari Yassir Qayyim. Ustadz paling lurus, paling jaim, paling anti basa-basi di seluruh tanah air akhirnya retak juga tembok pendinginnya.
Zamara pura-pura batuk kecil sambil membenarkan posisi duduk. Tapi hatinya sudah semacam pesta kecil.
“Empat hari doang, Zam… empat hari dan kamu bisa bikin ustadz yang kaku itu balas gombalanmu pakai kalimat manis. Itu rekor dunia versi hati kamu sendiri!”
Ia pun menghela napas panjang, pelan, dan berbisik dalam hati, “Tenang, Mar… jangan geer dulu, jaga sikap. Tapi boleh bahagia sedikit atau banyak juga nggak apa-apa.”
Di luar mobil, senja mulai menggantung. Di dalam mobil, ada dua hati yang sedang pelan-pelan membuka diri tanpa harus saling sentuh, cukup dengan kehangatan yang dibalut kesopanan dan saling jaga.
“Sayangnya ini hanya sandiwara,” batinnya Zamara.
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah