Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kidung Asmara Lama
Gubrraaakkkk..!!!
Tunggak terpeleset dan jatuh menimpa kursi yang tadi ia duduki saking kagetnya. Dia menoleh ke arah sumber suara dan melihat Rakai Pamutuh berdiri disana.
"Kampreett... !! Bisa tidak suara mu jangan bikin orang kaget Ki? Kalau aku mati jantungan bagaimana? ", omel Tunggak sambil bangkit dari tempat jatuhnya dibantu oleh Banowati.
" Mati ya dikubur. Begitu saja kok repot? ", jawab Rakai Pamutuh acuh tak acuh.
" Kau ini....
Huhhh, ada apa sih Si Sura pakai panggil aku? Ada yang penting? ", gerutu Tunggak sambil membersihkan pakaiannya yang kotor.
" Si Sura Si Sura, kau ini tidak ada sopan-sopan nya sama Gusti Danurwenda..
Panggil ia dengan sebutan yang hormat, walaupun ia berteman dengan kita tetapi derajat nya lebih tinggi jadi kau harus menghormatinya ", sungut Rakai Pamutuh segera.
" Iya iya, aku tahu kok. Ada apa Gusti Dyah Mahisa Danurwenda memanggil ku Ki Rakai Pamutuh? ", ucap Tunggak sambil melengos.
" Mana ku tahu, sebaiknya kau tanya saja sendiri. Beliau sekarang ada di Pendopo Pakuwon", ujar Rakai Pamutuh sebelum berbalik badan meninggalkan tempat itu.
"Huhhh tua bangka ini benar-benar menyebalkan...
Eh Banowati, sebelum aku punya tempat tinggal yang layak untuk mu dan dua putri mu, untuk sementara kau tinggal disini dulu ya. Selain lebih aman, tidak ada orang yang akan menyakiti mu. Nanti aku akan minta Si Sura eh maksud ku Gusti Danurwenda untuk memberikan pengampunan untuk mu supaya kau bisa bebas di luar sana", Tunggak mengalihkan perhatian pada Banowati yang berdiri di dekatnya.
"Benarkah itu Kakang? Terimakasih banyak untuk semua yang kau lakukan untuk ku dan dua anak ku", mata Banowati berbinar penuh suka cita.
" Tentu saja. Kau baik baik dulu disini, nanti aku kesini lagi.
Anak-anak, romo ada urusan sebentar. Kalian jaga ibu kalian baik-baik ya", Tunggak menatap ke arah Rara Kartika dan Rara Wulan yang masih asyik menggasak ayam panggang.
Dua gadis kecil itu mengangguk cepat sambil terus mengunyah daging ayam panggang yang ada dalam genggaman tangan kecil mereka.
Setelah itu Tunggak berlalu pergi meninggalkan penjara istana Pakuwon Wilangan menuju ke arah Pendopo Pakuwon Wilangan dimana Mahesa Sura berada.
****
Seorang lelaki paruh baya bertubuh gempal dengan kumis tebal mengerutkan keningnya membaca surat yang ditulis diatas lembaran daun lontar. Melihat gelang bahu dan pengikat rambut nya yang terbuat dari emas, ia bukanlah orang biasa. Sekilas saja orang tahu bahwa ia adalah seorang pejabat negara.
Lelaki paruh baya ini adalah Kebo Landoh, Akuwu Pakuwon Sekar Pudak yang merupakan daerah penyangga Kota Anjuk Ladang di sisi barat. Wilayah ini subur dan menghasilkan padi ratusan ikat sepanjang tahun dan menjadikannya sebagai salah satu lumbung pangan bagi Mandala Kertabhumi.
Akuwu Kebo Landoh adalah seorang pejabat yang pernah menjadi salah satu prajurit Majapahit saat Mahapatih Gajah Mada masih memerintah. Ia mengundurkan diri begitu Gajah Lembana menjadi Mahapatih baru menggantikan posisi sang pemersatu Nusantara yang mengundurkan diri karena usia. Kebo Landoh akhirnya diterima oleh Bhre Kertabhumi Dyah Suryawisesa karena saat itu Kertabhumi membutuhkan orang yang berilmu tinggi untuk meredam kekacauan di wilayah Sekar Pudak.
Di depan nya ada seorang lelaki yang lebih muda dengan tubuh kekar dengan kumis tipis. Dengan pakaiannya yang seperti seorang prajurit, jelas sekali ia adalah seorang bekel yang memerintah para prajurit Sekar Pudak. Dia adalah Bekel Gupala, bekas bawahan Kebo Landoh dalam keprajuritan Majapahit yang akhirnya juga mengikutinya ke Pakuwon Sekar Pudak.
Selain mereka, ada seorang lelaki tua berjanggut putih panjang dengan pakaian pejabat yang duduk di samping kiri Akuwu Kebo Landoh. Dia adalah penasehat Akuwu Kebo Landoh yang merangkap jabatan sebagai Mantri Pakiran-kiran, Mantri Mpu Kandadaha.
Di lantai Pendopo Pakuwon Sekar Pudak, dua orang duduk bersila dengan tenang. Mereka adalah Jayeng dan pengiringnya Mandhasiya. Saat ini mereka sedang mengirimkan surat dari Mahesa Sura.
Hemmmmmm...
Terdengar helaan nafas berat dari mulut Akuwu Kebo Landoh. Ini membuktikan bahwa ia sedang berpikir keras.
"Aku perlu memikirkan masalah ini dalam-dalam, Utusan. Tidak mudah untuk memutuskan sebuah perkara besar seperti ini hanya dengan sekali pemikiran saja", ujar Akuwu Kebo Landoh dengan penuh kehati-hatian.
" Tetapi Gusti Dyah Danurwenda menginginkan jawaban secepat, Gusti Akuwu..
Mohon pertimbangan hal ini baik-baik. Apapun jawaban Gusti Akuwu, nanti akan hamba sampaikan pada Gusti Dyah Danurwenda ", ucap Jayeng sambil menghormat.
" Beri waktu aku satu hari untuk memikirkan nya, Utusan. Besok pagi aku akan memberikan jawaban pasti untuk mu", jawab Akuwu Kebo Landoh segera.
"Prajurit! Bawa utusan ini ke balai tamu kehormatan. Layani semua kebutuhan mereka dengan baik.. "
Dua orang prajurit penjaga segera masuk ke Pendopo Pakuwon Sekar Pudak. Jayeng dan Mandhasiya menghormat pada Akuwu Kebo Landoh sebelum meninggalkan tempat itu mengikuti langkah dua prajurit penjaga.
Begitu Jayeng dan Mandhasiya pergi, dari belakang tirai yang ada di belakang singgasana Pakuwon Sekar Pudak, Wiritanaya muncul. Ia segera menghormat pada Akuwu Kebo Landoh sebelum duduk bersila di samping Bekel Gupala.
"Mohon ampun Paman Akuwu..
Kalau boleh tahu apa isi surat dari Dyah Danurwenda itu? Apa ada hubungannya dengan Istana Pakuwon Wilangan? ", tanya Wiritanaya sambil menghormat.
" Dyah Danurwenda meminta aku untuk bergabung dengan nya. Dia ingin semua penguasa pakuwon di wilayah Kertabhumi mengakuinya sebagai pewaris sah tahta Mandala Kertabhumi karena ia adalah putra Dyah Pitaloka yang merupakan anak sulung Dyah Suryawisesa, Bhre Kertabhumi sebelum nya", terang Akuwu Kebo Landoh sambil menghela nafas panjang.
"Ini jelas tindakan makar pada pemerintah Kertabhumi yang sekarang. Paman Akuwu tidak perlu ikut-ikutan karena ini sangat berbahaya bagi Paman Akuwu dan orang-orang Pakuwon Sekar Pudak.. ", ucap Wiritanaya segera.
" Jika ini dianggap sebagai tindakan makar, lantas bagaimana dengan apa yang dilakukan oleh Dyah Sindupati pada Dyah Pitaloka dan suaminya Mahisa Rangkah sebelumnya?
Aku bisa duduk di singgasana ini juga karena kebaikan hati Dyah Suryawisesa, Wiritanaya. Aku cuma seorang bekel yang membawahi 100 orang prajurit kala aku masih menjadi prajurit Majapahit. Oleh Bhre Kertabhumi keempat, aku dipercaya menjadi akuwu disini selain untuk membasmi perampok kala itu juga untuk mengamankan wilayah Kota Anjuk Ladang. Budi ini tidak dapat ku abaikan begitu saja.. ", tegas Akuwu Kebo Landoh.
" Jadi Paman Akuwu Kebo Landoh bersedia untuk bergabung dengan Dyah Danurwenda untuk mendapatkan hak nya atas tahta Kertabhumi? ", nada suara Wiritanaya mulai tidak enak didengar.
" Aku akan mempertimbangkan nya, Wiri...
Aku seorang ksatria, tugas ku berjalan di jalan kebenaran. Sekalipun itu harus berdarah-darah, aku akan tetap melakukannya "
Mendengar jawaban Akuwu Kebo Landoh, Wiritanaya mendengus kesal.
"Jadi Paman Akuwu lebih suka mendukung pembunuh ayah ku untuk mendapatkan hak nya daripada membalas dendam kematian ayah ku pada nya?! ", tanya Wiritanaya dengan nada gusar.
Tak senang dengan nada suara Wiritanaya yang terkesan menekannya, Akuwu Kebo Landoh bangkit dari tempat duduknya.
" Jaga nada bicara mu, Wiritanaya.!!!
Kau cuma bocah kemarin sore yang menjadi seorang pelarian karena ayah mu menantang orang yang seharusnya duduk sebagai raja Kertabhumi. Kalau kau tidak suka dengan keputusan ku, kau dipersilahkan untuk pergi kemanapun yang kau inginkan..!! ", gertak Akuwu Kebo Landoh lantang.
Wiritanaya yang menahan gejolak hati karena merasa dikhianati segera bangkit dari tempat duduknya.
" Baik, karena Paman Akuwu Kebo Landoh lebih ingin menjadi begundal Danurwenda, aku juga tidak sudi untuk tinggal disini lagi.
Tapi ingat Paman, suatu saat Paman akan menyesal dengan keputusan ini..!! "
Usai berkata demikian, Wiritanaya langsung bergegas pergi meninggalkan Pendopo Pakuwon Sekar Pudak. Akuwu Kebo Landoh menggelengkan kepalanya melihat putra mendiang Akuwu Macan Biru itu pergi.
"Dasar bocah tidak tahu diuntung.. "
*****
"Permisi Ki..
Apa Kisanak tahu dimana tempat tinggal seorang pendekar yang berjuluk Si Iblis Wulung? Kata orang yang pernah saya temui, dia berada di sekitar sini", tanya seorang perempuan cantik berbaju hijau tua pada seorang pedagang beras yang ada di ujung pasar besar.
Perempuan cantik yang tak lain adalah Perawan Lembah Wilis ini menatap wajah lelaki tua itu seolah-olah ingin menemukan jawaban dari pertanyaan nya.
"A-aku tidak tahu. Kau tanya orang lain saja.. ", jawab lelaki tua itu sedikit ketakutan.
Perawan Lembah Wilis mengernyitkan keningnya melihat ekspresi muka penjual beras itu. Tetapi tak ingin membuat orang lain tidak nyaman dengan pertanyaannya, ia meninggalkan tempat itu dan bertanya pada orang lain yang ia temui di pasar besar Kota Wilangan.
Namun rata-rata orang yang ia temui selalu menghindar untuk menjawab pertanyaannya dan ini membuatnya terheran-heran.
'Ada apa dengan orang-orang ini? Apa Kakang Mahesa Sura sedemikian menakutkan nya hingga mereka seperti enggan untuk menjawab pertanyaan ku? ', batin Perawan Lembah Wilis sembari melangkah ke arah seorang perempuan cantik berbaju jingga yang sedang asyik memilah kain di sebuah lapak dagangan.
"Permisi Nisanak, mau numpang tanya..
Apakah Nisanak tahu dimana Si Iblis Wulung tinggal? Aku dengar ia tinggal di kota ini", tanya Perawan Lembah Wilis dengan sopan.
Perempuan cantik berbaju jingga yang tak lain adalah Dewi Jinggawati langsung menghentikan kegiatan nya. Melihat ini dua orang lelaki bertubuh kekar yang sedari tadi setia mengawalnya hendak bergerak, Dewi Jinggawati langsung memberi isyarat pada mereka untuk tetap diam. Dia segera mendekati Perawan Lembah Wilis dan bertanya,
"Ada urusan apa mencari Si Iblis Wulung?"
dibikin series kolosal pasti bagus